Rico de Coro
by: Dee Lestari
Aku jatuh cinta pada seorang gadis
remaja yang berparas manis, dengan nama yang manis pula: Sarah. Dan itu
merupakan masalah besar bagi bangsaku. karna bagi mereka Sarah tak lebih dari
seorang pembunuh. Padahal aku tahu pasti, Sarah tidak mungkin membunuh. Setiap
kali mendekati kerajaan yang bernama dapur, ia selalu minta ditemani.
Ayah tak pernah mau mengerti. Sebagai
seorang raja yang berwawasan luas dikarenakan masa kecilnya dihabiskan di
lubang dekat televisi, ia memberikan kami sebuah nama yang diambil dari
televisi, untuk membedakan kami dengan kecoak-kecoak selokan. Berbeda denganku.
Tadinya aku mau dinamai Tak Tik Boom. Ayah bilang nama itu cocok untuk seorang
pangeran, lucu tapi juga kedengaran cerdik dan taktis.
Namun semuanya berubah saat kudengar
sebuah nama terucap dari mulut Sarah pujaanku. Saat itu ia sedang memberi nama
pada Ikan Arwana kesayangan Om Haryanto bersama kedua saudaranya, David dan
Natalia. Dimana mereka juga menamai makanan yang hendak diberikan pada Ikan
Arwana tersebut. Dan terucaplah sebuah nama Rico de Coro untuk seekor kecoak
apes yang kemudian lenyap disantap Ikan Arwana.
Suatu malam terjadi rapat besar di
lemari gas LPG, istana kediaman ayah. Dimana Petruk, selaku asisten pribadi
ayah mengumumkan, bahwa Lala Pita, seekor kecoak albino yang manis telah
dibunuh oleh David. Kejadian itu membuat ayah memberlakukan jam siang.
Aku yang mengetahui penyebab perburuan
kecoak yang semakin mengganas, segera melaporkannya para Petruk, yang segera
pergi melapor pada Ayah. Namun Ayah malah tambah naik pitam, memanggilku, dan
mencemooh perasaan cintaku pada Sarah. Puncaknya ia menyuruhku untuk berkaca
sambil mengatakan; “Lihat dirimu. Kita ini kecoak! Di mata manusia, kita
selamanya hitam, kecil, jelek, bau.”
Seekor makhluk aneh berada di bilik
istana, yang ternyata merupakan kecoak yang dijadikan kelinci percobaan. Namun
gagal. Namanya Absurdo, dan ia berbicara dengan terbatah-batah. Aku menjadi
cukup dekat dengan Tuan Absurdo, dimana ia bekerjasama dengan Ayah untuk
memberikan pelajaran pada David menggunakan racunnya.
Di hari yang telah ditetapkan, Tuan
Absurdo diboyong ke dalam laci meja belajar David yang memang selalu dibiarkan setengah
terbuka. Setelah mengucapkan salam perpisahan pada Tuan Absurdo. Aku memilih
pergi ke kamar Sarah, yang hari ini berumur 15 tahun.
Kulihat Sarah terperanjat. Begitu pula
aku yang kaget sendiri mendengar bunyi sayapku yang baru saja tumbuh menggeser
tirai. Sarah yang terlanjur takut, buru-buru keluar meminta bantuan. Natalia
segera menghampiri Sarah di kamar David, menanyakan apakah ada yang aneh dengan
kecoaknya.
David kemudian segera bangkit untuk
mengecek ke kamar Sarah, meminta Sarah untuk mengambil senter di laci kamarnya.
Membuat seluruh badanku berdesir mendengarnya. Tak ada yang kuingat selain
putihnya gaun Sarah yang tak boleh dicemari air mata. Dan tawa lepasnya yang
takkan kubiarkan menjadi erangan tangis. Sayup-sayup terdengar suara Sarah
menjerit “Itu kecoaknya, ITU!”
David yang panik segera mengeluarkanku
dan siap melindasku. Namun Natalia menghentikannya. Dilihatnya buronan yang
selama ini ia cari-cari, Tuan Absurdo.
“David!, kecoaknya masih hidup!”
Itulah teriakan Sarah yang terakhir kali
kudengar, sebelum riwayatku tamat di bawah sandal karet David yang memukulku
berulang-ulang. Natalia diam termangu. Matanya nanar memandangi tubuhku yang
sudah tak berbentuk. “Tapi kecoak itu yang telah menyelamatkanmu Sarah”
bisiknya pada Sarah.
“Kakak…”
Sayup-sayup kudengar suara merdunya yang
memanggil Natalia yang baru saja bangun pagi.
“Kamu kenapa?” tanya Natalia bingung.
“Tadi malam aku mimpi jadi putri”,
senyum Sarah mengembang, tersipu-sipu. “Aku bertemu dengan pangeran, namanya
Rico de Coro, lalu kami jalan-jalan, berdansa, dia cium pipiku dan bilang
selamat ulang tahun.”
Terimakasih atas Pembelian Buku Original-nya!!
Note:
- dikhususkan bagi yang sudah membaca bukunya [sebagai pengingat]
- bagi yang belum membaca bukunya, amat disarankan untuk membacanya [jika tertarik], sebab setiap penulis memiliki cara penyampaiannya sendiri-sendiri.
0 comments:
Post a Comment