Mencari Herman
by: Dee Lestari
Seharusnya ada pepatah bijak yang
berbunyi: bila engkau ingin satu, maka jangan ambil dua. Karna satu
menggenapkan, tapi dua melenyapkan.
Dia adalah Hera, seorang gadis 13 tahun
yang tertarik dengan perbincanganku bersama teman-teman kakaknya yang lain yang
sedang membicarakan mengenai Herman Finaly, seorang aktor dari film yang baru
saja kami tonton.
Seminggu kemudian Hera melaporkan
padaku, bahwa ia tidak berhasil menemukan orang yang bernama Herman di
lingkungan sekolahnya. Kami pun mencoba mencarinya di lingkungan sekitar rumah,
tapi kami tidak dapat menemukan seorang Herman sejati.
Setelah lulus SMA, Hera yang ingin jadi
dokter pamit untuk kuliah di Jakarta, namun ia drop out karna sakit-sakitan
setelah ia menggugurkan janinnya ke dukun. Hera kemudian memilih untuk jadi
pramugari. Dan aku ikut mengantarnya saat ia hendak berangkat, sambil berkata:
“Supaya ketemu Herman di angkasa”, candaku.
Pertemuan kami berikutnya Hera sudah
berseragam pramugari sungguhan, cantik sekali. “Sudah ketemu Herman?” tanyaku.
Hera tertawa lepas dan menceritakan bahwa sudah setahunan ia telah berhenti
mencari.
Tak lama kemudian, kudengar kabar dari
sahabatku bahwa Hera menjalin hubungan dengan pak pilot. “Namanya Herman?”
tanyaku. “Bukan, namanya Bajuri”, jawab sahabatku. Bajuri hendak menceraikan
istrinya demi hidup tentram bersama Hera. Namun tak ada sanak keluarga yang
merestuinya, termasuk aku. Karna namanya Bajuri, bukan Herman.
Setelah Hera keguguran dua kali,
hubungannya dengan Bajuri berakhir, membuatnya pindah ke maskapai lain. Namun
ia kehilangan pekerjaan, karna perusahaannya gulung tikar.
Aku menemui Hera lebih dulu dibandingkan
keluarganya, yang sudah tidak lagi mempedulikannya. Kudapati Hera berjualan
kain batik dari pintu ke pintu. Ia mengeluarkan semua keluh kesahnya padaku
sambil menangis terisak-isak selama berjam-jam hingga kosa katanya habis. Barulah
aku berkesempatan bicara, bahwa telah kutemukan Herman untuknya.
Namun sesampainya di rumah Herman, kami
dapati Ny. Herman tak lagi ceriwis dan murah senyum, karna telah ditinggal mati
oleh suaminya seminggu yang lalu. Ny. Herman menangis, Hera menangis, dan aku
ikut murung. Seolah hari itu ada dua janda yang ditinggal mati.
Sepulangnya dari sana, kudengar Hera
berbisik “Abang, dari aku kecil dulu, cuma abang yang selalu peduli padaku. Dan
aku selalu sayang sama abang. Tapi abang seperti buta. Tolong jangan lagi
mencarikan Herman.” Dan sejak saat itu, aku berusaha berhenti memikirkan Hera.
Tidak gampang, sungguh.
Seratus hari, kuselipkan cetakan surat
Yasin itu ke dalam tas. Bersalaman dengan sahabatku dan keluarganya seolah
untuk yang terakhir kali. Karna rasanya aku tak sanggup untuk kembali lagi,
sejak mendengar kabar Hera yang satu hari pergi dan tak kembali.
---------
Teman Hera yang terakhir kali bersamanya
bercerita, bahwa Hera didatangi seorang pria yang hendak menjadikan Hera
sebagai model iklan. Hera menerima kartu nama pria itu dengan sebelah mata.
Namun setelah membaca namanya dengan teliti, Hera segera mengejar pria tersebut
dan tak pernah kembali lagi.
Saat sahabatku menunjukkan kartu nama
yang menjadi petunjuk menghilangnya Hera, dapat kurasakan kaki Hera yang
berlari, sekuat tenaga, mengejar satu-satunya impian yang terwujud dalam
hidupnya yang bergelimang kecewa, mengajak pemilik kartu nama itu berkenalan
sekali lagi. Demi mendengarkan sepotong nama disebut: Herman.
Kubayangkan wajah cantik itu
berseri-seri.
Herman Suherman.
Note:
- dikhususkan
bagi yang sudah membaca bukunya [sebagai pengingat]
- bagi yang
belum membaca bukunya, amat disarankan untuk membacanya [jika tertarik], sebab
setiap penulis memiliki cara penyampaiannya sendiri-sendiri.
0 comments:
Post a Comment