Friday, February 23, 2024

Sinopsis "The Great Shifting - Rhenald Kasali" Bahasa Indonesia

 The Great Shifting
by: Rhenald Kasali

Ketika produk menjadi platform, kita perlu menghadapi serangan ekonomi para platform global dengan platform, bukan dengan produk. Sebagaimana Steve Jobs yang mengembalikan kejayaan Apple dengan iPod, kita harus keluar dari perangkap “produk” menuju platform. Sebagaimana Singapura yang menghadirkan Sea Ltd. (seagroup.com), negara yang salah mengandalkan produk pun bisa saja terjungkal. Sebagaimana Havas yang mengakuisisi Victors & Spoils, kita tengah beralih dari paradigma “produk” dalam bisnis konvensional ke online platform dalam perekonomian digital, begitu pula dengan FuelBand Nike. Platform merupakan sebuah blueprint sharing economy yang bersifat multisided dan menciptakan shifting kehidupan. Sejak revolusi digital yang diperkuat oleh globalisasi dan internet of things, perusahaan-perusahaan dan negara telah berubah menjadi tanpa batas (boundaryless). Dunia digital menghadirkan cara baru yang sifatnya multisided dan melahirkan network effect, dan platform hadir sebagai sebuah struktur yang dijalani sekaligus untuk mempertemukan beragam kebutuhan. Platform-based-economy menhasilkan a winner takes all, sehingga bangsa ini membutuhkan banyak platform untuk mengimbangi serangan platform internasional (bukanlah lebih baik mengendalikannya daripada dikuasai?!).

Jika perilaku manusia pindah ke dunia online, psikologi pun berpindah menjadi cyberpsychology. Bayi yang lahir di abad 21 ini, bisa jadi, dibesarkan dengan pola asuh dan hubungan emosional yang berbeda. Platform juga lahir dalam mempertemukan orang-orang yang dulu hidup di alam yang tidak biasa.  Cyberpsychology mulai menggeliat sejak 1990. Sebagaimana obat-obatan terlarang, manusia juga bisa kecanduan dengan pamakain smart-phhone-nya. Efek cyber lainnya adalah online disinhibition effect (ODE). Dunia digital telah “mempermudah” cyberstalking, yang mengarah pada pemerasan, bahkan berlanjut menjadi cyberbullying, yang dapat memicu korban untuk memutuskan bunuh diri. Online games (internet) juga bisa menimbulkan kecanduan, bahkan guncangan-guncangan kejiwaan yang bisa membahayakan nasib orang lain. Dunia maya juga menjadikan hubungan percintaan semakin mudah (kencan online), namun juga seringkali berbahaya. Go online telah mengurangi kontak mata antara bayi dan orangtua, sehingga merenggangkan kedekatan emosional, yang penting untuk kepercayaan diri dan optimisme anak. Dari itu penting untuk dimengerti bahwa teknologi tidak akan pernah mampu menggantikan cinta manusia.

Cyberspace membuat para pelaku criminal merasa aman bergerak karena mereka dapa menyembunyikan identitas (anonymity), memanipulasi foto atau jati diri, bahkan menggunakan identitas orang lain. Hal ini sebagiamana kasus Dwyer (the master) dan O’Hara (the slave), juga the internet’s first serial killer; Edward Robinso. Hal ini terjadi disebabkan adanya fantasi kekerasan sebagaimana sebuah studi yang mengungkapkan bahwa 50% pria memiliki fantasi kekerasan saat bercinta dan 57% wanita yang menikah mengaku memiliki fantasi diperkosa saat bercinta dengna pasangannya. Hal-hal ini juga menunjukkan kebenaran teori Freud (1899) yang menjelaskan bahwa mimpi yang dialami manusia adalah pemenuhan keinginan (wish fuldillment) dari alam bawah sadar yang ditekan pemiliknya. Fear of missing out (gomo) menjadikan apa yang ada di media sosial berbeda dengan realitasnya, sebagaimana #IWokeUpLikeThis, dan mengarah pada hidup dalam kebohongan. Kisah Lissette Calveiro dan Angela Lee menegaskan bahwa segala hal yang terlihat di lama sosial seseorang kebanyakan adalah kebohongan atau informasi yang dibuat-buat. Kiranya ungkapan “lain di mulut lain di hati” juga berlaku untuk dunia rill dan dunia maya. Powerful-nya big data dalam penggiringan opini publik terbukti dalam insiden penembakan pada Desember 2015.

