Muhammad
by: Martin Lings (Abu Bakr Siraj al-Din)
Ibrahim tidak memiliki anak dan tak
ada harapan lagi untuk memilikinya, sehingga Sarah (76) mengizinkan suaminya
(85) menikahi Hajar (budaknya asal Mesir). Menjadi sasaran kecemburuan Sarah,
Hajar memohon pertolongan Tuhan dan dikaruniai Isma’il (Tuhan telah mendengar),
begitu juga Sarah yang dikaruniai Ishaq di usia 90 tahun. Atas keinginan Sarah,
Hajar dan Ismail pun pergi dan tiba di lembah tandus Arab, Bakkah. Dalam
keadaan putus asa (antara Shafa dan Marwah), Allah memberikan pertolongan
dengan memancarnya mata air (Zamzam) dari gundukan pasir yang disentuh tumit
Isma’il. Dengan pertolongan Tuhan, Ibrahim pun mengunjungi Hajar dan Isma’il,
dan membangun rumah suci (Ka’bah) diikuti dengan ritus menunaikan ibadah haji,
dimana Ibrahim kemudian berdoa di Kanaan.
Baitullah menjadi tempat kemuliaan
bagi keturunan Ishaq dan Isma’il hingga panganisme memengaruhi peribadatan
keturunan Isma’il yang berkembang pesat dan tak lagi cukup untuk tinggal di
Mekkah. Dengan tidak adanya akses ke sumur Zamzam, orang-orang Jurhum
mengangkat diri mengurus Mekah dan membuka sumur Zamzam, namun disertai
kesewenang-wenangan, sehingga Khuza’ah mengambil alih tanpa akses ke sumur
Zamzam, diikuti dengan mengulang kesalahan Jurhum.
Dengan kematian Hulayl, pemimpin
Khuza’ah, Qushay, menantunya dari suku Quraisy, menjadi pemimpin Mekkah
sekaligus penjaga Ka’bah. Semuanya berjalan harmonis hingga Qushay lebih
memilih putra pertamanya, ‘Abd al-Dar, dibandingkan ‘Abd Manaf yang mumpuni,
dimana Hasyim (putra ‘Abd Manaf yang terkemuka) menuntut pengalihan
pemerintahan. Kesepakatan antara Hasyim dan keturunan ‘Abd al-Dar terjalin,
dimana Hasyim yang menikahi Salma dari suku Khazraj, Yatsrib, tidak hidup lama,
sehingga Muththalib (saudara Hasyim) melanjutkan tugas Hasyim (mengatur
persediaan air bagi jemaah haji serta memungut pajak makan) dan membawa ‘Abd
al-Muththalib (putra Hasyim dan Salma) ke Mekah.
‘Abd al-Muththalib sangat suka
berada di dekat Ka’bah dan seringkali berbaring di Hijr Isma’il, dimana ia
kemudian mendapati sosok bayangan yang berkata: “Galilah Zamzam”--- Galilah ia,
maka engkau tak akan pernah menyesal, Karena ia pusaka yang amat kaya, Dari
nenek moyangmu yang paling luhur, Ia tidak akan pernah kering, tidak juga
berkurang, Dalam memenuhi semua kebutuhan jamaah haji. Setelah memanjatkan doa
yang diajarkan, ‘Abd al-Muththalib mengikuti burung-burung menuju tempat
penyembelihan Qurban dan melakukan penggalian ditemani Harits meskipun protes
dari kaum Quraisy berdatangan hingga harta karun peninggalan Jurhum ditemukan,
diikuti undian panah, sehingga Bani Hasyim pun bertanggung jawab atas Zamzam.
Kekhawatiran menimpa ‘Abd
al-Muththalib karena hanya memiliki seorang putra, sehingga ia bernazar: bila
dikaruniai sepuluh anak laki-laki yang tumbuh hingga dewasa, ia akan
mengorbankan satu di antaranya bagi Tuhan di Ka’bah. Doanya dikabulkan dan
penunaian nazar pun dilakukan dengan anak panah, dengan nama ‘Abd Allah (si
bungsu) yang keluar. Sang ibu, Fatimah, dari Bani Makhzum, dan keluarga dekat,
berusaha membujuk ‘Abd al-Muththalib, juga Mughirah yang menyarankan untuk
menemukan penggantinya. ‘Abd al-Muththalib berkonsultasi pada seorang wnaita
bijak di negeri kelahirannya, Yatsrib, mengarahkannya untuk mengundi ‘Abd Allah
beserta 10 ekor unta, hingga mencapai 100 ekor unta, diakhiri dengan tambahan
30 ekor unta.
Sebagaimana ‘Abd al-Muththalib yang
tidak menyebh Hubal; selalu menyembah Tuhan---Allah, Ada---dan memang selalu ada---sejumlah orang yang menegakkan agama
Ibrahim secara murni. ‘Abd al-Muththalib mengenal empat orang hanif, salah
satunya ialah Waraqah, yang memiliki saudara perempuan bernama Qutaylah.
Setelah pengorbanan dilaksanakan, ‘Abd al-Muththalib menikahkan ‘Abd Allah
dengan Aminah, putri Wahab, pemimpin Bani Zuhrah. Dalam perjalanan ke kediaman
bani Zuhrah, Qutaylah yang terpesona akan ‘Abd Allah, menawarkan diri sebagai
istri. Pernikahan tersebut berlangsung di tahun 569 M.
Sebagai gubernur Abyssinia, Abrahah
membangun katedral megah di Shan’a dengan tujuan menyaingi Mekah. Kabar itu
mengundang kemarahan, hingga seseorang dari suku Kinanah meruntuhkan gereja
tersebut. Abrahah pun bersumpah untuk menghancurkan Ka’bah, dengan Nufayl
(pemimpin kelompok penghalang) sebagai penunjuk jalan. Setibanya di Tha’if,
orang-orang Tsaqif memberi penunjuk jalan demi keselamatan kuil mereka, al-Lat,
yang meninggal dalam perjalanan (Mughammis). Mewakili suku Quraisy, ‘Abd
al-Muththalib memenuhi undangan Abrahah di kemah pasukan Abyssinia untuk
meminta kembali dua ratus ekor untanya disertai ungkapan: “Ka’bah ada
pemiliknya sendiri yang akan melindungi”, diikuti doa di pintu Ka’bah: “Ya
Allah, hamba-hamba-Mu melindungi rumahnya, maka lindungilah rumah-Mu ini!”.
Keesokan harinya, Abrahah berangkat memasuki kota hanya untuk mendapati gajah
di barisan terdepan beranjak duduk, diikuti dengan kedatangan ribuan burung
yang masing-masing membawa tiga batu kecil membara. Di saat yang sama, ‘Abd
Allah yang pergi berdagang ke Palestina dan Suriah, jatuh sakit di Yatsrib dan
meninggal dunia, dimana putra ‘Abd Allah yang masih dalam kandungan menjadi
pelipur lara bagi Aminah.
Sudah kebiasaan seluruh keluarga
besar Arab kota untuk mengirimkan anak-anak mereka diasuh suku Badui hingga
disapih, dimana tak seorang pun dari Bani Sa’ad ibn Bakr, suku Hawazin, yang
bersedia mengasuh putra Aminah hingga Halimah dan Harits (pasangan termiskin
dari suku tersebut) memutuskan untuk mengasuhnya saat rombongan hendak kembali.
Dalam prosesnya, Halimah mendapati keberkahan menimpa keluarganya; air susu
yang berlimpah. Saat melakukan penyapihan, Halimah pun meminta dengan sangat
pada Aminah untuk tetap mengasuh Muhammad, dimana beberapa bulan kemudian
terjadilah peristiwa pembelahan dada.
Aminah dengan tenang menerima sang
putra, Muhammad, setelah mendapati penuturan Halimah. Ketika berusia enam
tahun, Aminah mengajak Muhammad mengunjungi seorang kerabat di Yatsrib
(keluarga Khazraj), dimana dalam perjalanan pulang Aminah jatuh sakit dan meninggal
dunia di Abwa’. Muhammad pun diasuh oleh kakeknya, Abd al-Muththalib, yang
begitu membanggakan sang cucu melalui perkataan: “Masa depan cucuku ini sungguh
gemilang”. Dua tahun kemudian, sang kakek wafat dan memercayakan Muhammad pada
Abu Thalib, saudara kandung sang ayah.
