Ziarah
by:
Iwan Simatupang
Ia kembali terbangun dengan perasaan akan
bertemu sang istri di salah satu tikungan, menghabiskan malam dengan
minum-minum dan memanggil nama sang istri keras-keras. Selesai mandi, ia lari
ke jalan dan berhenti di kaki lima untuk menentukan arah dengan cata menatap
lama-lama ke inti Matahari. Dia sekaligus ada di dua tempat, diikuti datangnya
tempat ketiga, yang senantiasa mengarahkan kakinya ke kiri. Kata orang, dia
seorang pelukis berbakat, yang sekarang suka mengecat dan mengapur dan membenci
menggali kubur. Suatu pagi, ia bertemu dengan seorang opseter pekuburan
kotapraja yang memintanya untuk mengapur tembok-tembok kuburan, sehingga
terjadi insiden lari-teriakan.
Sudah tiga hari dia mengapur tembok
tersebut, dan tidak lagi menunjukkan keanehan, yang menjadi sebuah keanehan
sendiri, bahkan memengaruhi tingkah seluruh warga kota. Sidang pun dilakukan,
mengarahkan sang Walikota pergi sendiri mengantarkan hasil putusan pada
Opseter, yang mempertanyakan keputusan tersebut, begitu pula yang dilakukan
oleh tokoh kita. Masyarakat berdatangan mendapati sang Walikota ambruk, dimana
sang Walikota teringat akan hasratnya untuk melakukan balas dendam, terlepas
dari pujian-pujian yang disandarkan padanya oleh media; bahkan gubernur
sendiri. Di tengah alun-alun itu, sang Walikota terimpit langit merah tua,
berteriak “Proporsi!!!” dan mati.
Bekas pelukis kesal terhadap opseter,
yang menyadari hal itu, namun berusaha tidak memperlihatkannya. Ia adalah
pamong praja yang telah berdinas puluhan tahun, menerima pekerjan yang ditolak
oleh orang-orang sepeninggal opseter sebelumnya. Setelah membaca wasiat opseter
sebelumnya, sang opseter mengerjakan pekerjaannya dengan sangat baik, namun
memicu kebosanan dan kemalasan yang memasyarakat, yang mengarahkan walikota
mengadakan rapat hingga masalah tersebut sampai pada kepala negara, yang
kemudian membuat dekret bahwa segala-galanya harus ditentukan berdasarkan
kebijaksanaan dan islah alias musyawarah. Dekret tersebut ternyata membuay
seluruh negeri menggigil ketakutan, sehingga sang kepala negara pun pergi
mengunjungi si opseter di kediamannya. Tanpa diduga, sang kepala negara
terlibat perbincangan yang menyenangkan dengan sang opseter, yang menolak
tawaran-tawaran jabatan dari sang kepala negara. Sebulan kemudian, sang kepala
negara itu meninggal dunia.
Sejak saat itu, sang opseter berjanji di
hadapan Walikota untuk bekerja “biasa” saja, dan semuanya berjalan lancar.
Namun, Ayah sang Opseter dan seorang Mahaguru datang menemui sang Walikota,
memintanya untuk memecat sang Opseter, dan sang Walikota mengarahkan mereka
untuk menemui langsung sang Opseter, dimana keduanya kemudian kembali dengan
membawa sebuah surat. Mengetahui tanah pekuburan telah penuh, sang Opseter
meneruskan permasalahn tersebut pada sang Walikota, yang memutuskan agar
kuburan-kuburan berusia 50 tahun ke atas dijadikan sebagai kuburan baru. Sebuah
pamflet dari kepolisian, mengarahkan sang Opseter menghentikan prinsip-nya
selama dua puluh lima tahun ini; tak (akan) memperlihatkan dirinya kepada
sesama manusia sejak fajar hingga Matahari terbenam. Di hadapan mandor dan anak
buahnya, sang Opseter mengungkapkan hal itu dan meminta mereka untuk mengapur
pemakaman, dimana ia kemudian berlari sekuat tenaga dan terkapar diiringi
dengan sorak sorai, diikuti dengan kedatangan seorang buta yang ternyata
merupakan seorang pemuda aneh, mengarahkannya pada si bekas pelukis. Keesokan
paginya, sang Opseter bertemu dengan si bekas pelukis dan berhasil melakukan
kesepakatan, dimana ia kemudian mengecek buku catatan pekuburan yang
mengungkapkan bahwa mayat istri si bekas pelukis telah tiada, membuatnya
mempertanyakan rasa tanggungjawab-nya.
