Hatta
(Jejak yang Melampaui Zaman)
seri Tempo
JIKA masih hidup,
dan diminta melukiskan situasi sekarang, Mohammad Hatta hanya akan perlu
mencetak ulang tulisannya 40 tahun lalu: "Di mana- mana orang merasa tidak
puas. Pembangunan tak berjalan sebagaimana semestinya. Kemakmuran rakyat masih
jauh dari cita-cita, sedangkan nilai uang makin merosot.” Hatta tidak
antipartai, tapi mengecam para politisi yang menjadikan "partai sebagai
tujuan dan negara sebagai alatnya." Pena adalah senjatanya untuk
memerdekakan bangsa, sehingga ia ditahan pada 1927, dan menulis pidato
pembelaan Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka). Ketika wafat pada 1980, Hatta
meninggalkan "30 ribu judul buku" dalam perpustakaan pribadi
Di Desa Aur Kota
Bukit Tinggi, Saleha Djamil melahirkan Mohammad Hatta pada 14 Agustus 1902,
yang kemudian tinggal di Gedung Tri Arga. Beliau selalu dikisahkan sebagai
orang sederhana dan cermat pada waktu. Ia sering jalan kaki sendirian-tanpa
pengawal-berkeliling kota setiap usai salat subuh, dan menegur warga yang
pekarangan rumahnya penuh sampah. Pelajaran agamanya di masa kanak-kanak dia
peroleh dari Syekh Mohammad Djamil Djambek. Masa-masa di MULO juga menjadi
periode yang penting saat kesadaran politiknya sebagai anak bangsa. Sebagai
anak muda, dia juga menemukan kesenangan hidup di Plein van Rome, lapangan
sepak bola yang terletak di alun-alun kota. Di Padang, ada Universitas Bung
Hatta yang didirikan oleh masyarakat dan sejumlah tokoh Minangkabau. Sedangkan
di Bukit Tinggi, tegaklah Perpustakaan Bung Hatta-yang menyimpan ribuan judul
buku.
Sang ayah; Syekh Muhammad
Djamil, meninggal tatkala ia masih berusia delapan bulan, dan Mohammad Hatta tumbuh
dalam buaian ibu, kakek, nenek, dan paman-pamannya. Setamat sekolah di Padang,
pertengahan Juni 1919, Hatta berangkat ke Betawi untuk melanjutkan sekolah,
dibawah asuhan Mak Etek Ayub Rais, pemilik Malaya Import Maatschappij, dan
berangkat ke Belanda pada 1921. Selama 11 tahun, Hatta bergulat dengan berbagai
aktivitas pergerakan di Negeri Belanda, termasuk memimpin organisasi pelajar dari
Tanah Air di Eropa, Perhimpunan Indonesia. Pada
Juli 1932, setelah sempat mengenyam ruang tahanan di Belanda, Hatta kembali ke
Tanah Air. Sekitar bulan Desember 1932, Hatta terlibat dalam polemik dengan
Sukarno, mengarahkannya menemani Mak Etek melakukan kunjungan bisnis ke Jepang
pada Februari 1933, dimana ia mendapati julukan “Gandhi of Java”. Keduanya kembali
ke Indonesia pada awal Mei 1933, dan Mak Etek ditangkap tak lama kemudian.
Bung Hatta, kau
bukanlah 100 tahun kesendirian. Percakapan antara kita, sebuah dialog dengan
masa silam, adalah percakapan yang tak terhingga. Pada tahun 1933, setelah Bung
Karno ditangkap, juga berpuluh-puluh pemimpin lain, kau tak ingin melangkah
surut. Kau tetap bersiteguh, juga ketika pemerintah kolonial membuangmu ke Digul.
Semua itu agar "di kemudian hari, tanah air kita dapat maju". Dalam rapat
Indonesische Vereeniging kau dan teman-temanmu menentukan untuk memberi nama
tanah air ini "Indonesia"
September 1921,
Mohammad Hatta tiba di Rotterdam Handelshogeschool, dimana ia mendapatkan
kebaikan dari pemilik toko buku De Westerboekhandel. Di sana, ia mendapat gelar
doctor ekonomi, menjadi Ketua Indonesische Vereeniging dan sempat lima setengah
bulan dipenjara karena dituduh menentang pemerintah kolonial. Setelah mula-mula
menginap di rumah seorang kenalan--seperti juga pelajar inlander lainnya--ia
menetap sementara di Tehuis van Indische Studenten, sebuah asrama khusus bagi
mahasiswa Hindia Belanda yang terletak di Jalan Prins Mauritsplein. Kediaman di
Jalan Schoone Bergerweg 51 menjadi rumah tinggal Hatta yang terakhir sebelum ia
kembali ke Indonesia pada 20 Juli 1932.
5 September 1921,
kapal Tambora tiba di Pelabuhan Nieuwe, Waterweg, Roterdam, setelah satu bulan
berlayar dari Teluk Bayur, dimana salah satu penumpangnya ialah Mohammad Hatta.