Dengan sedikitnya warisan, Abû
Thâlib hidup miskin, sehingga kemenakannya bekerja sebagai pengembala domba dan
kambing. Suatu ketika, saat Muhammad berusia 9/12 tahun, ia ikut bersama
kafilah saudagar pamannya ke negeri Suriah. Di Boshra, Pendeta Bahîra yang
kagum menyaksikan pertanda alam (gumpalan awan dan pohon) yang menimpa kafilah
tersebut, mengundang mereka untuk jamuan makan, mengarahkan sang Pendeta yakin
atas kerasulan Muhammad dan meminta kafilah tersebut untuk kembali ke Mekkah
demi keselamatan Muhammad dari kaum Yahudi.
Tahun-tahun berikutnya, kaum Quraisy
tidak terlibat dalam pertempuran kecuali konflik hebat yang terjadi secara
sporadis dan sebentar-sebentar (3-4th / 5 hari), dimana dalam
prosesnya Muhammad dipuji atas kemampuannya sebagai pemanah. Tanpa sistem
hukum, ketidakadilan pun dipertanyakan, hingga peristiwa kecurangan Bani Sahm
pada seorang pedagang dari pelabuhan Yemeni mengarahkan diadakannya perjanjian
kehormatan di rumah ‘Abd Allah ibn Jud’an.
Melewati usia 20-an, Muhammad
meminta izin pada Abu Thalib untuk menikahkan putrinya, Fakhitah (yang kemudian
dikenal sebagai Umm Hani’), namun Abu Thalib memiliki rencana lain. Muhammad
memenuhi tawaran Khadijah putri Khuwaylid (salah seorang saudagar terkaya di
Mekah) untuk membawa dagangan ke Suriah ditemani oleh Maysarah, dimana Khadijah
kemudian tertarik pada Muhammad dan berkonsultasi pada Nufaysah. Pernikahan pun
dilangsungkan, dengan mahar dua puluh ekor unta betina.
Muhammad tinggal di kediaman sang
istri, Khadijah, yang melahirkan dua putra (Qasim, Abd Allah) dan empat putri
(Zaynab, Ruqayyah, Ummu Kulsum, Fathimah). Pada hari pernikahan, Muhammad
memerdekakan Barakah dan menerima hadiah seorang budak bernama Zayd dari sang
istri. Mengetahui keberadaan Zayd, sang ayah, Haritsah dari suku Kalb,
melakukan penebusan, namun Zayd memilih untuk tetap bersama Muhammad, yang
kemudian mengangkatnya sebagai anak. Di musim paceklik, Muhammad membantu
meringankan beban sang paman, Abu Thalib, dengan mengasuh Ali.
Ketika Muhammad berusia 35 tahun,
Quraysi memutuskan membangun kembali Ka’bah dengan menggunakan kapal pedagang
Yunani dan bantuan seorang Koptis ahli memahat kayu. Dengan perginya ular
besar, Walid bin Mughirah memulai pengangkatan batu yang diikuti orang-orang
dengan membiarkan fondasi dua batu bundar kehijauan. Mereka menemukan tulisan
di pojok Hajar Aswad dan di dalam maqam Ibrahim, dimana perselisihan peletakan
kembali Hajar Aswad terjadi hingga Muhammad dipercaya untuk tugas tersebut.
“Mimpi yang benar” mengarahkan
Muhammad melakukan penyendirian spiritual (tahannuts) di sebuah gua di Bukit
Hira’. Menjelang akhir Ramadhan, dalam usia keempat puluh, malaikat (Jibril)
datang dalam rupa manusia membacakan Q. 96: 1-5. Muhammad yang dilanda
kekhawatiran, segera pulang, dimana penegasan Khadijah dan Waraqah diikuti
wahyu kedua. Masa bungkam kembali meresahkan Muhammad hingga turun Q. 93: 1-11.
Setelah Khadijah, yang mula-mula
memeluk Islam adalah Ali (10th), Zayd, dan sahabat Nabi, Abu Bakar.
Di antara pemeluk Islam pertama ialah Abd Amr (Abd al-Rahman) dan Abu Ubaydah,
Khalid bin Sa’id, Utsman dan Thalhah, juga Abd Allah ibn Mas’ud. Islam telah
dibangun berdasarkan penyucian ritual dan salat, diikuti Q. 59: 21, 74: 1-10,
73: 1-5, dimana para pemeluk Islam pertama memandang perintah yang ditujukan
kepada Nabi berlaku bagi diri mereka juga.
Setelah turunnya ayat, “Dan berilah
peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat” (Q. 26: 241), Nabi
mengumpulkan Bani ‘Abd al-Muththalib dalam jamuan makan. Tak sempat berbicara
karena Abu Lahab, Nabi kembali mengadakan jamuan dan menyampaikan risalahnya.
Mendapati penuturan Nabi perihal Umm Ayman, Zayd pun menikahinya.
Setelah pertumpahan darah pertama
dalam Islam, tokoh-tokoh Quraisy meminta bantuan Abu Thalib, dimana Nabi
menjawab: “Aku bersumpah, demi Tuhan! Sekalipun mereka meletakkan matahari di
tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan meninggalkan dakwah
ini sebelum Allah memenangkannya atau aku terbunuh karenanya.” Mengetahui hal
itu, Quraisy menata barisan mengorganisasi penyiksaan terhadap pemeluk Islam
yang tidak memiliki pelindung. Tibanya musim haji, mengarahkan kaum Quraisy
menjuluki Muhammad sebagai tukang sihir, disertai peringatan pada orang-orang
yang datang. Meski begitu, Abu Dzar dari Bani Ghifar menerima Islam, begitu
juga Thufayl dari Bani Daws, dan Islam pun menjadi pembicaraan di Jazirah Arab.
Suku ‘Aws dan Khazraj telah
bersekutu dengan beberapa suku Yahudi di sekitar Yatsrib. Meski begitu
perseteruan sering kali terjadi, dan dalam prosesnya kaum Yahudi berkata,
“Kini, waktu diutusnya seorang nabi telah tiba. Dengan kehadirannya, kami akan
membantai kalian seperti kaum ‘Ad dan Iram yang terbantai.” Penuturan tersebut,
juga kedatangan Ibn al-Hayyaban, membuat bangsa Arab Yatsrib lebih siap
menerima kedatangan sang Nabi. Pertumpuhan darah antara ‘Aws dan Khazraj yang
semakin memenas, mengarahkan pemimpin ‘Aws mengirimkan delegasi pada Quraisy.
Dalam prosesnya, Nabi menemui mereka dan membacakan beberapa ayat al-Qur’an,
dimana Iyas bin Mu’adz menunjukkan penerimaan sementara ketua delegasi
memberikan penolakan.
Pada suatu hari, ketika Nabi
melakukan tawaf tujuh putaran, beberapa pemuka Quraisy di Hijr melakukan
cemoohan hingga Nabi memberikan tanggapan tegas di putaran ketiga, dan mereka
pun terdiam. ‘Amr, Abu al-Hakam (Abu Jahal), yang tengah menuju Hijr, dengan
sangat mencemooh Nabi yang sedang duduk di dekat gerbang Shafa. Hamzah yang
mengetahui hal itu dari seorang wanita keluarga Ju’dan, menyatakan
ke-Islam-annya di hadapan Abu Jahl disertai tantangan.
Mengetahui kekhawatiran Quraisy atas
ke-Islam-an Hamzah, Utbah bin Rabi’ah mengajukan saran dan langsung menemui
Nabi yang tengah berada di dalam Ka’bah, dimana ia kembali dengan peringatan
kepada Quraisy. Hasil dialog yang tidak membuahkan hasil, mengarahkan kaum
Quraisy terus menerus mencemooh Nabi, termasuk kerabatnya sendiri. Dan
ke-Islam-an Arqam melalui Salamah dari kabilah Makhzum, membuat kaum mukmin
memiliki tempat peribadatan tersembunyi (tenang) di pusat Mekah.
Pengikut Nabi terus bertambah.
Namun, bukan dari orang-orang berpengaruh (pemuka Quraisy), mengarahkan Nabi
berbicara empat mata dengan Walid, dan turunlah Q. 80: 1-2, 5-10. Tidak seperti
Abu Jahl, Abu Sufyan tidak menunjukkan permusuhan keras pada Nabi. Meski
begitu, para pemuka Quraisy bersepakat menolak ajarannya, demi kehormatan;
sebagaimana leluhur mereka.
