Friday, February 2, 2024

Sinopsis "Hatta (Jejak yang Melampaui Zaman) - Tempo" Bahasa Indonesia

 Hatta (Jejak yang Melampaui Zaman)
seri Tempo

JIKA masih hidup, dan diminta melukiskan situasi sekarang, Mohammad Hatta hanya akan perlu mencetak ulang tulisannya 40 tahun lalu: "Di mana- mana orang merasa tidak puas. Pembangunan tak berjalan sebagaimana semestinya. Kemakmuran rakyat masih jauh dari cita-cita, sedangkan nilai uang makin merosot.” Hatta tidak antipartai, tapi mengecam para politisi yang menjadikan "partai sebagai tujuan dan negara sebagai alatnya." Pena adalah senjatanya untuk memerdekakan bangsa, sehingga ia ditahan pada 1927, dan menulis pidato pembelaan Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka). Ketika wafat pada 1980, Hatta meninggalkan "30 ribu judul buku" dalam perpustakaan pribadi

Di Desa Aur Kota Bukit Tinggi, Saleha Djamil melahirkan Mohammad Hatta pada 14 Agustus 1902, yang kemudian tinggal di Gedung Tri Arga. Beliau selalu dikisahkan sebagai orang sederhana dan cermat pada waktu. Ia sering jalan kaki sendirian-tanpa pengawal-berkeliling kota setiap usai salat subuh, dan menegur warga yang pekarangan rumahnya penuh sampah. Pelajaran agamanya di masa kanak-kanak dia peroleh dari Syekh Mohammad Djamil Djambek. Masa-masa di MULO juga menjadi periode yang penting saat kesadaran politiknya sebagai anak bangsa. Sebagai anak muda, dia juga menemukan kesenangan hidup di Plein van Rome, lapangan sepak bola yang terletak di alun-alun kota. Di Padang, ada Universitas Bung Hatta yang didirikan oleh masyarakat dan sejumlah tokoh Minangkabau. Sedangkan di Bukit Tinggi, tegaklah Perpustakaan Bung Hatta-yang menyimpan ribuan judul buku.

Sang ayah; Syekh Muhammad Djamil, meninggal tatkala ia masih berusia delapan bulan, dan Mohammad Hatta tumbuh dalam buaian ibu, kakek, nenek, dan paman-pamannya. Setamat sekolah di Padang, pertengahan Juni 1919, Hatta berangkat ke Betawi untuk melanjutkan sekolah, dibawah asuhan Mak Etek Ayub Rais, pemilik Malaya Import Maatschappij, dan berangkat ke Belanda pada 1921. Selama 11 tahun, Hatta bergulat dengan berbagai aktivitas pergerakan di Negeri Belanda, termasuk memimpin organisasi pelajar dari Tanah Air di Eropa, Perhimpunan Indonesia. Pada Juli 1932, setelah sempat mengenyam ruang tahanan di Belanda, Hatta kembali ke Tanah Air. Sekitar bulan Desember 1932, Hatta terlibat dalam polemik dengan Sukarno, mengarahkannya menemani Mak Etek melakukan kunjungan bisnis ke Jepang pada Februari 1933, dimana ia mendapati julukan “Gandhi of Java”. Keduanya kembali ke Indonesia pada awal Mei 1933, dan Mak Etek ditangkap tak lama kemudian.

Bung Hatta, kau bukanlah 100 tahun kesendirian. Percakapan antara kita, sebuah dialog dengan masa silam, adalah percakapan yang tak terhingga. Pada tahun 1933, setelah Bung Karno ditangkap, juga berpuluh-puluh pemimpin lain, kau tak ingin melangkah surut. Kau tetap bersiteguh, juga ketika pemerintah kolonial membuangmu ke Digul. Semua itu agar "di kemudian hari, tanah air kita dapat maju". Dalam rapat Indonesische Vereeniging kau dan teman-temanmu menentukan untuk memberi nama tanah air ini "Indonesia"

September 1921, Mohammad Hatta tiba di Rotterdam Handelshogeschool, dimana ia mendapatkan kebaikan dari pemilik toko buku De Westerboekhandel. Di sana, ia mendapat gelar doctor ekonomi, menjadi Ketua Indonesische Vereeniging dan sempat lima setengah bulan dipenjara karena dituduh menentang pemerintah kolonial. Setelah mula-mula menginap di rumah seorang kenalan--seperti juga pelajar inlander lainnya--ia menetap sementara di Tehuis van Indische Studenten, sebuah asrama khusus bagi mahasiswa Hindia Belanda yang terletak di Jalan Prins Mauritsplein. Kediaman di Jalan Schoone Bergerweg 51 menjadi rumah tinggal Hatta yang terakhir sebelum ia kembali ke Indonesia pada 20 Juli 1932.