Pada 17 Februari 1987, pemeluk Katolik merayakan Karnaval dan sebuah jalan di
permukiman Haarlem memperoleh nama Mohammed Hattastraat (Mohammad Hatta),
dengan ujung Hattastraat bertemu dengan Sutan Sjahrirstraat (Sutan Sjahrir).
Dan pada 12 Agustus 2002 Mohammad Hatta memperingati hari lahirnya yang ke-100.
Menanggapi adanya
judul provokatif sebuah karangan: “Is Hatta Marxist?”, Hatta membalasnya dengan
risalah berjudul Marxisme of
Epigonenwijsheid? ("Marxisme atau Kearifan Sang Epigon?"). Sekitar 10
meter dari pelabuhan, kita dapat melihat baliho besar bergambar Bung Hatta dan
Sutan Sjahrir dengan tulisan "Peringatan Satu Abad Bung Hatta",
dimana kota tersebut dulu disebut "Klein Europeesch Stad" (Kota Eropa
Kecil). Di Banda inilah (11 Februari 1936-25
Maret 1938), keinginan-keinginan Hatta yang bersifat politik disegarkan kembali
dengan membaca-baca majalah sambil minum kopi tubruk, sarapan sepotong roti
(mereka berlangganan roti kepada warga Arab setempat) dan sebutir telur mata
sapi.
Dengan kapal Fommelhaut (1 Februari
1936), Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir tiba di Teluk Neira, Banda, menuju
rumah dr. Tjicto Mangunkusumo sebagai orang buangan. Di sana, keduanya
menjadikan Des, Does, Lily, Mimi, dan
Ali, sebagai anak angkat. 31 Januari 1942,
Hindia belanda memerintahkan Hatta-Sjahrir pulang ke Jakarta.
“Pemimpin berarti
suri tauladan dalam segala perbuatannya…,” coretan tangan Hatta bertanggal 2
juli 1949, dua hari sebelum dia meninggalkan rumah yang terletak di Gunung
Menumbing, dekat Mentok, Pulau Bangka. Tak jauh dari ruangan itu tergeletak
bodi mobil Ford hitam bernomor polisi BN 10. Pada Desember 1948, Belanda menyerbu
Yogyakarta (ibu kota Republik Indonesia kala itu) dan menangkap Presiden
Sukarno dan Wakil Presiden Hatta. Selain mengunjungi penduduk, aktivitas
favorit Hatta di Gunung Menumbing tidak berbeda dengan di tempat-tempat lain:
membaca buku. Aktivitas turun gunung Hatta lebih meningkat ketika Bung
Karno dan K.H. Agus Salim turut dipindahkan dari Parapat ke Bangka pada 5
Februari 1949.
Halida Nuriah
Hatta, yang masih berusia 14 tahun, menemani sang ayah menengok Digul setelah
menghadiri Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Jaya pada 1969 tahun. Ia
juga mengunjungi Banda Neira ketika Bung Hatta sekeluarga memenuhi undangan Des
Alwi pada April 1973, dimana dua pulau kecil di sana dinamai Pulau Hatta dan
Pulau Sjahrir.
Di Digul atau Tanah Merah, dataran
terpencil di udik Papua, Mohammad Hatta menanam sayur dan belajar bertukang,
ditemani es jeruk lemon kesukaannya. bukan cuma Van Blankenstein, tapi juga
bahkan Hatta, seorang muslim taat yang berpendirian "di atas segala
lapangan tanah air, aku hidup, aku gembira" itu, menyebut Digul sebagai
"neraka dunia". 10 bulan di sana (hingga Desember 1935), Hatta
menyibukkan diri dengan membaca saban sore, mengajarkan ilmu ekonomi dan
filsafat dua kali sepekan, serta menulis kolom untuk surat kabar Pemandangan
sebulan sekali.
Seorang pemuda
belia berpose di sebuah rumah bersama enam orang perempuan berkebaya. Itu
merupakan sebuah foto sebelum Sang pemuda-proklamator Mohammad Hatta diasingka
ke Buven Digul setelah ditahan di Penjara Glodok. Pada Februari 1927 ia
mewakili Indonesia menghadiri konferensi menentang imperialisme dan penjajahan
yang diadakan di Brussel, Belgia. Seperti Hatta
yang "dalam" dan menyimpan magma, foto-foto Hatta menjadi istimewa
saat kita menelusuri sejarah di balik sebuah potret.
Jaap Erkelens
ikut terlibat untuk berburu foto dalam rangka pembuatan buku Mohammad Hatta
Hati Nurani Bangsa. Jaap adalah
direktur perwakilan Indonesia untuk Koniklijk Instituut voor Taal Land en
Volkenkunde (KITLV), sebuah lembaga kajian bahasa dan antropologi milik Kerajaan
Belanda.
