Sang Pemimpi
by: Andrea Hirata
Karena urusan
sekolah, Aku (Ikal), Jimbron, dan Arai, terperangkap di Gudang peti es.
Awalnya, Aku dan Jimbron yang tengah berusaha menarik perhatian para gadis,
harus berhadapan dengan Pak Mustar dkk karena ulah Arai. Di tengah pelarian
yang hebat, aku harus membantu Jimbron yang tengah Bersama Arai yang juga
melakukan pelarian. Kami dilandan kekhawatiran terperangkap di Gudang peti es
hingga Nyonya Pho (pemilik Gudang sekaligus preman pasar) tiba dan Arai pun
menerapkan ide gilanya.
Sepeninggal sang
ayah, Arai menjadi seorang Simpai Keramat, dan ia mencoba menghiburku dengan
mainan gasingnya disaat aku lah yang seharusnya menghiburnya.
Aku dan Arai
ditakdirkan seperti sebatang jarum di atas meja dan magnet di bawahnya. Maka
sejak Arai tinggal di rumah kami, tak kepalang senang hatiku. Dimana kami
diperbolehkan menempati kamar hanya untuk kami berdua, walaupun kamar kami
hanyalah gudang peregasan.
Melalui telepon
kaleng, Aku dan Arai terlibat pembicaraan serius tentang kerusakan lingkungan
ulah PN Timah, dan Mak Cik Maryamah datang bersama putrinya, Nurmi, untuk
meminta beras pada ibuku. Mendapati hal itu, Arai segera memecah celengannya,
begitu pun aku, yang mengikutinya menuju pasar. Setibanya di toko A Siong, aku
tak mampu menahan amarah dan mengambil kembali koin-koin itu, sehingga
pergulatan pun terjadi, dimana Mei Mei, putri Nyonya Deborah, bersorak senang
menyaksikan kami hingga tiga kareung kapuk terjatuh dan tersedot fan.
Kehebatan A Put,
dokter gigi yang mampu menyembuhkan sakit gigi hanya dengan sepotong balok,
sebilah palu, dan sebatang paku, berakhir dengan datangnya orang-orang Pasai.
Penggawa masjid menjadi de facto, Taikong Hamim sang eksekutif yang
menerjemahkan peraturan Haji Satar secara kaku tanpa perasaan, memberikan
hukuman kejam pada Jimbron, si gagap penggila kuda, sehingga Arai pun melakukan
pembalasan setelah bacaan akhir al-Fatihah.
Setelah tamat
SMP, Aku, Arai, dan Jimbron, merantau ke Magai untuk sekolah di SMA Bukan Main,
dimana kami bekerja sebagai kuli ngambat. Kelelahan bekerja sirna di hadapan
guru kesusatraan kami: Bapak Drs. Julian Ichsan Balia. Di akhir pelajaran, para
siswa ditunjuk untuk mengumandangkan kata-kata motivasi, dimana Arai berusaha
menarik perhatian Nurmala dengan kata-katanya, sementara aku yang tidak siap
berkata; “Masa muda, masa yang berapi-api!! Haji Rhoma Irama!”. Sementara itu,
Jimbron cinta setengah mati pada Laksmi, gadis murung (tak pernah tersenyum)
yang kehilangan seluruh keluarganya di anak-anak Sungai Manggar, Semenanjung
Ayah.
Berita Mujahid
Oruzgan Jirga Karzani Zahid dan pertempuran di Towraghondi ternyata bersamaan
dengan waktu Ketika kami dikejar Pak Mutar sampai ke Gudang es: 15 Agustus
1988.
Ayahku yang
pendiam, mengambil cuti dua hari untuk bersiap-siap sebaik mungkin dengan
busana terbaiknya: baju safari empat saku, dalam rangka penerimaan rapor,
dimana aku menempati kursi ke tiga, dan Arai di kursi ke lima.
Meskipun berada
persis di depan kontrakan kami, gedung bioskop Dermaga Magai, kami tidak berani
menonton karena hal itu merupakan salah satu larangan keras Pak Mustar. Namun,
kami tak sanggup menahan diri setelah menyaksikan para petugas bioskop mengurai
poster film baru berukuran 4x3 meter. Setelah menerima teguran keras dari
tukang karcis, kami melakukan penyamaran dan berhasil masuk untuk menyaksikan
si Carik Merah, dimana Pak Mustar berada di hadapan kami ketika film hamper
selesai.
Kami dilanda
perasaan takut memikirkan hukuman yang akan diberikan Pak Mustar, dimana para
monyet berdatangan bukan untuk menghibur. Di hari yang ditentukan, anak-anak
sudah berdatangan, dan Pak Mustar mengumumkan hukuman untuk kami, diikuti
pemanasan pemeranan adegan di jemuran, dengan Aku sebagai si wanita seksi,
Jimbron sebagai si majikan, dan Arai sebagai anjing pudel.
Sementara Jimbron
dengan lapang dada membersihkan WC sekolah yang sudah setahun tak terpakai
sambil menceritakan kuda-kuda, Aku menahan napas dengan sapu tangan menutup
hidung. Sementara itu, Arai mengikat tubuhnya untuk membersihkan kotoran
kelelawar di plafon. Setelah dua jam lebih mendengarkan Jimbron membicarakan
kuda, aku tak lagi mampu menahan diri dan dengan tegas memerintahkan Jimbron
untuk diam. Mendapati hal itu, Jimbron mematung pucat pasi, sehingga aku pun
segera meminta maaf diikuti wejangan.