Dari dulu sampai sekarang, sikap
orang kafir terangkum dalam kalimat, “Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia
saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan” (Q.6:29). Terhadap hal ini,
wahyu memberikan jawaban: “Maka, apakah kamu mengira Kami menciptakan kamu
secara main-main (saja) dan kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?
(Q.23:115). Para pemuka Quraisy telah menantang Nabi agar menunjukkan
tanda-tanda, dan suatu ketika, pada malam bulan purnama, di atas bukit Hira’,
Nabi mengabulkan permintaan seorang kafir untuk membelah bulan menjadi dua.
Kekaguman dan harapan yang diminta dari orang beriman adalah sikap kembali
kepada Allah: Q.1 & Q.112.
Perpecahan keluarga terjadi, seperti
Thalib dan Aqil (putra Abu Thalib) yang tidak mengikuti jejak saudara mereka
yang lebih muda, Ja’far dan Ali, namun bersikap toleran. Berbeda dengan Abu
Lahab, juga istrinya, Umm Jamil yang memaksa anak mereka menceraikan Ruqayyah
dan Umm Kultsum. Mengenai kerabat Khadijah, saudara tirinya, Nawfal, menjadi
musuh Islam yang paling jahat dan kejam. Hal ini sesuai dengan al-Qur’an: 28:
56.
Masa kerasulan tidak lain hanyalah
persiapan menghadapi kiamat. Mengantisipasi kiamat berarti mengantisipasi
pengadilan: al-Qur’an menyatakan diri sebagai al-Furqan (pembeda yang benar dan
yang batil).
Kaum Quraisy mengutus duan orang
Yatsrib berkonsultasi pada rabi-rabi Yahudi, sehingga ditanyakanlah tiga
pertanyaan, diikuti Q. 18: 23-24 (Insya Allah) lima belas hari kemudian, juga
jawaban dari ketiga pertanyaan; Q. 18: 9-25, Q. 18: 93-99, dan Q. 17: 85. Hal
ini membuat perlakuan kaum Quraisy semakin keras pada para pemeluk Islam,
sehingga Nabi menyarankan mereka untuk pergi ke negeri Abyssinia.
Para pengungsi itu disambut baik di
Abyssinia, sehingga kaum Quraisy mengutus ‘Amr bin Ash dan rekannya untuk
menemui Raja Negus. Negus memanggil para sahabat Nabi untuk meminta penjelasan,
dan Ja’far pun membacakan Q. 19: 16-21. Namun ‘Amr kembali keesokan harinya
dengan mengemukakan bahwa Yesus putra Maryam adalah seorang hamba, dan Ja’far pun
menegaskan bahwa ia adalah Hamba Tuhan, Utusan-Nya, Roh-Nya, dan Kalimat-Nya
yang Ia tiupkan ke dalam rahim Maryam.
Tekanan dan penyiksaan meningkat,
terutama dibawah arahan Abu Jahal dan keponakannya, Umar, yang memutuskan untuk
membawa pedangnya ke hadapan Muhammad. Namun ia bertemu dengan Nu’aym, yang
mengarahkannya pada saudari dan saudara iparnya, Sa’id dan Fathimah. Mendapati
darah di wajah saudarinya yang disertai keimanan, Umar meminta lembaran surat
Tha-Ha yang tadi dibaca Fathimah dan kemudian menyatakan diri masuk Islam.
Setelah menemui Rasulullah, Umar menemui Abu Jahal keesokan harinya.
Menanggapi sikap Umar yang membawa
kaum mukmin ke Rumah Suci, kaum Quraisy dibawah tekanan Abu Jahl melakukan
pemboikotan pada Bani Hasyim, begitu juga Bani Muththalib. Dalam prosesnya,
beberapa orang musyrik ikut memberikan bantuan, selain batuan dari kaum muslim,
terutama Abu Bakr dan Umar. Setelah lebih dari dua tahun, Hisyam pergi menemui
Zuhayr, mengarahkannya menemui Muth’im ibn ‘Adi, mengarahkannya menemui Abu
al-Bakhtari, mengarahkannya menemui Zam’ah ibn al-Aswad, dan penolakan terhadap
pemboikotan pun diumumkan selepas thawaf, dimana mereka dapati dokumen
pemboikotan telah dimakan rayap kecuali kalimat: “Dengan nama-Mu, Ya Allah!”.
Kabar tersebut mengarahkan beberapa pengungsi di Abyssinia kembali ke Mekkah.
Kaum Quraisy sendiri kemudian mengajukan kompromi pada Nabi, sehingga turunlah
Q.S. 109: 1-6.
Utsman ibn Mazh’un al-Jumah, meminta
Walid mencabut perlindungannya setelah mendapati saudaranya semuslim disika.
Beberapa hari kemudian, Utsman menginterupsi syair Labid: ‘Oh, segala sesuatu
selain Tuhan akan fana’ (Engkau benar) ‘Dan semua kebahagiaan akan musnah’
(Engkau berdusta. Kebahagiaan surga tidak akan pernah musnah). Kemudian turun
Q.28: 88.
Pada 619 Masehi, tidak lama setelah
pencabutan pemboikotan, Khadijah meninggal dunia, yang disusul oleh Abu Thalib.
Keadaan menjadi sulit bagi orang yang tidak memiliki perlindungan, termasuk Abu
Bakar yang memutuskan untuk pergi ke Abyssinia, namun kemudian mendapati
perlindungan dari Ibn al-Dughunnah, Kepala sebuah Suku Badui. Abu Lahab menjadi
pemimpin Bani Hasyim, sehingga Nabi mencari pertolongan ke suku Tsaqif,
penduduk Tha’if, yang ternyata memberikan penolakan keras, dimana Nabi yang
beristirahat di sebuah kebun bertemu dengan ‘Addas, budak milik ‘Utbah dan
Syaibah (pemilik kebun tersebut). Dalam perjalanan kembali ke Mekkah, Nabi
bertemu dengan sekelompok jin di Nakhlah. Dari Gua Hira’, Nabi kembali ke
Mekkah setelah menerima perlindungan dari Muth’im, pemimpin Bani Nawfal.
Nabi Sholat Isya’ di kediaman Ummu
Hani’, dimana ia kemudian mengunjungi Ka’nahh dan tertidur di Hijr. Jibril
membangunkan Nabi dan menaiki Buraq menuju Yerusalem, mengimami para Nabi di
Masjid al-Aqsa. Setelah memilih susu daripada anggur, Nabi mikraj dan menerima
perintah shalat lima waktu di shidrat al-muntaha, yang diliputi Cahaya Ilahi.
Selepas Sholat Shubuh, Nabi menceritakan perjalanannya ke Yerusalem di hadapan
orang-orang musryik, juga kabilah-kabilah yang dilihatnya. Dan ketika bersama
Abu Bakar dan sahabat lainnya, beliau meceritakan mikrajnya ke langit ke tujuh.
Sesudah Tahun Dukacita, Nabi
berdakwah di lembah Mina pada Bulan Haji, dimana ia diterima oleh enam orang
dari suku Khazraj, Yatsrib. Di tahun yang sama, Nabi menerima mimpi seorang
wanita berkerudung sutra, dua kali, diikuti tawaran Khawlah, istri Utsman ibn
Mazh’un, untuk menikahi Aisyah dan Sawdah. Abu Bakar membangun masjid kecil di
depan rumahnya, sehingga Ibn al-Dhughunnah mencabut perlindungannya.
Ibadah haji tahun berikutnya (621
M), lima orang sebelumnya dari suku Khazraj ditambah tujuh orang, diantaranya
dari suku ‘Aws, berbaiat kepada Nabi, yang dikenal sebagai Baiat ‘Aqabah
Pertama. Nabi mengutus bersama mereka Mush’ab bin ‘Abd al-Dar, yang tinggal bersama
As’ad ibn Zurarah, mengarahkan Sa’ad dan Usayd menerima Islam, sehingga 73
orang dan dua wanita berbaiat kepada Nabi di tahun selanjutnya, dimana dalam
prosesnya Bara’ sholat menghadap Ka’bah.