Waktu merupakan hal terpenting yang menetukan keberhasilan sebuah usaha. Shifting juga tengah terjadi dalam ilmu statistic, dari prinsip time series (time to time) menjadi real time (bergantung pada survei dan sampel). Penemuan Maury(1848) dan Malthus (1826) menunjukkan penggunaan time series, hingga jaringan internet mengubah segala sisi kehidupan manusia. Big data berkembang dalam tiga tahap dan terdiri dari tiga elemen (volume, variety, dan velocity). Kisah Adrian dan Kusno mengungkapkan bahwa internet menggunakan filter buble; menunjukkan sesuatu yang sesuai dengan minat pengguna dan menyembunyikan sudut pandang lain yang berseberangan. Sebagaimana Gojek (heatmap), big data kini dipakai sebagai salah satu “bahan baku” pembuatan system real time. Hampir semua aspek kehidupan bersinggungan dengan teknologi real time; online game & gambling. ramalan cuaca, dan kolaborasi. Teknologi real time akan terus berkembang, sebagaimana AI, machine learning, dan deep learning.

Dalam peradaban digital, kita cukup berbagi peran, aksen, dan jejaring, bukan memiliki semuanya sendiri (dari owning economy ke sharing economy). Pendekatan sharing sesederhana berkantor tanpa gedung (co-working space) carpooling keluarga Pamudjo, RelayRides, power drill, Bookalokal dan EatWith, dimana benturan dengan regulasi merupakan hal yang lumrah. Platform digital melahirkan Gerakan “Do It Yourself” (DIY), seperti Subak di Bali, Song Osong Lombhung di Madura, Paoda di NTT, dan Istana Rakyat Selara Alam di Merapi. Mereka yang berada di puncak tren adalah Uber dan Airbnb. Konsep sharing economy berdiri atas sistem trust, yang memicu tradisi rating, begitu juga dengan Kitabisa.com. kecepatan, kemudahan, akses, dan harga yang lebih murah, menjadi fondasi dari konsep sharing economy, dimana ia juga memberi kesempatan kepada powerless individual untuk memanfaatkan asetnya langsung kepada konsumen tanpa perantara (micro-entrepreneurs).

3D printing akan menibulkan shifting yang lebih besar lagi, sebagaimana Robohand, 3D scanner, Bioprinter, mobile printer 3D. bahkan BIM yang telah berkembang dari 2D ke 7D. Seperti ungkapan Steve Jobs; teknologi yang berkembang sejatinya kembali kepada manusia, apakah manusia mampu menggunakannya untuk hal positif atau malah sebaliknya. Suatu masalah bisa diatasi oleh kehadiran teknologi, tetapi jangan lupa, setiap Solusi selalu menimbulkan masalah-masalah baru.

Kasus ketidakpatuhan dalam berobat—disebabkan waiting game--semakin menurun dengan adanya precision medicine, dimana setiap orang bisa memeriksa kondisi kesehatannya di mana pun dan kapan pun secara real time. Sebagaimana kisah Keluarga Alan, waiting game mempertaruhkan nyawa, dan dr. Viswanathan Mohan menerapkan frugal innovation di India, yang mengubah hubungan impersonal antara dokter dan pasien menjadi personal. Begitu juga halnya dengan CellScope dan fitnees wearable, yang mengarah pada medis autopilot dan self-care; seperti iShrine. Big data berperang penting dalam cara berpikir artificial intelligence merangkai pola berpikir manusia, begitu juga dalam kesehatan, sebagaimana teknologi Mango Mirror.

You can learn anything, for free, for everyone, forever. Sebagaimana entertainment kelas dunia begitu mudah diakses kaum muda (youtube), begitu pula dengan para ilmuwan kelas dunia (ceramah dan riset). Tentu dengan cepat saya mengatakan bukan pekerjaan yang hilang, melainkan job-nya yang berubah, sebagaimana laporan PBB; The Learning Generation. Teknologi dalam Pendidikan dengan sifat yang serba-instan, membuat kemampuan yang dimiliki pun tergolong instan. Sebagaimana metoda “The Power of Yet” di Chicago, ilmu adalah sesuatu yang dinamis. Salah satunya adalah metoda yang dikenal sebagai Massive Open Online Course (MOOC), seperti indonesiax.co.id dan Ruangguru. MOOC menjadikan semuanya tanpa pagar (boundaryless), meruntuhkan batas-batas tempat dan usia. Untuk melakukan shifting di dunia Pendidikan, kita perlu melatih Executive Funcitoning (working memory area, cognitive flexibility, dan inhibitory control) sejak dini (Tk).

Teknologi telah mengubah pikiran, perasaan, dan tindakan manusia, yang memicu kebutuhan akan adanya pengakuan (self-esteem). Dari labor class (pekerja) ke Leisure class (pekerja yang mapan), dan sekarang esteem economy (kumpulan manusia yang rindu pengakuan). Berbeda dengan leisure, esteem seringkali membutuhkan usaha lebih sebagaimana hotel gantung di Tebing Parang dan selfie bawah air di Desa Ponggok. Hal ini sebagaimana Hirarki Maslow perihal kebutuhan manusia: fisik, rasa aman, persahabatan dan cinta, esteem, dan aktualisasi diri. Pencarian pengakuan tersebut telah menciptakan sebuah potensi ekonomi; esteem economy. Tak hanya sektor pariwisata, kuliner pun ikut terkena imbasnya.

