Friday, January 11, 2019

Sinopsis "GEGER KIAI: Catatan Mistik sang Kembara - Fahrudin Nasrulloh" Bahasa Indonesia

 

Di Pondok Jampes, Kiyai Ihsan yang mendapati Sarkamid tak juga datang ke masjid karna masih mandi di Kali Berantas untuk Shalat Jum’at, mengungkapkan bahwa “jika adzan kedua berkumandang dan dia belum juga muncul, dengan izin Allah, kuharap dia takkan lagi kembali ke pondok ini”. Hari-hari pun berlalu hingga Kiyai Ihsan wafat, dimana beberapa tahun kemudian saat haul seekor buaya putih (Boyo Seto) muncul dari Kali Berantas menuju pondokan.

Dalam sebuah perjalanan, Sunan Kudus yang disapa oleh Kebo Kenongo, menjawab sapaan tersebut dengan sedikit masam karena mengetahui bahwa Kebo Kenongo merupakan murid Lemah Abang.

Di sebuah pesantren di Cirebon, tanpa sepengetahuan sang Kiai, seorang santri lelaki-perempuan memadu kasih di pekuburan, tepatnya di bangunan kecil tempat menyimpan keranda jenazah. Juru kunci makam yang memergoki keduanya dengan ngeri, mendapati si lelaki tidak bisa mencabut zakar-nya, juru kunci pun pergi menemui sang Kiai dan Warga pun saling berteriak “Gancet di kuburan!”.

Menerima tawaran untuk meninggali sebuah rumah di daerah pinggiran Trosobo, Sepanjang, Surabaya, mengarahkanku untuk didatangi oleh makhluk-makhluk halus sekitar tengah malam, seperti tuyul dan Asu Blang Menyunyang.

Ketika aku mondok di Denanyar, aku dan kawan-kawan santri mendirikan geng berjuluk Geng Jamil. Dimana setiap kegiatan akan ditutup dengan lagu-lagu kocak Doel Sumbang, salah satunya berjudul Ceu Romlah.

Mendapati seorang wanita cantik terlempar karna tertabrak mobilnya, si pemilik mobil segera keluar dan menanyakan keadaan wanita cantik tersebut. Namun ia langsung pergi meninggalkan wanita tersebut setelah mengetahui bahwa wanita tersebut baru saja diusir oleh majikannya karna menderita AIDS.

Warga asrama Pondok Sunan Pinoleh resah dengan adanya  hantu berwujud jempol hingga salah satu santri, Musbikin, menjalankan Aji Wirid Sumber Geni.

Mengetahui sang ayah mati karna ulah pelacur berkalung belati, Badrun dilanda kemarahan besar yang mengarahkannya meladeni seorang pelacur, dimana dalam prosesnya Badrun merapal sejenis mantra, mengarahkan penemuan sesosok mayat keesokan harinya.

Ronggowarsito memenuhi panggilan Sultan Paku Buwana IX untuk meramalkan kandungan Permaisuri, dan mengucapkan kata “Hayu”. Dalam kegelisahan, Sang Sultan yang gembira mendapati datangnya seorang putra berusaha mencemooh Ronngowarsito hanya untuk mendapati Ronggowarsito mengungkapkan bahwa “Hayu” berarti seseorang yang memiliki kewibawaan yang mengagumkan.

Sarmadi memenuhi ajakan Kiai Kholil untuk menemaninya mengobrol, dimana Kiai Kholil kemudian menanyakan; “apakah amal ibadah serta cara saya mencari ilmu dan mengajarkannya kepada para murid telah diridhoi oleh Allah!?”

Mei, 2000, Sumi (sang istri), yang mendapati suaminya, Barto, kesetanan, diiringi Gunatmo (sang anak yang berusia 5 tahun) yang menjerit-jerit ketakutan, segera pergi menemui Kiai Sembir (sesepuh kampung Medelek) dan menceritakan apa yang terjadi. Tak lama kemudian, Barto ditemukan meninggal setelah menghantam-hantamkan kepalanya ke tembok kuburan Medelek.

Di kereta api jurusan Jakarta-Surabaya, seorang Kiai yang kebelet pipis, dan mendapati toilet pria tengah penuh, nyelonong ke toilet wanita dan mengatakan “Ini juga khusus untuk wanita!”.