Rasulullah mendorong para sahabatnya
untuk berhijrah ke Yatsrib, dimana Abu Salamah telah terlebih dahulu tiba di
sana. Hamper semua sahabat telah berangkat kecuali Anu Bakr dan Ali, dimana
dalam prosesnya Hisyam dan Ayyasy dipaksa untuk murtad, dan turunlah Q. 39:
53-54.
Menanggapi hijrah kaum muslimin,
kaum Quraisy mengirim setiap pemuda terbaik mereka ke kediaman Nabi mengikuti
saran Abu Jahl di majelis. Jibril memberitahukan pada Nabi apa yang harus
dilakukan, sehingga Nabi pergi mengunjungi Abu Bakar di sore harinya,
memerintahkan Ali menyelimuti diri di tempat tidurnya sementara ia pergi keluar
setelah membaca Q. 36: 1-9.
Nabi berangkat hijrah bersama Abu
Bakar menuju sebuah gua di Gunug Tsawr, dimana kaum Quraysi menawarkan hadiah
100 ekor unta bagi yang berhasil membawa Muhammad kembali ke Mekkah. Pada hari
ketiga, para pencari tiba di gua tersebut dan Rasulullah bersabda kepada Abu
Bakar: “Jangan bersedih karena
sesungguhnya Allah bersama kita.” (Q. 9: 40). ‘Amir kemudian tiba bersama
seorang Badui pemandu jalan, dan mereka pun tiba di Quba’ dua belas hari
kemudian.
Nabi tiba di Madinah pada hari
Senin, 27 September 622 M, mendirikan masjid di Quba’ sebagai masjid pertama,
dan berangkat ke Madinah pada Jum’at pagi. Penduduk Madinah menyambut baik
kedatangan Nabi dan mengundangnya, namun Nabi membiarkan untanya, Qashwa’,
memilih, mengarahkan Nabi pada tanah milik dua orang yatim piati, Sahl dan
Suhayl, yang berada dalam asuhan As’ad, salah satu dari enam orang yang
berbaiat pada Aqabah Pertama.
Nabi memerintahkan agar di
halamannya dibangun sebuah masjid, dimana Nabi kemudian membuat perjanjian
antara pengikutnya dan kaum Yahudi, diikuti dengan pemersaudaraan kaum Anshar
dan kaum Muhajirin setelah pembacaan syair Bu’ats. Dalam pemakaman As’ad (orang
Madinah pertama yang berbaiat), Salman mendatangi Rasulullah dan menerima
Islam. Islam kini mantap di Yatsrib, dan azan pun dikumandangkan untuk pertama
kalinya oleh Bilal melalui mimpi Abd Allah ibn Zayd.
Ketika masjid hamper selesai
dibangun, Nabi meminta dibuatkan dua bilik kecil untuk Sawdah dan ‘A’isyah,
dimana bangunan tersebut selesai dalam tujuh bulan. Nabi dan putri-putrinya
tinggal di tempat Sawdah, perkawinan dengan ‘A’isyah dilangsungkan sekitar satu
bulan kemudian secara sederhana (‘A’isyah 9 tahun dan Nabi 53 tahun). Selama
tiga tahun terakhir, ‘A’isyah banyak bermain dengan teman-temannya, dimana
banyak orang Islam yang terkena demam mematikan, termasuk Abu Bakar.
Turunnya Q.22: 39-40, diikuti dengan
Q. 8:39, nabi mengambil langkah peperangan, dengan berusaha mencegat kabilah
Quraysi. Abd Allah ibn Jahsy bersama delapan orang Muhajirin dikirim oleh Nabi
untuk mengecek suatu kafilah, dimana mereka melancarkan serangan, padahal saat
itu merupakan bulan Rajab (bulan yang disucikan), sehingga Nabi menolak
tindakan mereka dan turunlah Q.2: 217. Pada bulan Sya’ban, diturunkan Q.2: 144
(Masjidil Haram sebagai Kiblat).
Nabi berangkat bersama 350 pasukan
untuk menghadang kafilah Abu Sufyan, yang telah meminta bantuan kaum Quraisy
setelah mengetahui apa yang terjadi. Bibi Nabi, Atikah, mengungkapkan mimpinya
pada kaum Quraisy, diikuti kabar permintaan bantuan dari Abu Sufyan, dimana
Quraisy berangkat dengan seribu pasukan. Mengetahui hal itu, Nabi menanyakan
pendapat pasukannya, dan memutuskan untuk terus maju. Mengikuti saran Sa’d ibn
Mu’adz, Nabi dan pasukannya menjalankan siasat dengan telah tiba terlebih
dahulu di Badr (Jum’at, 17 Maret 623 M / 17 Ramadan 2 H), dimana hujan
menyambut kedatangan mereka.
Nabi memeriksa pasukannya, dan Sawad
mengungkapkan protes. Pasukan Quraysi bergerak maju, dan Nabi memohon
pertolongan Allah. 3 penantang dari Quraisy maju dan meminta lawan sesama suku,
sehingga Nabi mengirimkan Ubaydah, Hamzah, dan ‘Ali. Perang pun pecah, dimana
Umayr min Salimah menyambut komando kesyahidan, ‘Awf maju tanpa baju perang,
dan ‘Ukkasyah menerima pedang al-‘Awn. Kehadiran para malaikat dirasakan oleh
semua orang (Q. 8: 9), dan sebagian besar tantara Quraisy lari pontang-panting.
Dalam masalah tawanan, turun Q. 8: 70, dimana beberapa tawanan dibunuh (Abu
Jahl, Umayyah dan ‘Ali). Dalam masalah rampasan perang, turun Q. 8: 1. Nabi
memerintahkan agar semua tawanan diperlakukan dengan baik, dimana malam harinya
beliau berdiri di dekat kuburan para musuh Allah.
Di antara yang pertama kali sampai
di Mekah adalah Abu Sufyan, yang segera berkunjung ke Ka’bah dan bertemu dengan
Abu Lahab. Di saat Abu Sufyan menceritakan apa yang terjadi pada Abu Lahab,
yang kemudian memukul Abu Rafi habis-habisan, sehingga Umm al-Fadl memukul
kepalanya dengan kayu. Sebagai pemimpin kaum Quraisy, Abu Sufyan menolak untuk
membayar tebusan, dimana ia mengirimkan delegasi berusaha mengumpulkan kekuatan
untuk melakukan pembalasan.
Nabi menegur Sawdah yang melihat
sepupunya, Suhayl, sebagai tawanan, dimana tak lama kemudian tebusan datang
untuknya. Perihal ‘Abbas, cucu Salma, Nabi memintanya untuk menebus dirinya
sendiri. Mendapati tebusan atas menantunya, Abu al-‘Ash (suami Zaynab), nabi
meminta kaum Anshar untuk membebaskan sekaligus mengembalikan tebusannya.
Setelah ditebus dengan harga tinggi, Walid mengungkapkan ke-Islam-annya dan
kembali ke Mekkah untuk mengambil hartanya hanya untuk mendapati dirinya
ditahan. Mendapati jaminan saudaranya, Shafwan, ‘Umayr pergi ke Madinah dengan
membawa pedangnya, dimana Nabi menerima kedatangannya dengan Islam. Sesuai
janji, Abu al-‘Ash mengirim Zaynab ke Madinah bersama putri mereka, Umamah,
disertai saudara laki-lakinya, Kinanah, dimana kaum Quraysi berusaha
menghalangi.
Mendapati kabar kemenangan kaum
muslim di Perang Badr, kaum Yahudi (Qaynuqa’, Nadhir, dan Qurayzhah) menjadi
cemas, terutama Ka’ab, anak Asyraf, yang pergi ke Mekah untuk berduka cita.
Setelah keangkuhan Bani Qaynuqa’ menanggapi kemenangan Nabi, diikuti dengan
penghinaan terhadap seorang wanita muslimah, Nabi melakukan pengepungan
terhadap mereka, yang menyerah tanpa syarat setelah dua minggu bertahan tanpa
bantuan.
Setibanya di Madinah, Nabi dan
Fathimah berziarah ke makam Ruqayyah. Nabi menikahkan Fathimah (20th)
dengan, ‘Ali, saudaranya, dimana Nabi sendiri kemudian menikahi Hafshah binti
‘Umar, juga menikahkan Utsman dengan Umm Kultsum. Hampir bersamaan dengan
pernikahan itu, ‘Utsman ibn Mazh’un meninggal dunia, dimana Nabi pernah
bersabda padanya; “…Bukan termasuk kaumku orang yang menjadikan dirinya dan
orang lain fakir.”
