Saturday, November 10, 2018

Sinopsis "Kematian Sebuah Bangsa - Kahlil Gibran" Bahasa Indonesia

Yusif El Fakhri adalah seorang gila yang menarik perhatianku. Dengan adanya badai prahara yang menerpa, aku berusaha singgah di pertapaan Yusif yang ternyata tengah memegang seekor burung sekarat dan menerima kedatanganku dengan baik. Menyadari kesangsianku mendapati hidangan perjamuannya, Yusif mengungkapkan bahwa ia menyendiri bukan untuk beribadah melainkan untuk menghindari manusia. Yusif juga mengungkapkan bahwa tak seorang pun di bumi ini yang bisa menyelamatkan manusia yang mencintai kesia-siaan dan tak menyadari betapa pentingnya kebangkitan jiwa. Satu jam kemudian, Yusif yang bermaksud keluar untuk merasakan akrabnya ekspresi alam, mengharapkanku untuk belajar mencintai prahara.

Manusia adalah budak kehidupan, penyakit abadi yang diwariskan tiap generasi kepada penggantinya. Kutemukan perbudakan buta, bisu, tuli, lumpuh, buruh, halus, membelit, bengkok, dan hitam, dengan mayat sebagai sosok kebebasan.

Putri-putri laut mengerumuni mayat seorang pemuda dan menebak-nebak apa gerangan yang menimpa si pemuda hingga mereka mendapati sepucuk surat cinta dari sang kekasih di saku pemuda tersebut.

Kamilah putra-putra penderitaan, sedang kalian putra-putra keriaan. Kalian putra pengejar surga dunia, yang tinggal di rumah kebodohan. Kami menangis, menaruh simpati pada si miskin, pada isakan dan ratapan si lemah yang tertindas. Kamilah putra penderitaan, sedang kalian putra keriaan. Kalian telah menegakkan piramida dan mendirikan Babilonia. Dan sejarah berulang kembali pada bangsa-bangsa yang merestui kami, namun menghujat kalian. Kami menghampiri sebagai teman, tapi kalian menyerang kami sebagai musuh. Kami tegakkan istana kalian, tapi kalian gali kuburan kami. Sejak hari alastu, kalian memerangi kekuatan kami yang lembut dengan kelemahan kalian yang kasar. Kamilah putra penderitaan, dan derita adalah mega keemasan, menyirami umat manusia dengan pengetahuan dan kebenaran.

Musim semi 116 SM, ditengah-tengah doa dalam kuil Ishtar, Nathan menerima kabar bahwa kekasihnya telah siuman hanya untuk mendapati sang kekasih mengucapkan salam perpisahan. Musim semi 1890 M, Ali El Hosseini, seorang pengembala domba di Lembah Ngarai, menatap langit bagai seorang filosof yang memuji dan merenungi rahasia-rahasia Alam Semesta hingga ia disadarkan dengan kehadiran seorang dara jelita di seberang parit.

John mempelajari Injil Perjanjian Baru disaat para pendeta menolak membaca Kitab Suci disertai ancaman pengucilan bagi pemilik-Nya. John membawa lembunya untuk merumput dan asyik menyerapi al-Kitab, membuatnya kehilangan si lembu dan menemukannya terikat di biara St. Elija dikarenakan lembu tersebut telah merusak perkebunan. Dengan penuh keibaan, John meminta maaf berulang kali hanya untuk mendapati Kepala Pendeta bersikeras agar John mengganti kerugian atas nama Tuhan, membuat John mengeluarkan Injil-nya dan memberikan kata-kata balasan. Mengetahui anaknya dipenjara, Sang Ibu, Sara, pergi menemui Kepala Pendeta yang kemudian mengatakan: “Kami akan mengampumi putramu karena kegilaannya”. Paskah tiba, dan gereja baru di kota Besharri berdiri megah diantara gubuk-gubuk orang miskin. Pendeta tinggi tiba dengan arak-arakan kebesaran, memaksa John untuk berbicara demi kepentingan si miskin yang tertindas.

