Saturday, November 17, 2018

Sinopsis "Dilan: Dia adalah Dilanku tahun 1991" Bahasa Indonesia

 

Dilan: Dia adalah Dilanku Tahun 1991 
By: Pidi Baiq

Aku Milea Adnan Hussain. Kepindahanku ke Bandung, membuatku bertemu dengan Dilan dan akhirnya resmi berpacaran pada 22 Desember tahun 1990.

Dilan mengantarku pulang melalui jalan Buah Batu, dimana kami saling tertawa dibawah guyuran hujan. Setibanya di depan rumah, Dilan mengajakku untuk berciuman, yang tentu saja kutolak dengan senyuman.

Setelah makan di warung mi kocok Mang Dadeng, Wati dan Piyan main ke rumahku, dimana kami saling bercerita tengtang Dilan yang membuat kami saling tertawa. Di tengah-teengah percakapan, aku menerima telepon dari Dilan dan terlibat percakapan singkat. Malam harinya, aku tetap dilanda kekhawatiran atas kemungkinan Dilan dikeluarkan dari sekolah. Setelah menerima telepon dari Kang Adi, kutelpon Dilan, dimana aku juga bertelponan dengan Bunda. Di akhir percakapan, kuterima ajakan Dilan untuk tidur bareng di jam 21.00.

Keesokan harinya, sesuai janji, Dilan menjemputku untuk berangkat ke sekolah. Dan di tengah-tengah jam Istirahat kudapati Dilan terluka akibat dikeroyok oleh beberapa orang yang Dilan sebut sebagai agen CIA. Karna sekolah sedang jam bebas, aku menerima ajakan Dilan untuk langsung pulang dan membawanya ke rumahsakit. Setibanya di rumah, Bibi memberikan surat padaku, dari Beni, yang meminta untuk berbaikan.

Saat malam minggu, aku yang sedang telponan dengan Dilan, mendapati kedatangan Kang Adi, dan Dilan menyarankanku untuk pura-pura marah. Tak lama berbincang-bincang dengan Kang Adi, Dilan datang bersama teman-temannya, mengungkapkan padaku bahwa ia hendak mrayakan hari jadian kami, dengan Kang Adi sebagai saksinya. Saat Dilan pamit pulang, aku meminta ikut, sehingga Dilan membawaku berkeliling bersama geng motornya.

Aku dijemput Bang Fariz menuju rumah Tante Anis, dimana Ayah, Ibu, dan juga Airis sudah terlebih dahulu berada disana. Tante Anis memberikan sambutan hangat padaku, disusul dengan terus-terusan menjodohkanku dengan Yugo. Aku hanya menanggapi sekenanya karna tak ingin merusak suasana.

Malam harinya, saat Yugo datang berkunjung ke rumah, kuterima informasi dari Piyan bahwa Dila  hendak melancarkan serangan balasan. Mendapati hal itu, aku segera pergi ke Trina untuk mencegah Dilan dengan diantarkan oleh Yugo. Sekembalinya di rumah, aku terus menerus dilanda kekhawatiran mengenai keadaan Dilan, dimana aku harus menemani Yugo yang memutuskan untuk tidak langsung pulang.

Aku bangun cukup pagi dan segera kepikiran keadaan Dilan di hari libur Natal ini. Mendapati ayah dan ibu hendak pergi ke Cicendo terus ke BIP, aku setuju untuk ikut, dimana Yugo yang datang berkunjung juga ikutserta. Mendapati suara telepon berdering, segera kuangkat hanya untuk mendapati Beni yang menelpon, mengungkapkan ia sedang ada di dekat rumah dan bermaksud untuk mampir.

Dari BIP, Ibu, Ayah, dan Airin pergi ke daerah Purnawarman, sementara Aku menemani Yugo yang memutuskan untuk jalan-jalan, bahkan mengajakku menonton bioskop. Aku mengiyakan ajakan Yugo hanya untuk mendapati Yugo berusaha menciumku dalam bioskop. Dipenuhi kekesalan dan kemarahan, kutinggalkan Yugo dan kutelpon rumah Dilan hanya untuk mendapat informasi bahwa Dilan tengah berada di penjara.

Ditemani oleh Piyan dan Wati yang datang untuk menghibur, aku kemudian menelpon Bunda yang menjelaskan bgaimana  Dilan. Dengan kedatangan Ayah dan Ibu, yang kemudian disusul oleh Yugo, aku menjelaskan pada Ibu tentang perlakuan Yugo dan beranjak ke kamar ditemani Wati untuk menghindari Yugo.