Shifting dalam ritual budaya pun bisa terjadi, sebagaimana budaya lobola di Zimbabwe yang menjadi “komersialisasi lobola”. Di Bali, budaya memadik menghadirkan budaya baru; nyentana, dan budaya Ngaben menjadi krematorium. Di era disruption yang membutuhkan kepraktisan, menghadirkan aplikasi kebudayaan seperti Halopkati.com, My Keraton, Lobola Calculator (japuik),

Terlepas dari urbanisasi megacity, Indonesia melakukan shifting ke desa melalui Dana Desa. Hal ini dalam rangka menopang pekerja muda disebabkan hilangnya pekerjaan (shifting teknologi). Esteem Economy mengarahkan BUMDes yang sukses di beberapa Desa, seperti Kalibiru di Kulon Progo, Umbul Ponggok di Klaten, Panggung Lestari di Panggungharjo, juga Jambu Klutuk di Kendal. BUMDes memungkinkan banyak pemuda desa mendapatkan pekerjaan maupun menjadi pengusaha di desanya. Keterlibatan social entrepreneur juga terlihat dari platform Akademi Desa 4.0 yang dikeluarkan Kemendesa, sebagaimana Desa Pujon Kidul.

Internet of things memaksa semuanya berubah, sebagaimana financial technology (fintech). Pelanggan menginginkan proses yang simpel dan biaya yang rendah, dan asuransi menjadi insurtech (insureance technology). Di saat produk asuransi mobil mulai tidak relevan, asuransi kesehatan dan asuransi jasa masih mempunyai prospek yang cerah, sebagaimana smart house dan smart device. Data dan analytics mengubah basis dari kompetisi, sebagaimana Telematik (Telekomunikasi dan Informatika) dalam insurtech. Dari itu, Perusahaan asuransi incumbents harus melakukan shifting, berinovasi atau berkolaborasi sebagaimana Uber Insurance.

Masyarakat semakin terbiasa melakukan berbagai aktivitas keuangannya secara digital; industri fintech mulai menggantikan perbankan. Hal ini sebagaimana Western Union dan Transferwise. Urunan dana (crowdfunding) pun telah shifting  ke fintech, sebagaimana kitabisa.com, contoh nyata perpaduan gotong royong sebagai value Masyarakat kita dengan ekonomi digital di Masyarakat urban. Urunan dana (crowdfunding) pun bisa dipakai untuk membiayai investasi, sebagaimana Kickstarter (dengan contoh Cravar), Indeigogo, dan GoFundme. Fintech memberikan kemudahan untuk mengakses pelayanan finansial, sebagaimana Go-Pay, Amartha, Finansialku, dan Investree. Indonesia sendiri telah memili unicorn (startup dengan nilai valuasi lebih dari 1 miliar dolar AS): Go-Jek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak.

Dalam platform, olahraga dan game menciptakan lapangan baru yang menggeser boneka, kartu, dan permainan tradisional. Terjadi beberapa kali shifting pada cara bermain anak-anak, mulai dari mainan fisik, kemudian Pindak ke game konsol dan game PC, lalu sekarang bermain game di smartphone. Hal ini sebagaimana Barbie karya Mattle (1960) yang kemudian berhadapan dengan Hasbro dan Lego. Video game telah ada sejak 1970-an, dimana pada 2018 nilai pasar game smartphones mencapai 30,2 miliar dolar sementara PC mencapai 34,3 miliar dolar. Saat ini kita bisa menikmati generasi ke-8 dari game konsol, dimana industri game sendiri telah menghasilkan pendapatan sebesar 106,5 miliar dolar pada 2017. “Gamers”, sebutan untuk orang yang bermain game, kini menjadi profesi pekerjaan untuk beberapa orang, dimana pendapatan e-sports bersikisar 456 juta dolar pada 2017.