Salah satu serambi masjid kini
digunakan sebagai tempat singgah para pendatang baru, yang disebut sebagai ahl
al-Shuffah. Dalam kemelaratan ahl al-Shuffah, Nabi menolak permintaan bantuan
Fathimah dan Ali, namun memberikan sesuatu yang lebih baik.
Dampak penting lain dari Perang Badr
adalah bersekutunya Juhaynah dan suku-suku tetangga di Laut Merah dengan
Madinah, dan Quraysi pun memperkuat persekutuan dengan suku Sulaym dan
Ghathafan. Bulan-bulan berikutnya, Nabi menjalankan rencana penyerangan di
daerah pinggiran sebelah timur oasis, dengan sebuah ekspedisi yang berhasil
menghadapi suku-suku Gathafan: Tsa’labah dan Muharib (Du’tsur, selaku kepala
suku menerima Islam setelah menghunus pedangan ke hadapan Nabi). Sekembalinya
Nabi dari Najd, Ka’b ibn al-Asyraf meninggalkan Mekah dan kembali ke Bani
Nadhir, untuk mengejek dan menghina Nabi dengan syair-syairnya.
Penduduk Mekah kehilangan rute di
jalur laut merah, diikuti dengan bencana Qaadah (serangan Zayd terhadap kafilah
Shafwan), sehingga kaum Quraysi membawa 3000 tentara menuju Madinah pada 625 M.
Mengetahui apa yang terjadi dari Abbas, Nabi mengirimkan mata-mata, dimana
beliau mengungkapkan mimpinya dan bermaksud untuk bertahan di dalam benteng
kota. Namun banyak pemuda terbakar semangat, sehingga mayoritas kaum muslimin
berkeinginan untuk keluar, dan Nabi pun memutuskan untuk menyerang. Setelah
Sholat Jum’at dan berkhutbah, nabi mengenakan pakaian perang selepas sholat
maghrib, dan perkataan Sa’d ibn Mu’adz membuat kaum muslimin menyesali
keputusan mereka.
Nabi tiba di Syaikhyan (pertengahan
Madinah dan Uhud) ketika matahari mulai terbenam, dan Nabi pun memeriksa
pasukan, dimana Ibn Ubayy membawa tiga ratus orang kembali ke Madinah. Di
Madinah, malam itu pernikahan Hanzhalah dan Jamilah, dimana Jamilah bermimpi
melihat suaminya berdiri di pintu depan surga. Dengan tujuh ratus orang, Nabi
berhenti di tempat yang tepat, dan Bilal menyerukan azan shubuh. Nabi
menempatkan lima puluh pemanah di atas bukit disertai komando, mengenakan matel
bajanya, dan berkata; “Siapa yang memenuhi syarat memegang pedang ini?”
Matahari telah naik dan pasukan
Quraisy bersiap dengan serratus pasukan berkuda di kedua sayap, dengan Abu
Sufyan yang memimpin bagian tengah memproklamasikan kehadirannya, diikuti
dengan Hanzhalah, yang juga dijawab dengan ejekan. Selagi tantara Mekah dikomando
maju, Hindun memimpin para wanita dengan memukul genderang perang dan benyanyi.
‘Ali maju memenuhi tantangan Thalhah dan menjatuhkannya dengan sekali tebas.
Sementara Hindun hampir tertebas pedang Dujanah, Wahsyi memusatkan perhatian
pada Hamzah yang Tengah berhadapan dengan pembawa panji terakhir ‘Abd al-Dar.
Kaum muslim terus maju menuju kemah musuh, dan empat puluh dari lima puluh
pemanah dibawah pimpinan ‘Abd Allah ibn Jubayr memutuskan meninggalkan pos
untuk rampasan perang. Mendapati hal itu, Khalid segera mengambil tindakan,
diikuti oleh Ikrimah, membuat pasukan muslim untuk mundur. Dalam prosesnya,
Wahab min Muzaynah memenuhi panggilan Rasulullah untuk menghadang pasukan
musuh. Nabi menahan Abu Bakar yang hendak memenuhi tantangan putranya, ‘Abd
al-Ka’bah, diikuti dengan satu pasukan berkuda, dan sebuah lemparan batu keras
mengenai mulut Nabi. Kaum muslim dalam keadaan terdesak, dan Ibn Qami’ah
mencari keberadaaan Nabi untuk menyerangnya, dimana Thalhah segera menghadang,
diikuti dengan pengumuman bahwa Nabi telah mati. Mendapati hal itu, Anas ibn
Nadhr tetap maju menuju kancah perang yang paling sengit. Nabi kembali sadar
dan mengarahkan sahabatnya memasuki sebuah celah di bukit, dimana Abu ‘Ubaydah
dan Malik min Khazraj berusaha mengobati luka beliau. Mendapati keberadaan
Nabi, Ka’b ibn Malik segera melakukan pengumuman, sehingga Ubayy datang untuk
menantang Nabi dan kembali ke perkemahannya dengan luka yang fatal.
Kaum Quraisy kini sibuk mencari
orang-orangnya yang gugur, 22 orang di pihak mereka, dan 55 di pihak musuh,
dimana Wahsyi mengambil hati Hamzah dan membawanya kepada Hindun, yang kemudian
memotong-motong tubuh Hamzah dan mengajak wanita lainnya untuk melakukan hal
yang sama. Setelah membereskan perkemahan, Abu Sufyan mengumandangkan
perjanjian untuk perang berikutnya.
Menyaksikan apa yang terjadi pada
Hamzah, Rasulullah dilanda amarah, dan turunlah Q. 26: 126. Di antaranya;
mereka menemukan mayat Hanzhalah, Usayrim, juga seorang rabi Yahudi Bani
Tsa’labah. Nabi mendirikan shalat jenazah untuk semua pejuang yang gugur, satu
persatu, 72x shalat jenazah, dimana Nabi juga memimpin setiap penguburan (dua
tiga mayat dalam satu liang). Dalam prosesnya, terjadilah kisah unta-Hindun dan
doa Rasulullah untuk seorang laki-laki dari Muzaynah, dimana Rasulullah
kemudian memanjatkan puji syukur setibanya di batas awal jalur lava.
Nabi tiba di Madinah ketika matahari
mulai terbenam, dan keesokan paginya beliau mengumumkan untuk melakukan
pengejaran terhadap musuh. Dalam prosesnya, Nabi yang merasa bahagia mendapati
keadaan Bani Salimah, berdoa; “Ya Allah, berkatilah Bani Salimah!”
pemberhentian Nabi dan pasukannya sekitar 13km dari Madinah, dengan musuh
berkemah tak jauh dari mereka, di Rawha. Nabi menyebarkan pasukannya untuk
mengumpulkan kayu bakar, dimana Abu Sufyan mendapatkan kesan dari seorang
lelaki Khuza’ah dan mengirimkan pesan pada Nabi, yang segera mengucapkan;
“Cukuplah Allah sebagai Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.”
Dua bulan kemudian, terdengar kabar
penyerangan Bani Asad ibn Khuzauman, dan Nabi mengirim 150 pasukan dibawah
komando Abu Salamah ke sana. Pada waktu yang hampir sama, terdengar pula kabar
serangan dari Selatan, dan Nabi mengirimkan ‘Abd Allah ibn Unays untuk
mengalahkan kepala suku Lihyan, cabang Hudzayl. Beberapa bulan kemudian, enam
orang muslim yang sedang berdakwah diserang di Raji’, tiga diantaranya
berkelahi hingga meninggal, tiga lainnya ditangkap, dengan salah seorang
terbunuh saat hendak melarikan diri. Keduanya ialah; Khubayb min ‘Aws dan Zayd
min Khazraj, yang dijual kepada Quraysi, dan digiring keluar Mekah pada bulan
Shafar untuk dieksekusi. Setahun setelah kematian suaminya, Nabi melamar
Zaynab, anak Khuzaymah dari Badui suku ‘Amir, dimana Nabi kemudian mengutus
empat puluh sahabatnya dibawah pimpinan Mundzir ibn ‘Amr untuk berdakwah
dibawah jaminan Abu Bara’, kepala suku ‘Amir, di antara mereka adalah ‘Amir ibn
Fujayrah (bekas budak Abu Bakr, yang dipilih menemani ia dan Nabi ketika
hijrah). Abu Bara’ ternyata sedang mengalami cobaan di dalam sukunya sendiri,
dimana keponakannya membunuh salah seorang sahabat utusan, dan kemudian
menghasut dua kabilah suku Sulaym.
