Friday, June 28, 2024

Sinopsis "Ziarah - Iwan Simatupang" Bahasa Indonesia

 Ziarah
by: Iwan Simatupang

Ia kembali terbangun dengan perasaan akan bertemu sang istri di salah satu tikungan, menghabiskan malam dengan minum-minum dan memanggil nama sang istri keras-keras. Selesai mandi, ia lari ke jalan dan berhenti di kaki lima untuk menentukan arah dengan cata menatap lama-lama ke inti Matahari. Dia sekaligus ada di dua tempat, diikuti datangnya tempat ketiga, yang senantiasa mengarahkan kakinya ke kiri. Kata orang, dia seorang pelukis berbakat, yang sekarang suka mengecat dan mengapur dan membenci menggali kubur. Suatu pagi, ia bertemu dengan seorang opseter pekuburan kotapraja yang memintanya untuk mengapur tembok-tembok kuburan, sehingga terjadi insiden lari-teriakan.

Sudah tiga hari dia mengapur tembok tersebut, dan tidak lagi menunjukkan keanehan, yang menjadi sebuah keanehan sendiri, bahkan memengaruhi tingkah seluruh warga kota. Sidang pun dilakukan, mengarahkan sang Walikota pergi sendiri mengantarkan hasil putusan pada Opseter, yang mempertanyakan keputusan tersebut, begitu pula yang dilakukan oleh tokoh kita. Masyarakat berdatangan mendapati sang Walikota ambruk, dimana sang Walikota teringat akan hasratnya untuk melakukan balas dendam, terlepas dari pujian-pujian yang disandarkan padanya oleh media; bahkan gubernur sendiri. Di tengah alun-alun itu, sang Walikota terimpit langit merah tua, berteriak “Proporsi!!!” dan mati.

Bekas pelukis kesal terhadap opseter, yang menyadari hal itu, namun berusaha tidak memperlihatkannya. Ia adalah pamong praja yang telah berdinas puluhan tahun, menerima pekerjan yang ditolak oleh orang-orang sepeninggal opseter sebelumnya. Setelah membaca wasiat opseter sebelumnya, sang opseter mengerjakan pekerjaannya dengan sangat baik, namun memicu kebosanan dan kemalasan yang memasyarakat, yang mengarahkan walikota mengadakan rapat hingga masalah tersebut sampai pada kepala negara, yang kemudian membuat dekret bahwa segala-galanya harus ditentukan berdasarkan kebijaksanaan dan islah alias musyawarah. Dekret tersebut ternyata membuay seluruh negeri menggigil ketakutan, sehingga sang kepala negara pun pergi mengunjungi si opseter di kediamannya. Tanpa diduga, sang kepala negara terlibat perbincangan yang menyenangkan dengan sang opseter, yang menolak tawaran-tawaran jabatan dari sang kepala negara. Sebulan kemudian, sang kepala negara itu meninggal dunia.

Sejak saat itu, sang opseter berjanji di hadapan Walikota untuk bekerja “biasa” saja, dan semuanya berjalan lancar. Namun, Ayah sang Opseter dan seorang Mahaguru datang menemui sang Walikota, memintanya untuk memecat sang Opseter, dan sang Walikota mengarahkan mereka untuk menemui langsung sang Opseter, dimana keduanya kemudian kembali dengan membawa sebuah surat. Mengetahui tanah pekuburan telah penuh, sang Opseter meneruskan permasalahn tersebut pada sang Walikota, yang memutuskan agar kuburan-kuburan berusia 50 tahun ke atas dijadikan sebagai kuburan baru. Sebuah pamflet dari kepolisian, mengarahkan sang Opseter menghentikan prinsip-nya selama dua puluh lima tahun ini; tak (akan) memperlihatkan dirinya kepada sesama manusia sejak fajar hingga Matahari terbenam. Di hadapan mandor dan anak buahnya, sang Opseter mengungkapkan hal itu dan meminta mereka untuk mengapur pemakaman, dimana ia kemudian berlari sekuat tenaga dan terkapar diiringi dengan sorak sorai, diikuti dengan kedatangan seorang buta yang ternyata merupakan seorang pemuda aneh, mengarahkannya pada si bekas pelukis. Keesokan paginya, sang Opseter bertemu dengan si bekas pelukis dan berhasil melakukan kesepakatan, dimana ia kemudian mengecek buku catatan pekuburan yang mengungkapkan bahwa mayat istri si bekas pelukis telah tiada, membuatnya mempertanyakan rasa tanggungjawab-nya.