Periklanan erat hubungannya dengan strategi komunikasi dan pemasaran, riset, karya kreatif, dan penyebarannya melalui media, dan industri periklanan pun tekenapa dampak disruption. Pada tahun 1700 surat kabar mulai dikenal, dan pada 1906 placement sebagian iklan pun shfting ke radio. Tiga puluh tahun kemudian, televisi mulai hadir disusul dengan teknik percetakan berwarna. Dan di awal abad ini perputaran uang dalam bisnis periklanan telah shifting ke platform digital. Kehadiran dunia digital menimbulkan banyak profesi baru: selebgram, youtuber, data analytics, dsb, yang memicu munculnya influencer sebagai digital advertising. Harley Davidson’s Open Road Festival medio 2017 mengajarkan kita bahwa produk boleh lama namun komunikasi harus berbeda, dimana hal ini juga dilakukan oleh Coca-Cola dan Starbucks. App Belgiumize Me menunjukkan potensi multiplatform untuk meningkatkan awereness publik (marketing gamification), begitu juga dengan Coke On dari Coca Cola, My Reward dari Starbuck, dan Magnum Temptation dari MPH. Shifting dalam industri periklanan pun tak terhindarkan karena advertising dan marketing begitu erat dengan banyak aspek kehidupan manusia, sebagaimana perkembangan teknologi virtual reality (VR), teknologi artificial intelligence (AI), dan digital associates.

Sepinya Pasar Glodok (2017) yang pernah menjadi primadona pada masa 1990-an, menunjukkan bahwa selera Masyarakat telah berubah; dari berbelajan di mal menjadi berbelanja di pasar online atau e-commerce. Kemudahan berjualan online membuat jumlah wirausahawan meningkat drastic. Administrasi perpajakan dan bea cukai pun tengah dibenahi, sehingga kita dituntut untuk beradaptasi; dari offline menuju online. Pasar online dapat menghubungan para produsen langsung kepada calon konsumennya di mana pun berada. Pertumbuhan e-commerce di Indonesia dapat dilihat dari peningkatan yang dialami para pebisnis e-commerce sepergi Bukalapak, Blanja.com, dan JNE. Dari website e-commerce, sekarang telah menuju aplikasi e-commerce melalui smartphone sebagaimana Google Wallet, Tokopedia, dan IKEA Place.

Factory Outlet (FO) pun mulai ditinggalkan konsumen, yang diawali dengan tren celana jeans pada 1990-an, diikuti dengan barang sisa ekspor, dan munculnya internet. Perry pun, sebagai salah satu pendiri FO di Bandung, mengungkapkan hal yang sama, namun ia menyadari shifting dan memindahkan usaha ke kawasan wisata di Lembang. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen pun bisa naik kelas dan gaya hidup pun berubah, dimana hal ini menimbulkan blame trap.

Buatlah diri--produk—lembaga Anda tetap relevan. Kisah Barnes & Noble (peritel buku terbesar AS pada 2017) dan Amazon menunjukkan bagaimana bahanya terperangkap DNA lama. Kisah WIKA--yang awalnya dikenal sebagai perusahan jasa B2B—menunjukkan bahwa shifting bisa dilakukan jika SDM di dalamnya dibekali modal kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni. Begitu juga dengan Hasbro yang terkenal lewat produk mainan Transformers dan My Little Pony setelah sebelumnya menjadi produsen monopoli dan memulai sebagai pedagang kain perca. Juga Astra International yang didirikan oleh William, bekerjasama dengan pemerintah hingga perusahaan-perusahaan multinasional dan meluncurkan Toyota Kijang. Industri media merupakan contoh industri yang peling terkena dampak disruption dan shifting, dan CNN yang menyadari hal itu mengakusisi Beme. Kompas Gramedia pun mengalami pasang surut, dimana ia lahir dari majalah Intisari (1963). Beigtu pula Lindblad Expeditions (1958), penyedia jasa wisata yang melakukan kesepakatan dengan National Geographic pada 2004.

Manajeman memberikan guidance agar pegawai dan penerus melakukan inovasi berkelanjutan dengan ketekunan untuk memperbaiki diri, dimana keberhasilan tidak pernah bersifat final. Kuncinya: selalu tetap relevan, karena keberhasilan tidak bersifat tetap. Hal ini ditunjukkan oleh IBM—berdiri pada 1911 sebagai produsen alat pemotong keju dan daging—yang selalu berusaha untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Di tanah air sendiri, ada PT Telkom Indonesia—lahir pada 1965—yang sebelumnya dikenal dengan PT Perumtel, juga Astra International. Berbeda dengan natural shifting, the great shifting melakukan langkah-langkah “Tomorrow is Today”: menjadikan diri atau produk relevan sepanjang masa. Sementara perusahaan jamu Nyonya Meneer—berdiri sejak 1919—bangkrut pada 2017, Sido Muncul berkolaborasi dengan YouTubers di tahun yang sama.


Note:
- dikhususkan bagi yang sudah membaca bukunya [sebagai pengingat].
- bagi yang belum membaca bukunya, amat disarankan untuk membacanya [jika tertarik], sebab setiap penulis memiliki cara penyampaiannya sendiri-sendiri.


0 comments:

Post a Comment

 
;