Sang Opseter pun kembali mengurung diri,
sekaligus memata-matai si bekas pelukis yang melakukan pekerjaannya, dimana
sang Walikota kemudian datang, dan si pelukis bekas mengungkapkan apa yang
terjadi di kota. Mendapati hal itu, sang Opseter mengungkapkan bahwa semua yang
tak biasa pada hakikatnya biasa saja. Mendapati bahasa filsafat tersebut, si
bekas pelukis teringat betapa bencinya ia pada filsafat, dimana hal itu telah
mengarahkannya pada uang yang tak habis-habis, sehingga ia bermaksud untuk
bunuh diri hanya untuk mendapati seorang istri. Kiriman bunga berdatangan atas
penikahan sang pelukis, hingga kota dipenuhi dengan bunga, memicu terjadinya
demonstran, sehingga si pelukis yang baru saja menikah bermukim di pantai. Di
saat yang sama, sang Walikota menerima surat dinas yang mengungkapkan bahwa
tamu resmi dari luar negeri akan datang ke kota tersebut untuk menyaksikan
lukisan si pelukis. Dalam kekhawatiran disertai dengan kepentan pikiran, sang
walikota terlibat perbincangan dengan wakilnya, wakil walikota. Tak berapa lama
kemudian, pemerintah pusat menanyakan pada walikota tentang persiapannya,
dimana sang walikota mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi, mengarahkannya
pada tindakan bunuh diri. Perdana menteri pun turun tangan setelah mengetahui
wakil walikota tidak ditemukan, dan si pelukis pun akhirnya bersedia menghuni
rumah dinas sang walikota.
Dengan bangga pelukis mencetak kartu nama
hanya untuk mendapati istrinya mengurung diri di kamar tersendiri setiap malam,
hingga akhirnya pelukis membakar semua kartu namanya, juga kediamannya itu, dan
kembali ke pantai. Pelukis pun kembali melukis dalam kebahagiaan, dan kabar
kemesraan pasangan tersebut menyebar di masyarakat, sehingga keduanya pun
menjadi tontonan. Istri pelukis tertawa terbahak-bahak, tawa yang dibuat-buat,
selepas kepergian nona-nona tua. Keesokan harinya ia jatuh sakit, dan mulai mempertanyakan
siapa suaminya serta bagaimana hubungan mereka.
Besoknya, istri pelukis dikubur. Dimana
pelukis diharuskan mengisi formulir-formulir, sehingga ia terlibat perselisihan
dengan pengusaha penguburan swasta. Orang berbondong-bondong hendak mengantar
mayat istri pelukis, namun mayat tersebut tak juga diberangkatkan karena
menunggu putusan Walikota. Mayat pun alhirnya diberangkatkan, dan pelukis pun
menamppakan diri hanya untuk mendapati khalayak mengacuhkannya. Pelukis segera
kembali ke gubuk dan mendapati seorang wanita kecil, yang mengungkapkan diri
sebagai mertua hipotesis dan menceritakan kisahnya. Pelukis kemudian
melemparkan lukisan-lukisannya ke laut dan membakar gubuk, lalu ia pergi menuju
pekuburan: Ziarah.
Mendapati keberadaan opseter, membuat
bekas pelukis kesal, sehingga ia pun pergi, berhenti dari pekerjannya.
Mendapati hal itu, opseter mempertanyakan sikap bekas pelukis, yang memberikan
jawaban yang mencengangkan. Keesokan paginya, opseter didapati mati, dengan
sepotong kertas bertuliskan: DEMI KELENGKAPAN DAN KESEMPURNAAN. Bekas pelukis
menghadiri pemakaman opseter, dimana ia kemudian menanyakan pada mandor perihal
keburuan istrinya, dan mandor menanggapinya dengan enggan. Menyadari kepergian
mandor, bekas pelukis bertemu dengan centeng malam pekuburan, yang
mengungkapkan kenal dengan opseter sebagai mahagurunya, dan keduanya pun
terlibat percakapan.
Note:
- dikhususkan bagi yang sudah membaca bukunya [sebagai pengingat].
- bagi yang belum membaca bukunya, amat disarankan untuk membacanya [jika tertarik], sebab setiap penulis memiliki cara penyampaiannya sendiri-sendiri.