Man’s Search for Meaning
by: Viktor E. Frankl
Buku
ini sekadar cacatan berbagai pengalaman pribadi, penderitaan yang tak
putus-putus sebagaimana ditanggung oleh para tawanan Nazi. Mari kita ambil
contoh kasus tentang rencana pengangkutan yang secara resmi diumumkan untuk
memindahkan sejumlah tawanan tertentu ke kamp lain; tetapi umumnya hampir dapat
dipastikan bahwa tujuan akhirnya adalah kamar gas. Setiap orang hanya
dikendalikan satu pemikiran: bertahan hidup demi keluarga yang menunggi mereka
di rumah, dan menyelamatkan kawan-kawan. Saya, tawanan nomor 119.104, hampir
sepanjang waktu ditugaskan untuk menggali dan membuat lintasan jalan kereta
api. Sekali waktu, saya menggali sebuah terowongan, tanpa bantuan siapa pun,
untuk menempatkan pupa utama saluran air di bawah sebuah jalan, dimana saya
mendapatkan sebuah kupon premium (12 batang rokok / 12 mangkuk sup). Seribu
lima ratus tawanan menempuh perjalanan dengan kereta api selama beberapa hari:
setiap gerbong berisi 80 tawanan, dan berhenti di Auschwitz. Dalam kondisi
delusion of reprieve, kami terkurund di dalam barah yang barangkali dibangun
untuk menampung dua ratus tawanan, dengan seperlima ons roti sebagai jatah
makan untuk empat hari. Dengan meninggalkan barang bawaan di kereta, kami berbaris
untuk ditunjuk ke kanan atau ke kiri, dimana 90% ke kiri, yakni ke ruang
“mandi”. Kemudian, kami diliputi rasa humor yang menyakitkan; kami tahu bahwa
kami tidak bisa kehilangan apa-apa lagi kecuali hidup kami yang benar-benar
telanjang. Para tawanan di Auschwitz yang sudah melalui periode syok pertama,
tidak lagi takut terhadap kematian. Dua minggu di kamp konsentrasi (fase kedua),
kami menyaksikan kematian (pasien), tanpa perasaan apa pun (apati), dan ini
terjadi berulang-ulang setiap ada (pasien) yang meninggal. Bagian yang
paling menyakitkan dari pukulan adalah hinaan yang menyertainya. Meskipun
sempat berselisih dengan seorang Capo, seorang Capo menyukai saya karena
saran-saran psikoterapis yang saya berikan dan menempatkan saya di barisan
pertama; kebaikan hati seperti itu sangat penting. Karena beratnya
kekurangan gizi yang diderita para tawanan (sup encer sekali sehari, ditambah
sedikit roti), satu persatu penghuni gubuk meninggal dunia; “Tubuh ini, tubuh
saya, sudah benar-benar seperti sesosok mayat.” Waktu yang paling sulit dari
dua puluh empat jam kehidupan di kamp adalah saat-saat bangun pagi, ketika sirene
tengah malam berbunyi tiga kali. Secara umum, para tawanan juga mengalami apa
yang disebut "hibernasi budaya," dengan dua kekecualian, politik dan
agama. Satu pikiran membuat saya termenung: “Manusia diselamatkan oleh cinta dan di dalam cinta.” Ketika
kehidupan batin tawanan mulai meningkat, dia juga menyadari keindahan seni dan
alam yang sebelumnya tidak dia sadari. Upaya untuk mengembangkan rasa humor dan
memandang segala sesuatu dari sudut pandang yang lucu merupakan suatu muslihat,
bagian dari pelajaran tentang seni kehidupan. Sejalan dengan itu, hal-hal yang
sangat sepele pun dapat memberikan kebahagiaan yang amat besar. Saya bersedia
menjadi tenaga medis sukarela di sebuah kamp yang dihuni penderita tifus,
karena menyadari bahwa kalau memang harus mati, setidaknya kematian saya punya
arti. Semua orang benar-benar sudah berubah menjadi hanya sekadar nomor: hidup
atau mati-sama sekali tidak penting; kehidupan si "nomor" sama sekali
tidak relevan. Ketika para tawanan yang sakit siap dikirim ke "kamp istirahat",
nama saya (artinya, nomor tawanan saya) tercantum dalam daftar, dimana tidak
ada satu tawanan pun yang yakin bahwa tujuan konvoi ini benar-benar ke kamp istirahat.