Bersama beberapa sahabat, Nabi pergi
menemui Bani Nadhir dalam rangka pembayaran diat, dimana dalam prosesnya Jibril
memberitahukan pada Nabi bahwa kaum Yahudi bermaksud untuk membunuhnya,
sehingga Nabi segera pulang ke Madinah dan kemudian mengutus Muhammad ibn
Maslamah untuk menyampaikan pesan pada Bani Nadhir. Atas desakan Ibn Ubayy dan
kepala suku mereka, Huyay, Bani Nadhir memutuskan untuk bertahan, sehingga Nabi
mengerahkan pasukan dan memberikan bendera kepada ‘Ali. Setelah sepuluh hari
pengepungan, Nabi memerintahkan penebangan pohon kurma di sekitar benteng,
sehingga Bani Nadhir pun memutuskan untuk menyerah.
Tak lama setelah tahun baru 626 M,
Fathimah kembali melahirkan seorang putra, dan Nabi menamakannya Husayn (Hasan
kecil). Pada saat yang sama, istri beliau, Zaynab (Sang Ibu kaum papa)
meninggal dunia, dimana Nabi kemudian menikahi Umm Salamah, empat bulan
sepeninggal suaminya. Dikarenakan musim kemarau, Abu Sufyan mengirimkan Nu’aym
untuk menggagalkan keberangkatan Nabi memenuhi tantangan Badr kedua, dimana
Nabi berkata; “Aku akan tetap berjuang, meskipun aku berangkat sendiri.” Nabi
berangkat bersama 1.500 tentara, dan telah delapan hari berada di Badr,
sementara kaum Quraisy telah membatalkan tantangannya. Pada awal tahun Hijriah,
Juni 626M, Nabi menanggapi kabar penyerangan sekutu Ghathafan dengan membawa
empat ratus pasukan ke dataran Najd, dimana dalam prosesnya Nabi menerima wahyu
petunjuk pelaksanaan shalat dalam keadaan darurat. Dalam prosesnya, terjadilan
peristiwa unta Jabir. Di bulan itu, Salman meminta nasehat pada Nabi, yang
membantu kemerdekaannya. Di bulan kedamaian lain di Madinah, Nabi memimpin
seribu orang menuju Dumat al-Jandal untuk mengalahkan kawanan perampok. Suatu
ketika, Nabi pergi ke rumah Zayd dan mendapati Zaynab menyambutnya dengan
riang, dimana beliau kemudian menerima wahyu bahwa Allah telah menikahkannya
dengan Zaynab (Q. 33: 40).
Kaum Yahudi Bani Nadhir menjalin
Kerjasama dengan kaum Quraysi, dengan mengajak suku nomad di Dataran Najd, dan
terkumpullah sepuluh ribu pasukan menuju Madinah, untuk berhadapan dengan kaum
muslimin berkekuatan tiga ribu pasukan. Mengikuti saran Salman, kaum Muslimin
membuat parit, dimana Nabi ikut bekerja. Dalam prosesnya, kaum Muslimin saling
mengingatkan satu sama lain, dan terjadilah kisah Jabir yang tertimbun batu dan
mengundang Nabi makan di rumahnya, juga kisah pemecahan batu yang bercahaya dan
kurma dari keponakan ‘Abd Allah ibn Rawahah.
Penggalian parit selesai dalam enam
hari, dan berkemah bersama tiga ribu pasukan di tempat yang ditentukan, dimana
pasukan Quraisy dan pasukan Ghataffan segera melancarkan serangan dibawah
pimpinan Abu Sufyan, namun terhenti mendapati adanya parit. Huyay menawarkan
diri sebagai duta Yahudi untuk menemui Ka’b ibn Asad, pemimpin Qurayzhah, agar
membatalkan perjanjian dengan Nabi. Mengetahui hal itu, Nabi mengirim Zubayr
untuk melakukan penyelidikan, diikuti dengan pengutusan Zayd beserta tiga ratus
pasukan berkuda untuk berpatroli dan bertakbir sepanjang malam. Ikrimah
berhasil melompati parit dengan kudanya, diikuti tiga orang lainnya, dan Ali
kemudian memenuhi tantangan Amr untuk berduel. Al-Qur’an melukiskan ketegangan
hari-jhari itu: Q. 33: 10-11, 20. Mendapati apa yang terjadi, Nu’aym menerima
Islam dan menemui Nabi untuk meminta izin memperdaya musuh. Selama tiga hari,
setelah shalat wajib, Nabi memanjatkan doa, dan turunlah Q. 39: 9. Nabi
kemudian mengirim Hudzayfah untuk melihat keadaan musuh dan mengizinkan
orang-orang kembali ke Madinah setelah kedatangannya.
Selepas shalat dhuhur, Nabi menerima
kedatangan Jibril dan memerintahkan kaum muslim agar tidak shalat ashar sebelum
tiba di wilayah Qurayzhah. Setelah 25 hari pengepungan, mereka meminta
berunding dengan Abu Lubabah, yang kemudian mengikatkan tubuhnya di salah satu
pilar masjid karena merasa telah mengkhianati Rasulullah selama 10 atau 15
hari. Bani Qurayzhah akhirnya membuka gerbang dan menyatakan tunduk pada
kedaulatan Nabi, yang memberikan keputusan pada Sa’d ibn Mu’adz, yang
memutuskan: “bahwa orang-orang itu harus dibunuh, harta benda mereka
dibagi-bagi, dan kaum wanita dan anak anak dijadikan tawanan.” Orang yang
terakhir mati karena disambar kilat, kemudian seorang lelaki tua, Zabir ibn
Batha. Sebagian besar tawanan telah ditebus oleh Bani Nadhir di Khaibar,
sementara Nabi memilih Rayhanah, yang kemudian menerima Islam, dan Nabi pun
melamarnya.
Di tempat perawatan di masjid, Sa’d
menerima kedatangan Nabi yang mendoakannya, dimana ia meninggal 1-2 jam
kemudian. Umm Salamah memberitahu Abu Lubabah bahwa Allah telah mengampuninya
dan Nabi pun melepaskan ikatannya, dimana Abu Lubabah kemudian menyerahkan 1/3
hartanya sebagai pembebasan. 5 bulan kemudian, Rasulullah mengutus Zayd dan
seratus pasukan untuk menghadang kafilah Quraysi dari Suriah, dimana Abu al-Ash
(menantu Nabi) berhasil lolos dan pergi menemui Zaynab.
Keberhasilan Zayd membuat Quraysi
menghasut Bani Mushthaliq untuk melancarkan serangan ke Madinah, dimana Nabi
terlebih dahulu mendatangi mereka. Dalam prosesnya, perseteruan terjadi di
antara kaum muslimin, hal ini terutama dikarenakan adanya orang-orang munafik
seperti Ibn Ubayy. pemimpin Khazraj. Rasulullah pun segera memerintahkan untuk
membongkar kemah, dimana surat al-Munafiqun turun setelah Nabi
berbincang-bincang dengan Sa’d ibn ‘Ubadah, dan Abd Allah (putra Ibn Ubayy)
pergi menemui Nabi untuk mendapatkan perintah eksekusi atas sang ayah.
Aisyah dan Umm Salamah menemani Nabi
dalam ekpedisi, dimana dalam prosesnya terjadi kisah hilangnya kalung Aisyah
dan diturunkannya wahyu tayammun (Q. 4: 23). Di tempat perberhentian terakhir
sebelum sampai di Madinah, kalung Aisyah kembali hilang, dan ia pun pergi
mencarinya hingga ketinggalan rombongan, dimana Shafwan ibn al-Mu’attal
mengawalnya kembali, dan skandal pun terjadi di Madinah. Harta rampasan perang
dibagikan, dan Juwayriyah binti Harits menerima tawaran Nabi untuk menebus dan
menikahinya, dimana sebelum pernikah berlangsung Harits datang untuk menebus
putrinya itu.