Di usia delapan belas tahun, aku
bermetamorfosis dari remaja ke dewasa: aku dipaksa belajar bertanggung jawab
pada diriku sendiri. Kini aku telah menjadi pribadi yang realistis, mengarah
pada pesimistis., dan mendapatkan kursi nomor 75 di pertengahan akhir semester.
Mendapati hal itu, Pak Mustar memarahiku dengan haru, mengingatkan sosok ayah,
yang tetap datang dengan baju safarinya. Arai pun mengungkapkan kekecewaannya
padaku ketika ayah pulang dan menyadarkanku bahwa: “Tanpa mimpi, orang seperti kami akan
mati...”
Insiden petir
yang seringkali terjadi, kini menimpa Jimbron yang mendengar kabar bahwa Capo
akan memelihara kuda Australia, dimana kutanyai Minar untuk memastikan kabar
tersebut. Capo Lam Nyet Pho dengan bangga berpidato bahwa ia bermaksud beternak
kuda setelah pemerintah mengungkapkan bahwa PN Timah mulai megap-megap.
Kedatangan tujuh kuda Australia tersebut mengagumkan seluruh orang, terutama
Jimbron, yang mengalami kemerosotan mental karena tak bisa lagi berjumpa dengan
mereka. Dua bulan kemudian, Arai datang ke los kontrakan dengan menunggangi
Pangeran Mustika Raja Brana, dan Jimbron pun membawa Pangeran melewati pasar,
menuju pabrik cincau, menpertunjukkannya pada Laksmi.
Kebaikan hati
Arai tak perlu lagi dipertanyakan, sehingga aku pun berusaha membantunya
perihal rasa cintanya pada Zakiah Nurmala binti Berahim Matarum, dengan
mengajaknya menemui sang master dunia persilatan cinta, Bang Zaitun. Setelah
menceritakan kisahnya Bang Zaitun mengungkapkan bahwa rahasianya hanyalah
gitar, mengarahkan Arai belajar bermain gitar demi untuk membawakan lagu When I
Fall in Love saat ulangtahun Nurmala. Setelah berminggu-minggu latihan, Aku dan
Jimbron menemani Arai menuju jendela kamara Nurmala, dimana karena gugup Arai
bernyanyi seperti minggu ketiga Latihan; suaranya ke timur, gitarnya ke barat,
dan temponya ke selatan. Mendapati hal itu, Nurmala memutar piringan hitam nat
King Cole dengan lagu yang sama: “When I Fall in Love”.
Dengan tenaga
optimism, saat tamat SMA Negeri Bukan Main, aku mendudukan ayahku di kursi nomor
tiga, sementara Arai melejit ke kursi dua, dan Nurmala karatan di kursi pertama
sejak kelas satu. Nurmala akan segera meninggalkan Belitong, dan Arai
mempersembahkan lagu “I Can’t Stop Loving You” karya Ray Charles secara
lipsync.
Mengikuti rencana
Arai, aku pergi merantau ke Jakarta, dimana Jimbron menyerahkan dua celengan
kudanya. Dengan menumpang kapal Bintang Laut Selatan, kami terombang-ambing,
tersiksa selama enam hari, disertai tugas bantu-bantu. Mengikuti arahan sang
Nahkoda, kami bermaksud menuju Ciputat setelah tiba di Terminal Tanjugn Priok
hanya untuk mendapati diri kami berada di Terminal Bus Bogor. Di tengha malam,
kami berjalan terseok-seok tak tentu arah, dan terpana di hadapan Kentucky
Fried Chicken. Mengikuti pesan orangtua, kami mendapati masjid di belakang IPB,
dan mendapat kos di Babakan Fakultas. Setelah berbulan-bulan tak mendapatkan
pekerjaan, Aku dan Arai terpaksa mebuka celengan pemberian Jimbron, dimana kami
kemudian bekerja sebagai sales door to door, dengan wan prestasi, beralih ke
pabrik tali, dan kemudian bekerja sebagai penjaga fotokopi, yang mengarahkanku
menjadi pegawai pos.
Setahun bekerja
sebagai juru sortir pos, aku yang kehilangan jejak Arai, diterima di UI, dimana
aku bertemu dengan Zakiah Nurmala, yang menanyakan keadaan Arai. Selesai
kuliah, aku mendaftar beasiswa strata dua dari Uni Eropa, dimana professor yang
mewawancaraiku, sangat kagum dengan proposal risetku, diikuti wawancara dari
professor luar negri yang menanyaiku soal sapi gila. Selesai wawancara, kudapati
suara Arai di ruangan lain, dimana ia bekerja sebagai penggosok batu akik di
Kalimantan.
Jimbron terkejut
mendapati kedatanganku dan Arai, dimana Jimbron telah memiliki anak berusia dua
tahun. Berbulan-bulan kami menunggu hingga akhirnya surat itu datang, dimana
kami diterima di universitas yang sama: Universe de Paris.
Note:
- dikhususkan bagi yang sudah membaca bukunya [sebagai pengingat].
- bagi yang belum membaca bukunya, amat disarankan untuk membacanya [jika tertarik], sebab setiap penulis memiliki cara penyampaiannya sendiri-sendiri.
0 comments:
Post a Comment