5 September 1921, kapal Tambora tiba di Pelabuhan Nieuwe, Waterweg, Roterdam, setelah satu bulan berlayar dari Teluk Bayur, dimana salah satu penumpangnya ialah Mohammad Hatta. Pada 17 Februari 1987, pemeluk Katolik merayakan Karnaval dan sebuah jalan di permukiman Haarlem memperoleh nama Mohammed Hattastraat (Mohammad Hatta), dengan ujung Hattastraat bertemu dengan Sutan Sjahrirstraat (Sutan Sjahrir). Dan pada 12 Agustus 2002 Mohammad Hatta memperingati hari lahirnya yang ke-100.

Menanggapi adanya judul provokatif sebuah karangan: “Is Hatta Marxist?”, Hatta membalasnya dengan risalah berjudul Marxisme of Epigonenwijsheid? ("Marxisme atau Kearifan Sang Epigon?"). Sekitar 10 meter dari pelabuhan, kita dapat melihat baliho besar bergambar Bung Hatta dan Sutan Sjahrir dengan tulisan "Peringatan Satu Abad Bung Hatta", dimana kota tersebut dulu disebut "Klein Europeesch Stad" (Kota Eropa Kecil). Di Banda inilah (11 Februari 1936-25 Maret 1938), keinginan-keinginan Hatta yang bersifat politik disegarkan kembali dengan membaca-baca majalah sambil minum kopi tubruk, sarapan sepotong roti (mereka berlangganan roti kepada warga Arab setempat) dan sebutir telur mata sapi.

Dengan kapal Fommelhaut (1 Februari 1936), Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir tiba di Teluk Neira, Banda, menuju rumah dr. Tjicto Mangunkusumo sebagai orang buangan. Di sana, keduanya menjadikan  Des, Does, Lily, Mimi, dan Ali, sebagai anak angkat. 31 Januari 1942, Hindia belanda memerintahkan Hatta-Sjahrir pulang ke Jakarta.

“Pemimpin berarti suri tauladan dalam segala perbuatannya…,” coretan tangan Hatta bertanggal 2 juli 1949, dua hari sebelum dia meninggalkan rumah yang terletak di Gunung Menumbing, dekat Mentok, Pulau Bangka. Tak jauh dari ruangan itu tergeletak bodi mobil Ford hitam bernomor polisi BN 10. Pada Desember 1948, Belanda menyerbu Yogyakarta (ibu kota Republik Indonesia kala itu) dan menangkap Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta. Selain mengunjungi penduduk, aktivitas favorit Hatta di Gunung Menumbing tidak berbeda dengan di tempat-tempat lain: membaca buku. Aktivitas turun gunung Hatta lebih meningkat ketika Bung Karno dan K.H. Agus Salim turut dipindahkan dari Parapat ke Bangka pada 5 Februari 1949.

Halida Nuriah Hatta, yang masih berusia 14 tahun, menemani sang ayah menengok Digul setelah menghadiri Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Jaya pada 1969 tahun. Ia juga mengunjungi Banda Neira ketika Bung Hatta sekeluarga memenuhi undangan Des Alwi pada April 1973, dimana dua pulau kecil di sana dinamai Pulau Hatta dan Pulau Sjahrir.

Di Digul atau Tanah Merah, dataran terpencil di udik Papua, Mohammad Hatta menanam sayur dan belajar bertukang, ditemani es jeruk lemon kesukaannya. bukan cuma Van Blankenstein, tapi juga bahkan Hatta, seorang muslim taat yang berpendirian "di atas segala lapangan tanah air, aku hidup, aku gembira" itu, menyebut Digul sebagai "neraka dunia". 10 bulan di sana (hingga Desember 1935), Hatta menyibukkan diri dengan membaca saban sore, mengajarkan ilmu ekonomi dan filsafat dua kali sepekan, serta menulis kolom untuk surat kabar Pemandangan sebulan sekali.

Seorang pemuda belia berpose di sebuah rumah bersama enam orang perempuan berkebaya. Itu merupakan sebuah foto sebelum Sang pemuda-proklamator Mohammad Hatta diasingka ke Buven Digul setelah ditahan di Penjara Glodok. Pada Februari 1927 ia mewakili Indonesia menghadiri konferensi menentang imperialisme dan penjajahan yang diadakan di Brussel, Belgia. Seperti Hatta yang "dalam" dan menyimpan magma, foto-foto Hatta menjadi istimewa saat kita menelusuri sejarah di balik sebuah potret.

Jaap Erkelens ikut terlibat untuk berburu foto dalam rangka pembuatan buku Mohammad Hatta Hati Nurani Bangsa. Jaap adalah direktur perwakilan Indonesia untuk Koniklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde (KITLV), sebuah lembaga kajian bahasa dan antropologi milik Kerajaan Belanda.