Hari terakhir kami di kamp konsentrasi, aku kembali bermkasud untuk melarikan
diri bersama seorang teman, namun Palang Merah Internasional tiba, diikuti
dengan serdadu SS yang memasukkan para tawanan ke truk, dan medan pertempuran
sampai ke kamp kami. Apa pun bisa dirampas dari manusia. kecuali satu:
kebebasan terakhir seorang manusia--kebebasan untuk menentukan sikap dalam
setiap keadaan. kebebasan untuk memilih
jalannya sendiri. Seorang pria yang tidak bisa melihat akhir dari
"eksistensi sementaranya" tidak akan bisa meraih tujuan tertinggi
dalam hidupnya. Seorang filsuf Jerman; Spinoza berkata: “Emosi, yang sedang
menderita, tidak akan lagi menderita setelah kita membuat gambaran yang jelas
dan benar dari penderitaan tersebut.” Tawanan yang sudah kehilangan kepercayaan
akan masa depan--masa depannya sendiri--sedang menuju ke arah kehancuran. Kondisi
tersebut membawa dampak yang membahayakan bagi daya tahan tubuh mereka, dan
akibatnya sebagian besar tawanan meninggal. Pentingnya harapan tersebut sesuai
dengan ungkapan; “Dia yang tahu "mengapa" ia hidup, akan mampu
menghadapi "bagaimana" dalam bentuk apa pun” (Nietzsche).
Tindakan sabotase bisa dijatuhi hukuman gantung, dan pencurian kentang di
gudang membuat 2.500 tawanan memilih untuk berpuasa. Dalam prosesnya, saya
diminta memberikan ceramah, dimana saya menegaskan pentingnya makna hidup
melalui ungkapan Nietzsche: "Was mich nicht umbringt, macht mich
starker" (Segala sesuatu yang tidak membunuh saya, membuat saya jadi lebih
kuat). Adapun para penjaga kamp, mereka biasanya memang memiliki sifat sadis,
namun ada juga beberapa yang bahkan tidak pernah menyentuh kami. Dari itu bisa
diungkapkan bahwa Kebaikan manusia bisa ditemukan pada setiap kelompok, meskipun
di dalam kelompok yang secara keseluruhan kita kutuk sekalipun. Kita pun tiba
pada tahap ketiga dari reaksi mental seorang tawanan: kondisi psikologis
tawanan setelah dibebaskan, dimana mereka mengalami “depersonalisasi”, yang
mengarah pada kerusakan kesehatan moral. Pengalaman puncak dari semuanya ialah bahwa
setelah semua penderitaan yang dia jalani, tidak ada lagi yang perlu dia
takutkan-kecuali Tuhannya.
Berbeda
dengan psikoanalisis, logoterapi menerapkan metode yang tidak terlalu retrospektif
dan tidak terlalu introspektif. Ia lebih memusatkan perhatian pada masa depan,
atau pada pencarian makna hidup yang harus dilakukan oleh si pasien di masa
depannya (pencarian makna hidup). Riset mengungkapkan bahwa 89 persen orang
mengakui bahwa manusia membutuhkan "sesuatu" agar dia dapat hidup.
Keinginan tersebut bisa menimbulkan frustasi (frustrasi eksistensial) yang bisa
memicu neurosis (neurosis noogenik). Upaya mencari makna hidup bisa menimbulkan
ketegangan batin--bukan keseimbangan batin--sebagai prasyarat kesehatan mental.
Kehampaan eksistensial mengarah pada konformisme (ingin melakukan apa yang
dilakukan oleh orang lain) atau totalitarianism (melakukan apa pun yang
diinginkan orang lain dari dirinya), dan bahkan bunuh diri. Yang penting bukan makna
hidup secara umum, melainkan makna spesifik dari hidup seseorang pada suatu
saat tertentu. Karena itu, Logoterapi menganggap sikap bertanggung jawab sebagai
hakikat utama eksistensi manusia. Menurut logoterapi, ada tiga cara yang bisa ditempuh
manusia untuk menemukan makna hidup: (1) melalui pekerjaan atau perbuatan; (2)
dengan mengalami sesuatu atau melalui seseorang; dan (3) melalui cara kita
menyikapi penderitaan yang tidak bisa dihindari. Salah satu prinsip dasar dari
logoterapi: perhatian utama manusia bukan untuk mencari kesenangan atau
menghindari kesedihan, tetapi menemukan makna dalam hidupnya. Teknik
logoterapi yang lazim disebut paradoxical intention (niat paradoksikal)
menekankan bahwa kesenangan harus selalu dan harus tetap merupakan efek samping,
dimana kesenangan tersebut akan hancur atau rusak dengan sendirinya jika
dijadikan tujuan. Manusia memang makhluk yang terbatas, dan kebebasannya juga terbatas,
dimana kebebasan manusia tidak terbebas dari kondisi, namun manusia bebas
untuk menyikapi berbagai kondisi.