Aku berangkat ke sekolah bersama Ibu untuk menerima rapor. Di sana kami bertemu dengan Bunda, Piyan dan Wati yang juga bersama ibu mereka. Aku memutuskan untuk pulang belakangan bersama Bund, dimana kami kemudian berhadapan dengan Ibunya Anhar. Dalam perjalanan pulang, aku mampir terlebih dahulu ke rumah Bunda dan berkenalan dengan Ayahnya Dilan.

Kamis, 27 Desember 1990, acara Porseni sekolah dimulai, dan aku ditunjuk sebagai seksi acara lomba melukis dan pembacaan puisi.

Sepulang sekolah, kujenguk Dilan di penjara dengan membawa roti isi buatan ibu. Di sana, aku terlibat perbincangan dengan Dilan, dimana kujelaskan perihal Yugo padanya.

Di hari penutupan Porseni, Pak Dedi, salah satu juri yang akan manggang di sekolah, bersikap berlebihan padaku, dimana hal itu kuceritakan pada Wati.

Malam ini Tante Anis dan Yugo berlunjung ke rumah, dimana Tante Anis memintaku untuk memaklumi dan memaafkan Yugo. Tak lama kemudian, kudapati Dilan datang dan kutunjukkan pada semuanya dengan penuh emosi bahwa Dilan adalah pacarku.

Malam tahun baruan dirayakan bersama Dilan dan teman-temannya di rumahku. Dengan gaplek dan bakar-bakar jagung, sosis, dan sate, sebagai pengisi waktu. Saat hampir tengah malam, kuterima telpon dari Bunda, yang kemudian datang ke rumah.

Hari ini Dilan datang ke sekolah, ternyata untuk berpamitan pada guru-guru. Dari warung Bi Eem, aku mengajak Dilan jalan-jalan, dan ia mengajakku mampir ke Warung Kang Ewok. Lalu kuajak Dilan nonton film di Kiara 21.

Saat mengajar di kelas, Pak Dedi lebih banyak membanggakan diri dan berusaha mendapatkan perhatianku, dimana ia kemudian menyerahkan sebuah puisi padaku. Puisi itu kutunjukkan pada Dilan yang kemudian membacakannya untuk Bi Eem. Di hari lain, Pak Dedi bergabung bersama kami di kantin untuk menunjukkan karya vignette-nya.

31 Juli 1191, setibanya di sekolah Wati memberitahuku bahwa Akew meninggal dikeroyok. Aku pun langsung cemas dan Dilan datang ke sekolah berusaha menenangkanku. Menyadari bahwa geng motor adalah penyebab kematian Akew, aku memutuskan untuk bersikap dingin pada Dilan yang masih ikut-ikutan geng motor.

Mendengar kabar bahwa Dilan kembali ditangkap polisi karna melakukan pengeroyokan terhadap kelompok yang diduga mengeroyok Akew, membuatnya diusir dari rumah, aku segera pergi menemuinya yang saat itu berda di rumah Burhan untuk mengungkapkan akhir hubungan kami. Bunda yang mengetahui bahwa Dilan tidak tinggal di rumah Piyan, mengajakku untuk pergi menemui Dilan dan mengajaknnya ke Dago Thee Huis. Bunda memarahi Dilan habis-habisan sehingga Dilan kemudian tinggal di rumah Piyan.

Hari-hari tanpa Dilan berjalan begitu hampa, meskipun kadang aku mengobrol dengan Budan dan juga Piyan untuk mengetahui keadaan Dilan. Waktu berlalu dan aku diterima di UI, dimana aku kemudiaan berpacaran dengan Mas Herdi. 35 Juli 1992, aku kembali ke Bandung untuk menghadiri acara pemakaman Ayah Dilan.

7 Juni 1997, saat acara ulangtahun atasan Mas Herdi, aku bertemu Dilan di kantor Mas Herdi. Setelah saling menyapa, aku terpaksa menemani Mas Herdi untuk menghadiri acara. Namun pikiranku tak berhenti memikirkan Dilan, membuatku kembali untuk mencari keberadaan Dilan.

Jatuhnya Suharto, membuat ayah kembali ditugaskan di Jakarta, sehingga rumah di Bandung dijual. Kebereskan barang-barang yang kembali mengingatkkanku akan kenangan bersama Dilan, dan aku pun pergi meninggslkan Bandung dengan ucapan selamat tinggal pada semuanya.

Dilan, ketika aku akhirnya menikah dengan Mas Herdi, aku masih selalu ingat dirimu.

 

Note:
- dikhususkan bagi yang sudah membaca bukunya [sebagai pengingat]
- bagi yang belum membaca bukunya, amat disarankan untuk membacanya [jika tertarik], sebab setiap penulis memiliki cara penyampaiannya sendiri-sendiri.

0 comments:

Post a Comment

 
;