Pada 21 April 2006, di toko buku loakan milik Mas Wahid di Pasar Beringharjo, saya temukan buka lawas berjudul Maleise Bloemlezing: Uit Hedendaagse Schrijvers disusun oleh Dr. G.W.J. Drewes, 1947. Salah satu cerita berjudul Gurau Senda di Satoe Sawal karya M. Kasim; mengisahkan perseteruan Si Lengkong dengan sang istri perihal masakan sang istri di Bulan Puasa sehingga Si Lengkong menjatuhkan cerai, namun kemudian menyesal.

Di sebelah barat kampung Kalangbrek, terdapat makam Wali Jumadil Makbul dan seringkali muncul kunang-kunang di malam Jum’at Legi. Makam keramat tersebut diziarahi  banyak orang, lebih-lebih mereka yang hendak melaksanakan ibadah haji.

Di kuburan ini, dibawah pohon kamboja, kuperingati kepergian Kiai Abdullah (11-04-2004), yang menunjukkaan kesakitan amat sangat di hari-hari terakhirnya.

8 Februari 1868, kapten Tack pergi menemui Amangkurat II agar menyerahkan Surapati dkk, yang telah melarikan diri atas perintah Sunan. Mengetahui apa yang terjadi, Tack mencemooh kepengecutan Surapati dkk hanya untuk mendapati serangan mendadak dari mereka.

Sekitar pukul 04.30 WIB, lambat-lambat lantunan istighfar berkumandang, dilanjutkan dengan lantunan 5 bait tembang jawa karya Ahmad Zamzuri, yang menerimanya dari Kiai Abdullah, dari Jamiun.

Kapten Duyvens dari Kompeni sempat dibikin gerah dan kopat-kapit sebab tingkah nyeleneh Demang Urawan yang homoseks.

Mengetahui Kiai Sangidin tengah stroke parah, Kiai Sukimin pergi menjenguk dan mendapati bahwa Kiai Sangidin kurang menjaga kesehatan karna disibukkan oleh pengajian dan usaha materialnya.

Nasrul Hadi yang memiliki silsilah keturunan Sultan Agung Mataram mendapati sang kiai di pondoknya meninggal dunia keesokan hari setelah meminta dipijit padanya. Setelah berpindah-pindah pondok, Nasrul Hadi mondok di Langitan dibawah asuhan Kiai Faqih (1978-1983). Dimana dalam prosesnya, terjadilah kisah sebuah kitab, berdakwah di Compreng Tuban, kursus percetakan dan afdruk foto di Paiton Probolingo, hingga akhirnya kembali ke kampung halaman dan mendirikan Ponpes Salafiyah al-Muhsin pada 1993 bersama abahnya, Kiai Abdullah, dan kakaknya, Kiai Munahar.

Menanggapi penuturan panjang seorang pria asing perihal ilmu makrifat, Kiai Siroh mengungkapkan; “menghitung bulu mata saja saya tak bisa, apalagi ilmu makrifat!”.

Kiai Munawi yang tengah mengkaji kitab shalawat setelah acara shalawatan di rumahnya, menanggapi pertanyaan seorang pria yang mengaku sebagai teman Basri perihal tangisan saat pembacaan shalawat hanya untuk mendapati Basri tidak membawa siapa pun dalam acara tersebut.

Di sebuah kampung di daerah Wonokromo, Yogyakarta, undur-undur membangun rumahnya, beranak-pinak, disertai dengan makam Kiai Srandil.

Samadikun asal Banyuwangi menceritakan perihal kabut di makam Kiai Mbanjeng.

Di suatu subuh di keramaian Pasar Trowono, seorang perempuan gila terbangun dengan tubuh nyaris telanjang dan tampak menggigil kedinginan. Aku tersentak dari lamunan ketika seorang lelaki bersorban mengamati dan kemudian menghardikku.

Syaikh Dumba bertanya pada Syaikh Malaya perihal makna tersembunyi syari’at, tarekat, dan hakekat.

Dalam sebuah perjalanan, Sunan Kalijaga yang mendengar tembang Cokrowolo; “lilo-lilo”, menyarankan tembang yang lebih baik; “la ilaha illallah”.

Demak, 2005, Kiai Dulkotop yang mengisi pengajian di sebuah kampung terpencil, ratusan kilometer dari pesantrennya, marah besar mendapati amplop yang diterimanya hanya 100 ribu. Ia pun mengucapkan sumpah serapah dan meminta tambahan 300 ribu yang kemudian ia berikan pada takmir masjid untuk pembangunan masjid tersebut.