Ke manakah kau akan membawaku, O Bidadariku yang mempesona! Berhentilah sejurus dan dengarlah daku! Aku bak sebuah pikiran, sebuah mimpi… Kemudian kau menangkap khayalanku… Aku pun menjadi mabuk… Kebebasanku telah pulih dan aku siap untuk melayang… Akankah kau menerima sebuah hati yang mencinta, namun tak pernah memberi?

Rachel bersiap untuk menyongsong matahari, didampingi seorang pendeta yang mendoakan dan mengarahkan sang suami yang sangsai untuk beristirahat. Pendeta tersebut terdera konflik aneh dan mengungkapkan penderitaanya pada Rachel yang diiringi penyesalan, sehingga ia segera memohon pengampunan Tuhan.

Bangsaku berlalu, tapi aku tetap ada… Bangsaku mati dalam kesakitan, disini aku hidup makmur dan damai… Apa yang dapat dilakukan seorang putra terbuang untuk bangsa yang mati kelaparan!? Ya, tapi kematian bangsaku adalah dakwaan diam. Bangsaku mati di tiang salib… Apa yang dapat diperbuat untuk mereka yang sekarat!? Penderitaan kita tidak akan memuaskan kelaparan mereka.

Setangkai Violet hidup tenteram hingga ia melihat setangkai Mawar yang tinggi. Mengetahui hal itu, sang Mawar berusaha menasehati, begitu juga sang Alam, yang terpaksa memenuhi keinginan sang Violet. Prahara tiba untuk menghujam bumi, menyisakan sekelompok violet-violet kecil. Ratu Violet mengajak keluarganya merenungi Ketamakan sang Violet yang telah menjadi sang Mawar), dan mendapati sang Mawar yang sekarat dengan bangga mengungkapan: “Cita-cita di seberang eksistensi adalah tujuan utama dari kemakhlukan kita.”

Pada hari ini dari tiap-tiap tahun, jiwa-jiwa Kristen menunggang di atas sayap kenangan dan kemanusiaan berdiri meratap dibawah penderitaan Orang Nazareth. Seni Engkau, pada Tiang Salib, lebih mulia dan bermartabat daripada seribu raja di atas seribu singgasana di dalam seribu kerajaan. Ampunilah si lemah, karena tak tahu bahwa setiap hari adalah hari-Mu.

Di malam pesta perayaan, aku menghindari kerumunan, dan menemukan seorang pria yang juga merasa terkucil. Ia menyapaku dan mengungkapkan bahwa ia adalah orang asing di kota ini dan setiap kota. Ia telah mengetuk pintuku dan semua pintu seribu kali, dan tak memperoleh jawaban. Aku pun berusaha menenangkan diri dan menyadari bahwa nyanyian hati adalah suara dari surga.

Di kesunyian malam yang mengerikan, hantu-hantu berjingkrakan di sekitarku bersama kengeriannya. Dengan suara menggelegar, Ia mengatakan bahwa pekerjaan penggali kubur bagus untukku, mengingat banyaknya orang yang mati, dimana kata-kata kosong (ketuhanan) di tempatkan di bibir-bibir mereka oleh masa lalu dan bukan oleh pengetahuan.

Pabila kedua belas dari suatu masa yang berabad-abad telah tiba, tiga Dewa muncul di atas pegunungan. Mereka berkata: Rasa bosan adalah semangatku atas semua yang ada, dan semua yang kulakukan hampa dan sia-sia. Meski demikian, sebagai santapan untuk dewa-dewa manusia kan menjadi selera dewata. Manusia tak bernyali, jadi berani karena keinginan kami. Dan kesengsaraan diatas kesengsaraan menanduskan bumi yang sia-sia. O, Jiwaku, keheningan adalah wajahmu. Tangan siapa yang akan membebaskan kau dari penjaramu? Aku berbicara sungguh-sungguh, dan kau hanya mendengar kata-katamu sendiri. Tapi cinta akan tetap tinggal, dan bekas-bekas jarinya takkan terhapus.


Note:
- dikhususkan bagi yang sudah membaca bukunya [sebagai pengingat]
- bagi yang belum membaca bukunya, amat disarankan untuk membacanya [jika tertarik], sebab setiap penulis memiliki cara penyampaiannya sendiri-sendiri.

0 comments:

Post a Comment

 
;