Sang Opseter pun kembali mengurung diri, sekaligus memata-matai si bekas pelukis yang melakukan pekerjaannya, dimana sang Walikota kemudian datang, dan si pelukis bekas mengungkapkan apa yang terjadi di kota. Mendapati hal itu, sang Opseter mengungkapkan bahwa semua yang tak biasa pada hakikatnya biasa saja. Mendapati bahasa filsafat tersebut, si bekas pelukis teringat betapa bencinya ia pada filsafat, dimana hal itu telah mengarahkannya pada uang yang tak habis-habis, sehingga ia bermaksud untuk bunuh diri hanya untuk mendapati seorang istri. Kiriman bunga berdatangan atas penikahan sang pelukis, hingga kota dipenuhi dengan bunga, memicu terjadinya demonstran, sehingga si pelukis yang baru saja menikah bermukim di pantai. Di saat yang sama, sang Walikota menerima surat dinas yang mengungkapkan bahwa tamu resmi dari luar negeri akan datang ke kota tersebut untuk menyaksikan lukisan si pelukis. Dalam kekhawatiran disertai dengan kepentan pikiran, sang walikota terlibat perbincangan dengan wakilnya, wakil walikota. Tak berapa lama kemudian, pemerintah pusat menanyakan pada walikota tentang persiapannya, dimana sang walikota mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi, mengarahkannya pada tindakan bunuh diri. Perdana menteri pun turun tangan setelah mengetahui wakil walikota tidak ditemukan, dan si pelukis pun akhirnya bersedia menghuni rumah dinas sang walikota.

Dengan bangga pelukis mencetak kartu nama hanya untuk mendapati istrinya mengurung diri di kamar tersendiri setiap malam, hingga akhirnya pelukis membakar semua kartu namanya, juga kediamannya itu, dan kembali ke pantai. Pelukis pun kembali melukis dalam kebahagiaan, dan kabar kemesraan pasangan tersebut menyebar di masyarakat, sehingga keduanya pun menjadi tontonan. Istri pelukis tertawa terbahak-bahak, tawa yang dibuat-buat, selepas kepergian nona-nona tua. Keesokan harinya ia jatuh sakit, dan mulai mempertanyakan siapa suaminya serta bagaimana hubungan mereka.

Besoknya, istri pelukis dikubur. Dimana pelukis diharuskan mengisi formulir-formulir, sehingga ia terlibat perselisihan dengan pengusaha penguburan swasta. Orang berbondong-bondong hendak mengantar mayat istri pelukis, namun mayat tersebut tak juga diberangkatkan karena menunggu putusan Walikota. Mayat pun alhirnya diberangkatkan, dan pelukis pun menamppakan diri hanya untuk mendapati khalayak mengacuhkannya. Pelukis segera kembali ke gubuk dan mendapati seorang wanita kecil, yang mengungkapkan diri sebagai mertua hipotesis dan menceritakan kisahnya. Pelukis kemudian melemparkan lukisan-lukisannya ke laut dan membakar gubuk, lalu ia pergi menuju pekuburan: Ziarah.

Mendapati keberadaan opseter, membuat bekas pelukis kesal, sehingga ia pun pergi, berhenti dari pekerjannya. Mendapati hal itu, opseter mempertanyakan sikap bekas pelukis, yang memberikan jawaban yang mencengangkan. Keesokan paginya, opseter didapati mati, dengan sepotong kertas bertuliskan: DEMI KELENGKAPAN DAN KESEMPURNAAN. Bekas pelukis menghadiri pemakaman opseter, dimana ia kemudian menanyakan pada mandor perihal keburuan istrinya, dan mandor menanggapinya dengan enggan. Menyadari kepergian mandor, bekas pelukis bertemu dengan centeng malam pekuburan, yang mengungkapkan kenal dengan opseter sebagai mahagurunya, dan keduanya pun terlibat percakapan.


Note:
- dikhususkan bagi yang sudah membaca bukunya [sebagai pengingat].
- bagi yang belum membaca bukunya, amat disarankan untuk membacanya [jika tertarik], sebab setiap penulis memiliki cara penyampaiannya sendiri-sendiri.


0 comments:

Post a Comment

 
;