Usai main bola di lapangan Banjardawa, kami yang dihukum oleh Gus Najib, mendengarkan Iswandi menyanyikan lagu Doel Sumbang berjudul Dongeng Cinta WNI yang menceritakan Monyet Jebolan Pesantren.

Hanya aku (Kalasrenggi) yang menemani hari-hari terakhir Kiai Sarkesot yang dikenal dungdeng (sakti) sebagai pelindunng para berandalan, dimana pesantrennya telah bubar dan istri-istrinya minggat, memberikan nasehat padaku yang menegaskan agar tak mengikuti jejaknya.

Suatu sore, Kiai Azizi menghampiri Kiai Subki, menyarankannya untuk menikah, mengarahkan Kiai Subki menceritakan kisah kelamnya.

Kelima santri Dresmo yang terlelap di trotoar dikejutkan oleh salah satu teman mereka yang memimpikan Serdadu Malaikat Zabaniyah.

Sarkadul merasa bangga menerima ilmu kebal dari Kiai Tambir dari Kiai Kartosuwiryo. Dan mendengar kabar bahwa Kiai Tambir menguasai ilmu Lelampah Banyu, Sarkadul pun segera pergi menghadap hanya untuk mendapati Kiai Tambir mengarahkannya pada Si Maun, tukang adzan musholla.

Atas pesan dari Kiai-ku di Pesantren Termas, aku menjalankan 33 hari dalam 33 perjalanan.

Setelah menziarahi makan Raden Alif di Betek Mancilan, Jalamayang beristirahat sejenak bersama Syaikh Kanigoro yang kemudian mengungkapkan ke-wali-an seseorang yang lewat. Maret 1789, Jalamayang kembali menziarahi Raden Alif dan mendapati makam Sayikh Kanigoro, dimana Jalamayang kemudian juga mendapati keberadaan waliyullah tersebut.

Selepas Shalat Subuh, Sunan Bonang menghampiri Syaikh Malaya yang mengungkapkan tidak tahu harus berdoa apa, sehingga Sunan Bonang pun menegurnya.

Dengan bantuan Kiai Kalamadun, Kiai Dulkematkemut berusaha mengobati Markaban, santrinya yang kesurupan di hari terakhir menjalankan amalan Nurbuat. Dalam prosesnya, Kiai Kalamadun menjadi tak sadarkan diri, sementara Kiai Dulkematkemut ikut kerasukan. Menjelang hari ke-9, Kiai Dulkematkemut pulang dalam keadaan pucat setelah diselamatkan oleh Syaikh Khidir dan Kanjeng Sunan Kalijaga, yang kemudian memberikannya amalan Suluk Rumeksa ing Wengi.

Sukardi kembali mengantarkan Kiai Sulami makan gudeg di warung langganan. Namun dalam prosesnya, Kiai Sulami turun di tengah jalan dan mengungkapkan bahwa ia melihat semua orang telanjang. Sukardi pun menimpali, sehingga ia digaplok Kiai Sulami.

Tanpa mengiraukan pertanyaan Pak Jalal, Parno merenungi keadaannya yang sekarang mengikuti besan berkelana mengemis ke tempat-tempat jauh.

Dalam acara tamasya akhir tahun kelas II Aliyah di Pesantren Denanyar Jombang di pantai Sine Tulungagung, Iswandi menyanyikan lagu; Aku si Raja Goda.

Di bus Sumber Kencono, dalam perjalanan antara Ngawi-Madiun, Mbok Sulami dengan merdu menyanyikan tembang Jawa.

Sehabis gaji malam, seorang santri yang kebelet berak, menyambar apa saja yang ada di hadapannya dan lari pontang panting menuju menara pondok. 3 hari kemudian, Pondok Tambak Beras digemparkan oleh seonggok tahi berbungkus kertas al-Qur’an, diikuti dengan kabar meninggalnya seorang santri dilindas spur tebu di rel depan pondok. Di sumur pondok dimana santri tersebut di mandikan, seringkali muncul hantu ‘Sumur Tali Usus’.

Mengikuti ajakan kedua temannya untuk beroperasi, Pak Sersan mendapati Wak Haji tengah berpacaran dengan istrinya. Sapuan maut pun tak terhindarkan.

Menanggapi penuturan temannya yang sudah dari dulu mengingikan pigura foto Gus Miek di rumahnya, Cak Kan dengan tegas merelakan pigura tersebut pada si teman sambil menunjuk dadanya.