"Optimisme
di tengah tragedi" berarti bahwa seseorang itu optimistis, dan tetap
optimistis meskipun dia mengalami "tiga serangkai tragedi kehidupan";
(1) penderitaan (mengubahnya menjadi keberhasilan); (2) rasa bersalah (menjadikannya
sebagai kesempatan untuk menjadi lebih baik); dan (3) kematian (menjadikannya
sebagai dorongan untuk bertindak dengan penuh tanggung jawab). Seperti yang
sudah kita lihat, manusia bukan berusaha mencari kebahagiaan, melainkan mencari
alasan untuk menjadi bahagia; dan kebahagiaan itu bisa diperoleh dengan mewujudkan
potensi makna hidup yang merupakan bagian yang tersembunyi dalam setiap
situasi. "Kalau pun akhir yang baik hanya terjadi dalam satu dari
seribu kasus, siapa yang bisa menjamin bahwa kasus Anda cepat atau lambat tidak
akan berakhir baik suatu hari nanti? Namun, pertama-tama Anda harus tetap hidup
untuk melihat bahwa hari itu datang, sehingga sejak saat ini tanggung jawab
untuk tetap hidup tidak meninggalkan Anda." Makna dalam logoterapi
adalah apa (makna) yang terkandung dan tersembunyi dalam setiap situasi yang
dihadapi seseorang sepanjang hidup mereka. Dalam Logoterapi, ada tiga jalan
untuk menemukan makna hidup; melalui karya atau tindakan, melalui pengalaman
atau mengenal seseorang, dan melalui penderitaan atau situasi tanpa harapan.
Sebagai bukti hidup dari “argumenta ad hominem” (kekuatan jiwa manusia untuk
menentang), Jerry Long berkata; “Leher saya memang patah, tetapi itu tidak akan
mematahkan hidup saya.” Hiduplah seakan-akan Anda hidup untuk kedua kalinya,
dan bertindaklah seakan-akan Anda sedang bersiap-siap untuk melakukan kesalahan
yang pertama kalinya. Frankl mengungkapkan bahwa "Kita sendirilah
yang harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kehidupan kepada kita,
dan kita hanya dapat merespons semua itu dengan bertanggung jawab terhadap
eksistensi kita."
*****
Tanggal
27 Januari 2006, bertepatan dengan peringatan 61 tahun pembebasan kamp kematian
Auschwitz yang menewaskan 1,5 juta orang, untuk pertama kalinya dunia menjadi
saksi atas peringatah Hari Holocaust lnternasional. Beberapa bulan kemudian,
diperingati pula satu tahun kelahiran salah satu tulisan paling menonjol dari
masa mengerikan itu, yangpertama kali diterbitkan di Jerman pada 1946 sebagai A
Psychologist Experiences the Concentration
Camp dan kemudian menggunakan judul Say Yes to Life in Spite of Everything.
Pada edisi-edisi selanjutnya kemudian dilengkapi dengan pengenalan terhadap
logoterapi dan catatan mengenai optimisme di tengah tragedi, atau kiat untuk
tetap optimis menghadapi rasa sakit, bersalah, dan kematian. Versi terjemahan
lnggrisnya, yang pertama kali diterbitkan pada 1959, diberi judul Man's Search
for Meaning. Dalam tulisannya, ia memperingatkan kita bahwa "dunia
tengah berada dalam kondisi buruk, tetapi semuanya akan tetap memburuk, kecuali
masing-masing dari kita melakukan yang terbaik."
Note:
- dikhususkan bagi yang sudah membaca bukunya [sebagai pengingat].
- bagi yang belum membaca bukunya, amat disarankan untuk membacanya [jika tertarik], sebab setiap penulis memiliki cara penyampaiannya sendiri-sendiri.