‘Aisyah jatuh sakit dan fitnah
diembuskan orang-orang munafik tentang dirinya dan Shafwan, dan ‘Aisyah meminta
izin untuk dirawat di rumah orangtuanya. 20 hari kemudian, kabar tersebut pun
sampai pada ‘Aisyah melalui Misthah, dan ‘Aisyah pun banyak menangis. Sementara
itu, Nabi bertanya pada orang-orang terdekat ‘Aisyah, dan Usamah memberikan
pembelaan tegas, dimana Nabi kemudian memberikan pembelaan di atas mimbar
setelah menanyai pembantu ‘Aisyah sesuai nasehat Ali. Menanggapi penuturan
Nabi, ‘Aisyah menangis dan membacakan Q. 12: 18, kemudian turunlah Q. 24: 11,
15-17 yang menjawab seluruh pertanyaan. Hal ini diikuti dengan turunnya Q. 24:
22 mengenai seorang yang memfitnah dan telah dihukum setelah mengakui
kesalahannya.
Suatu malam Nabi bermimpi: dengan
kepala bercukur, beliau memasuki Ka’bah, dan kuncinya berada di genggamannya,
dimana beliau menceritakan mimpi tersebut dan mengajak para sahabat untuk
umrah. Nabi menolak membawa senjata, dimana di perhentian pertama; beliau
menandai hewan kurban dan mengutus seorang lelaki dari Khuza’ah untuk
menyelidiki reaksi kaum Quraisy. Beliau mengenakan baju ihram dan mengucapkan;
Labbayk Allahumma Labbayk. Setibanya di ‘Usfan, untuk menghindari Khalid dan
pasukannya, Nabi melalui jalan lain hingga tiba di Hudaybiyah, dimana Qashwa’
(unta kesayangan beliau) tidak mau beranjak. Nabi pun memerintahkan untuk
berkemah di sana, dimana beliau memanggil Najiyah dalam rangka mengatasi
kekurangan air melalui mukjizat. Setelah memuaskan dahaga, jamaah menerima
berkat dari dua kepala suka Badui, suku Khuza’ah, dan salah satu pemimpin
mereka, Budayl ibn Warqa’, pergi menemui Nabi dan menyampaikan pesan beliau
pada kaum Quraisy, yang kemudian menerima tawaran ‘Urwah, disertai Ahabisy
(Hulays dari Bani Harits), yang ternyata langsung kembali sebelum menemui Nabi
setelah melihat hewan-hewan qurban. Sementara ‘Urwah berada di perkemahan,
Rasulullah mengutus seorang Ka’b bernama Khirasy sebelum kemudian mengutus
‘Utsman ibn Affan.
Selama ‘Utsman berada di Mekah,
Rasulullah memerintahkan agar orang-orang berbaiat, dan Suhayl tiba sebagai
utusan Quraysi untuk menandatangani perjanjian dengan Nabi. Mendapati hasil
perjanjian, para sahabat hampir tidak dapat menahan diri, diikuti dengan
kedatangan Abu Jandal, dan ‘Umar pun mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap
Nabi. Setelah kepergian Suhayl, Nabi memerintahkan jamaah untuk menyembelih
kurban dan memotong rambut, namun mereka hanya berdiam diri hingga Nabi
menyembelih sendiri kurbannya. Dalam perjalanan kembali ke Madinah, turunlah Q.
48: 1, sehingga perjanjian tersebut dikenal sebagai Perjanjian Ridhwan. Adapun
mimpi Nabi yang menginspirasi perjalanan tersebut mengacu pada Q. 48: 27.
Peristiwa Abu Basyir tak lama
setelah kembalinya Nabi dari Hudaybiyah, membuat banyak tawanan melarikan diri
dari Mekah menuju tempat Abu Basyir, yakni di pesisir Laut Merah. Keberadaan
tersebut meresahkan kaum Quraisy, yang kemudian meminta Nabi untuk menerima
mereka di Madinah. Dalam prosesnya, saudara tiri Utsman, Umm Kultsum, juga
melarikan diri dari Mekah, dan Nabi menolak menyerahkannya. Pada bulan
berikutnya, Umm Ruman jatuh sakit dan wafat, mengarahkan Abd al-Ka’bah masuk
Islam. Empat bulan sepeninggal suaminya, Nabi mengirimkan pesan kepada Negus
untuk melamar Umm Habibah, putri Abu Sufyan. Dalam prosesnya, Nabi juga
mengirimkan surat pada raja-raja lainnya, termasuk Yaman yang menerima melalui
utusan dan Kisra yang menolak dengan tegas. Pada minggu-minggu yang sama, Nabi
terkena jampi dan mengajarkan ilmunya pada sang putri karna cemas, dimana
beliau kemudian mendapatkan mimpi yang dibenarkan oleh Jibril, diikuti dengan
turunkan Q.113 dan Q.114, yang dikenal sebagai “dua yang melindungi”.
Karena Nabi telah yakin pada janji
kemenangan yang dekat yang disebut di dalam al-Qur’an—tidak lain menaklukkan
Khaybar, tanpa melibatkan orang-orang Badui. Kabar tersebut menggembirakan kaum
Quraisy dan musuh-musuh Islam, sementara orang-orang Khaybar tidak memercayai
kabar tersebut karena kepercayaan diri mereka, hingga kepastian tiba dan mereka
mendapatkan bantuan dari Ghathfan (10.000 + 4.000 melawan 1.600). Dalam
perjalanannya, Nabi memberikan jubahnya pada Abu Abs dan memerintahkan Ibn
Al-Akwa’ menyanyikan lagu-lagu. Nabi dan pasukannya tiba di depan Benteng
Khaybar pada malam hari, dan mengejutkan orang-orang Khaybar di pagi harinya,
dimana mereka memutuskan untuk bertahan di dalam benteng. Setelah beberapa hari
tanpa kemajuan, Umar berhasil menangkap seorang mata-mata pada malam keenam,
mengarahkan kaum muslimin mendapatkan peralatan untuk menaklukkan benteng, dan
setibanya di Benteng Na’im, Nabi menyerahkan bendera kepada Ali. Setelah
menaklukkan Benteng Zubayr, tersisa Benteng Qamus milik keluarga Kinanah, yang
kemudian melakukan kesepakatan setelah empat belas hari bertahan. Hal ini
diikuti oleh dua benteng yang tersisa, dimana kemudian kaum Yahudi Khaybar
meminta untuk tinggal dengan membayar upeti, dan hal ini diikuti oleh kaum
Yahudi Fadak. Dalam peristirahatan, Nabi menerima hadiah daging domba muda
(yang diracun) dari janda Sallam ibn Misykam, menewaskan Bisyr bin Barra’,
namun Nabi memaafkannya. Adapun Shafiyyah binti Huyay (janda Kinanah), Nabi
menikahinya setelah mendengarkan mimpinya. Nabi melintasi jalur barat dan
mengepung Yahudi Wadi al-Qura, yang menyerah setelah tiga hari dengan
syarat-syarat yang sama. Ibn al-Akwa’ terbunuh di Khaybar, sementara Karkalah
(budak hitam Nabi) terbunuh di Wadi al-Qura; dimana Nabi mengungkapkan bahwa ia
tengah terbakar di neraka. Beliau bersabda: “Sesungguhnya kalian berada pada
suatu zaman yang siapa saja mengabaikan sepersepuluh dari hukum akan dikutuk.
Namun, akan datang suatu zaman ketika siapa saja yang memenuhi sepersepuluh
dari hukum akan diselamatkan.”
Rasulullah menyambut hangat
kedatangan Ja’far dan sahabat-sahabatnya, yang telah 13 tahun di Abyssinia.
Mengetahui kecantikan Shaffiyah, ‘Aisyah sempat dilanda cemburu, dimana
beberapa tahun kemudian ia menuturkan; “Aku tidak pernah cemburu kepada istri-istri
Nabi yang lain sebagaimana aku cemburu kepada Khadijah.” Di antara para istri
Nabi yang masih hidup, ‘Aisyahlah yang paling dicintai Nabi, hal ini ditegaskan
dengan kisah pemberian hadiah kepada Nabi yang menunggu beliau berada di rumah
‘Aisyah. Beliau juga mencintai cucu-cucunya: “Yang paling kucintai dari
keluargaku adalah Hasan dan Husayn.”