Di Mangunsari, Tulungagung, santri-santri Al-Thahiriyyah memandikan mayat seorang gelandangan tua yang meninggal di emperan musholla,yang kemudian diiringi bau wangi tak terbayangkan. Kiai Fatah kemudian menerima wasik yang mengungkapkan bahwa gelandangan tersebut adalah seorang Waliyullah bernama Duladhim.

Selasa, 8 Agustus 2006, saya meluncur ke Dsn. Kebokicak, Ds. Dapur Kejambon, dan ditemui oleh Kiai Hafidz yang menceritakan sejarah Islam di kampung tersebut. Dimana Kiai Hafidz kemudian memberikan saya amalan “Niat Ingsun Padhang Ati”.

Menanggapi pertanyaan seorang pria perihal larangan anggur dalam Islam, seorang guru sufi mengungkapkan bahwa “Itu tergantung dari kebesaran jiwamu, ibarat anggur dalam air di baskom dan ibarat anggur dalam lautan. “

Kiai Zainuddin meminta sopir menghentikan oplet-nya disebabkan ada kuda lewat, dimana kuda tersebut mirip kuda Kiai Sholeh Langitan.

Mukadal yang sudah puluhan pekan bersila di amben pondok Kiai Wakidat di pucuk Gunung Klotok demi warisan Syaikh Amongraga, menerima makian keras yang diikuti ilmu Manunggaling Cecak lan Kopi.

27 Mei 1994, kala pelajaran baca kitab kuning at-Tahdzîb yang digelar Ustadz Najib Muhammad, Iswandi diskors dengan hukuman mengangkat satu kaki kanan-nya sambil bernyanyi, dimana Iswandi menyanyikan lagu Doel Sumbang berjudul “Aku Tikus dan Kucing”.

Mendapati penyakit stroke-nya semakin parah, Kiai Sokeh memakai helm saat ke kamar mandi.

Di sebuah daerah terpencil di Lasem, dikisahkan ada sebuah makam auliya dengan dua patung naga bertengger di atas gerbang. Dua Kiai (Kiai Baidawi dan Kalawi) yang tak saling mengenal bermaksud untuk menghancurkan patung tersebut, dimana salah satunya ditemui arwah auliya makam tersebut di tengah perjalanan.

Sebagai sesama murid Kiai Sukriwan, Marhusen yang telah sukses secara materi, mengunjungi dan mengajak Marhasan untuk ikut dengannya dan meninggalkan wasiat kiai mereka (menulis kitab mujarabat dan menelusuri makam-makam keramat) hanya untuk mendapati penolakan mentah.

Kiai Munali pergi meninggalkan pesantrennya untuk menyepi dan mempelajari ilmu tasawuf hanya untuk mendapati dirinya berubah menjadi kucing disertai perintah agar kembali ke pesantren.

Tatkala Kiai Suliman wafat, Kiai Munib yang datang melayat, tersenyum setipis silet sembari menatap beberapa orang yang ada di sekitarnya, lalu berkata, “Yang lahir, lalu mati. Maka, kembalilah apa yang musti kembali.”

Tukimin terlibat perbincangan dengan Kiai Bardud perihal kematian Supri, tetangganya yang masih muda, yang rajin ngopeni masjid di kampung.

Saat berkunjung ke Makam Pitu Tralaya, Mojokerto, saya bertemu dengan Matdrakim yang kemudian memberikan foto Gajah Mada dan Sabdopalon. Gajah Mada sendiri dinisbatkan masuk Islam dengan nama Ki Ageng Tukum. Dimana Gus Lilik mengungkapkan bahwa foto Gajah Mada tersebut merupakan foto Patih Logender.

Dalam pengiringan jenazah di Kampung Buduran pada 29 Juli 2007, keluarga korban mengingatkan bahwa tidak ada yang bisa kita bawa setelah mati selain amal, dimana ia juga mengungkapkan bahwa tidak mengadakan acara apa-apa di rumahnya.

Kiai Mukmin merupakan kiai terkenal dengan ribuan santri, selalu dihormati oleh orang-orang di sekitarnya yang selalu membungkukkan badan, hingga ia mendapati seorang tukang rumput bernama Baridin tidak melakukan hal tersebut.

 

 

Note:
- dikhususkan bagi yang sudah membaca bukunya [sebagai pengingat].
- bagi yang belum membaca bukunya, amat disarankan untuk membacanya [jika tertarik], sebab setiap penulis memiliki cara penyampaiannya sendiri-sendiri.


0 comments:

Post a Comment

 
;