Hatta tampil
secara mengesankan dengan sikap seorang sarjana, seorang scholar, yang di
samping berjuang dan terlibat aktif secara politik, selalu memberikan perhatian
pada perkembangan ilmu pengetahuan dan mengumumkan tulisan-tulisannya menurut tata
cara yang jamak dalam dunia akademis. Di antara para bapak bangsa itu
barangkali hanya dia seorang (dan Tan Malaka, sampai tingkat tertentu) yang
tekun menuliskan buku-buku teks, baik dalam bidang ekonomi (Pengantar ke Jalan
Ekonomi Sosiologi), sejarah filsafat (Alam Pikiran Yunani,), maupun filsafat
ilmu pengetahuan (Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan).
Kabar itu
menyengat Hatta dan membuatnya marah besar: Sukarno memutuskan menikahi
Hartini. Berbeda dengan sahabatnya, yang bak Casanova, Hatta seperti kata
Deliar adalah seorang puritein (dikenal tak pernah menunjukkan ketertarikan
pada Perempuan). Tak cuma soal wanita, dalam banyak hal perbedaan dua tokoh
yang dikenal sebagai Dwitunggal ini memang sejauh bumi dan langit. Perbedaan
tersebut mencapai puncaknya ketika Sukarno menolak mengesahkan Maklumat X, dan
kemudian mencanangkan Demokrasi Terpimpin pada 1956. Pada 20 Juli 1956, Hatta
pun mengirimkan surat pengunduran dirinya ke DPR, diikuti dengan
gugatan-gugatan terhadap Sukarno. Meski begitu, hubungan keduanya tetap dekat,
sebagaimana Sukarno yang meminta Hatta untuk menjadi wali nikah untuk anak
sulugnnya, Guntur. Jumat, 19 Juni 1970, merupakan pertemuan terakhir keduanya;
Hatta menjenguk Sukarno, yang tengah diopname di rumahsakit tantara.
Rumah panggung
berlantai dua di jantung Kota Bukit Tinggi sebagai replica rumah negarawan
Mohammad Hatta dikunjungi sekitar 500 orang tiap bulannya. Dan peringatan satu abad Bung Hatta (12 Agustus) mengambil
tema "Santun, Jujur, Hemat", yang amat selaras dengan sifat tokoh
tersebut. Acara puncak yang direncanakan membutuhkan dana sekitar Rp 7 miliar. PT
Pos Indonesia merayakannya dengan menerbitkan prangko edisi seabad Bung Hatta,
sementara Bank Indonesia meluncurkan 2.000 keping uang emas dan perak bertajuk
"Peringatan Satu Abad Bung Hatta".
Syahdan Hatta, di
suatu saat dalam hidupnya, mengemban ide agama (khususnya Islam) dan
kebangsaan. Di zaman Jepang, oleh pihak Nahdlatul Ulama, ia pernah ditawari untuk
memimpin organisasi ini. Ia tidak keras membela Islam, tetapi semua tindak-tanduk
dan tingkah lakunya, termasuk secara pribadi, dan dalam berjuang dan
mengemukakan cita-cita (politik, ekonomi, sosial), ia selaraskan dengan
tuntutan Islam. Ia turut serta dalam perumusan Pembukaan UUD 1945 dan mengusulkan
kata-kata pengganti: "Ketuhanan Yang Maha Esa". Pada tahun 1973 ia mengingatkan
Presiden Soeharto agar Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang dimajukan ke
Dewan Perwakilan Rakyat. Di zaman Jepang, oleh pihak Nahdlatul Ulama, ia pernah
ditawari untuk memimpin organisasi tersebut.
Des Alwi, anak
angkat Hatta, mengungkapkan bahwa di awal masa-masa pembuangan bersama Hatta
dan Sjahrir diajak ke Pantai dan ternyata tak bisa berenang, dimana saat
menaiki kapal pun Hatta selalu duduk di tengah. Kendati demikian, Hatta dikenang
sebagai orang yang berdisiplin, terutama soal waktu, dimana ia saban hari
mengelilingi Pulau Banda Melawati kebun pala sekitara pukul 4-5 sore. Di mata
Sukarno, anak Bukit Tinggi itu sosok yang serius; tak pernah menari, tertawa,
atau menikmati hidup.
Pada tanggal 15 Juli 1945, Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang bersidang
di Pejambon, terlibat dalam debat panas: Haruskah kebebasan-kebebasan
demokratis--hak menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tertulis, hak
berkumpul dan hak berserikat--ditetapkan dalam undang-undang dasar atau tidak? Sukarno
(dan Supomo) dengan gigih menolak, sedangkan Hatta (Muhammad Yamin, dan
lain-lain) mendukung. Hatta: "Janganlah kita memberikan kekuasaan yang
tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu
negara kekuasaan". Tanggal 4 November Hattalah yang menandatangani maklumat
pemerintah yang mengizinkan pembentukan pluralitas partai. Dan pada 1957 Bung
Hatta meletakkan jabatannya sebagai wakil presiden karena merasa tidak lagi
sanggup menanggung kebijakan politik Presiden Sukarno.
- dikhususkan bagi yang sudah membaca bukunya [sebagai pengingat].
- bagi yang belum membaca bukunya, amat disarankan untuk membacanya [jika tertarik], sebab setiap penulis memiliki cara penyampaiannya sendiri-sendiri.
0 comments:
Post a Comment