Hatta tampil secara mengesankan dengan sikap seorang sarjana, seorang scholar, yang di samping berjuang dan terlibat aktif secara politik, selalu memberikan perhatian pada perkembangan ilmu pengetahuan dan mengumumkan tulisan-tulisannya menurut tata cara yang jamak dalam dunia akademis. Di antara para bapak bangsa itu barangkali hanya dia seorang (dan Tan Malaka, sampai tingkat tertentu) yang tekun menuliskan buku-buku teks, baik dalam bidang ekonomi (Pengantar ke Jalan Ekonomi Sosiologi), sejarah filsafat (Alam Pikiran Yunani,), maupun filsafat ilmu pengetahuan (Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan).

Kabar itu menyengat Hatta dan membuatnya marah besar: Sukarno memutuskan menikahi Hartini. Berbeda dengan sahabatnya, yang bak Casanova, Hatta seperti kata Deliar adalah seorang puritein (dikenal tak pernah menunjukkan ketertarikan pada Perempuan). Tak cuma soal wanita, dalam banyak hal perbedaan dua tokoh yang dikenal sebagai Dwitunggal ini memang sejauh bumi dan langit. Perbedaan tersebut mencapai puncaknya ketika Sukarno menolak mengesahkan Maklumat X, dan kemudian mencanangkan Demokrasi Terpimpin pada 1956. Pada 20 Juli 1956, Hatta pun mengirimkan surat pengunduran dirinya ke DPR, diikuti dengan gugatan-gugatan terhadap Sukarno. Meski begitu, hubungan keduanya tetap dekat, sebagaimana Sukarno yang meminta Hatta untuk menjadi wali nikah untuk anak sulugnnya, Guntur. Jumat, 19 Juni 1970, merupakan pertemuan terakhir keduanya; Hatta menjenguk Sukarno, yang tengah diopname di rumahsakit tantara.

Rumah panggung berlantai dua di jantung Kota Bukit Tinggi sebagai replica rumah negarawan Mohammad Hatta dikunjungi sekitar 500 orang tiap bulannya. Dan peringatan satu abad Bung Hatta (12 Agustus) mengambil tema "Santun, Jujur, Hemat", yang amat selaras dengan sifat tokoh tersebut. Acara puncak yang direncanakan membutuhkan dana sekitar Rp 7 miliar. PT Pos Indonesia merayakannya dengan menerbitkan prangko edisi seabad Bung Hatta, sementara Bank Indonesia meluncurkan 2.000 keping uang emas dan perak bertajuk "Peringatan Satu Abad Bung Hatta".

Syahdan Hatta, di suatu saat dalam hidupnya, mengemban ide agama (khususnya Islam) dan kebangsaan. Di zaman Jepang, oleh pihak Nahdlatul Ulama, ia pernah ditawari untuk memimpin organisasi ini. Ia tidak keras membela Islam, tetapi semua tindak-tanduk dan tingkah lakunya, termasuk secara pribadi, dan dalam berjuang dan mengemukakan cita-cita (politik, ekonomi, sosial), ia selaraskan dengan tuntutan Islam. Ia turut serta dalam perumusan Pembukaan UUD 1945 dan mengusulkan kata-kata pengganti: "Ketuhanan Yang Maha Esa". Pada tahun 1973 ia mengingatkan Presiden Soeharto agar Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang dimajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Di zaman Jepang, oleh pihak Nahdlatul Ulama, ia pernah ditawari untuk memimpin organisasi tersebut.

Des Alwi, anak angkat Hatta, mengungkapkan bahwa di awal masa-masa pembuangan bersama Hatta dan Sjahrir diajak ke Pantai dan ternyata tak bisa berenang, dimana saat menaiki kapal pun Hatta selalu duduk di tengah. Kendati demikian, Hatta dikenang sebagai orang yang berdisiplin, terutama soal waktu, dimana ia saban hari mengelilingi Pulau Banda Melawati kebun pala sekitara pukul 4-5 sore. Di mata Sukarno, anak Bukit Tinggi itu sosok yang serius; tak pernah menari, tertawa, atau menikmati hidup.

Pada tanggal 15 Juli 1945, Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang bersidang di Pejambon, terlibat dalam debat panas: Haruskah kebebasan-kebebasan demokratis--hak menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tertulis, hak berkumpul dan hak berserikat--ditetapkan dalam undang-undang dasar atau tidak? Sukarno (dan Supomo) dengan gigih menolak, sedangkan Hatta (Muhammad Yamin, dan lain-lain) mendukung. Hatta: "Janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan". Tanggal 4 November Hattalah yang menandatangani maklumat pemerintah yang mengizinkan pembentukan pluralitas partai. Dan pada 1957 Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai wakil presiden karena merasa tidak lagi sanggup menanggung kebijakan politik Presiden Sukarno.


 Note:
- dikhususkan bagi yang sudah membaca bukunya [sebagai pengingat].
- bagi yang belum membaca bukunya, amat disarankan untuk membacanya [jika tertarik], sebab setiap penulis memiliki cara penyampaiannya sendiri-sendiri.


0 comments:

Post a Comment

 
;