Setelah penaklukan Khaybar, terjadi
enam kali ekspedisi kecil, salah satunya melawan Bani Murrah, dimana Usamah
(17th) ikut serta, dan Rasulullah mempertanyakan perbuatannya (QS. 4: 94).
Bulan-bulan relatif berjalan damai, dengan kekayaan dari kebun Hijaz yang
menimbulkan persoalan tertentu. Mengetahui apa yang terjadi, Umar pergi menemui
sepupunya (istri Nabi), Umm Salamah, yang memberikan jawaban tegas. Muqawqis,
Raja Mesir, menolak ajakan Nabi, namun mengirimkan banyak hadiah, termasuk
Mariyah dan Sirin, dimana Nabi menikahi Mariyah. Hal ini memicu kecemburuan
pada istri-istri Nabi, terutama Hafshah dan Aisyah, sehingga turunlah surah
at-Tahrim, dan beliau menyendiri di sebuah beranda beratap. Berita segera
menyebar di Madinah bahwa beliau telah menceraikan istri-istrinya, Umar pun
segera pergi menemui Hafshah, yang tengah menangis, dan kemudian meminta izin
untuk menemui Nabi. Mendapati jawaban Nabi, Umar bertakbir, dimana Nabi
kemudian mengungkapkan pada istri-istrinya bahwa beliau akan menemui mereka setelah
satu bulan, dengan sebuah pilihan: QS. 33: 28-29.
Setahun setelah perjanjian
Hudaybiyah, Nabi bersama dua ribu jamaah melaksanakan umrah, dimana kaum
Quraisy mengosongkan kota. Mengikuti Nabi, para jamaah menyerukan “labbayk”,
Nabi kemudian menyilangkan jubahnya di pundak kiri setibanya di masjid, beliau
menuju sisi tenggara Ka’bah dan menyentuh Hajar Aswad, mengitari Ka’bah tujuh
kali, lalu menuju bukit Shafa dan Marwah, menyembelih seekor unta dan mencukur
rambut. Tidak diizinkan memasuki Ka’bah, Nabi memerintahkan Bilal
mengumandangkan adzan di atasnya. Selama tiga hari di sana, Nabi menikahi
Maymûnah, dan pernikahan dilangsungkan di Sarif. Setelah Hudaybiyah, Khalid
menyadari kebenaran Nabi, sehingga ia dilanda kegundahan, dan datangnya mimpi,
mengarahkannya pergi menemui Nabi, ditemani oleh Utsman ibn Thalhah, dimana Amr
ikut serta setelah pergi ke Negus. Aqil dan Juhayr juga masuk Islam. Tahun ini
(8H) putri Nabi, Zaynab, meninggal, dan Mariyah mengandung.
Tiga bulan setelah umrah, Nabi
mengirim lima belas pendakwah ke perbatasan Suriah, dimana mereka dihujani
dengan panah, juga dibunuhnya seorang pendakwah oleh kepala suku Ghassan. Nabi
mengerahkan tiga ribu pasukan dibawah pimpinan Zayd, lalu Ja’far, lalu ‘Abd
Allah, yang kemudian harus berhadapan dengan seratus ribu kekuatan (termasuk
prajurit kaisar). Mengikuti arahan Zayd, pasukan mundur ke Mut’ah dimana perang
berkecamuk, dan Nabi menerima penglihatan atas apa yang terjadi. Kekalahan di
Mut’ah memicu orang Arab Utara memperkuat perlawanan terhadap Islam, dan Nabi
mengutus Amr mengepalai tiga ratus pasukan. Sementara itu, Heraklius bermimpi
menyaksikan kejayaan kerajaan seorang pria yang dikhitan, dimana ia kemudian
mempertanyakan perihal diri Nabi pada Abu Sufyan, diikuti dengan kedatangan
surat dari Nabi.
Mendapati sikap Quraisy perihal
perseteruan Bani Bakr dan Bani Khuza’ah, Nabi memberikan keputusan tegas,
dimana Abu Sufyan datang ke Madinah untuk menjaga perjanjian gencatan senjata.
Nabi kemudian melakukan kampanye, mengarahkan Hathib mengirimkan pesan ke Mekah
(namun digagalkan). Pada bulan Ramadan, bersama dengan sepuluh ribu orang, Nabi
keluar dari Madinah dan memerintahkan orang-orang berbuka setibanya di Marr
al-Zhahran. Dalam prosesnya, Nabi bertemu dengan Abbas dan Umm al-Fadhl, juga
‘Abd Allah dan Harits. Mendapati adanya sepuluh ribu perapiran, Quraysi kembali
mengirim utusan; Abu Sufyan, Hakim, dan Budayl, dimana ketiganya kemudian
menyatakan keislaman mereka.
Abu Sufyan kembali ke Mekah dengan
melihat kehebatan pasukan Nabi, dan ia pun segera memberikan peringatan.
Pasukan berhenti di Dzu Thuwa, dimana Nabi menunjuk Khalid sebagai komandan
sayap kanan dan Zubayr di sayap kiri, dengan pasukannya sendiri yang dibagi
dua. Pertempuran berlangsung tenang kecuali di tempat Khalid, dimana Nabi
memenuhi permintaan Umm Hani’. Beliau berwudhu dan shalat delapan rakaat,
beristirahat sekitar satu jam, lalu menyentuh hajar aswad diikuti dengan
bertakbir, diikuti dengan thawaf tujuh kali, lalu berkeliling Ka’bah menuju
berhala-berhala (360) dengan mengulang-ulang Q. 17: 81. Beliau menyerahkan
kunci Ka’bah pada Utsman bin Thalhah, masuk ke dalamnya dan memerintahkan untuk
menghapus gambar-gambar. Penduduk Mekah bergabung menyaksikan, dan Nabi
membacakan Q. 12: 92.
Khawatir atas nasib kuil al-‘Uzza,
Hawazin mengerahkan dua ribu tentara dengan membawa seluruh harta meraka di
lembah Awthas dibawah pimpinan Malik, yang mendapati mata-matanya kembali dalam
kondisi aneh. Pasukan Khalid yang berada di bagian depan, terkejut dan
kalang-kabut mendapati serangan mendadak pasukan Hawazin, dan Nabi berusaha
menghimpun kembali pasukan dengan bantuan ‘Abbas, diikuti dengan doa (Q. 9:
25-27) [Perang Hunayn]. Nabi mengangkat Budayl untuk membawa harta rampasan ke
Lembah Ji’ranah, dimana salah satu tahanan mengaku sebagai saudara Nabi;
Syayma. Setengah bulan berlalu dalam pengepungan Tsaqif tanpa kemajuan berarti,
sehingga Napi pun menghentikan pengepungan.
Di Ji’ranah, terdapat enam ribu
wanita dan anak-anak, 24.000 unta, dan 40.000 ekor domba dan kambing. Turunnya
Q. 9: 60, mengarahkan Rasulullah memberikan harta rampasan pada para muallaf,
sebagaimana Abu Sufyan, Shafwan, dan Suhayl. Delegasi Hawazin tiba dan Nabi
menyambut mereka dengan hangat, diikuti pesan untuk pemimpin mereka, Malik.
Mendapati hal itu, muncul keluhan di kalangan kaum Anshar, sehingga Nabi
mengumpulkan mereka dan berpidato; “---Apakah kalian tidak berbahagia, orang
lain membawa domba dan unta, sementara kalian membawa Rasulullah ke rumah
kalian?!”
Dari Ji’ranah, Nabi melaksanakan
umrah dan kembali ke Madinah, dimana beliau menerima ke-Islam-an Urwah, yang
kembali ke Tsaqif untuk memperingati kaumnya meskipun telah menerima peringatan
dari Nabi (QS. 36). Banyaknya orang masuk Islam, membuat Ka’ab khawatir dan
ikut masuk Islam, dimana dia dipakaikan jubah oleh Nabi disebabkan syairnya.
Dengan bantuan Salma, anak Mariyah lahir, dan Nabi memberinya nama Ibrahim.
Dalam prosesnya, Nabi mengirim pasukan dibawah kepemimpinan Ali untuk
menaklukkan suku Thayy, dimana Nabi membebaskan putri Hatim, menerima
ke-Islam-an saudaranya, Adi, dan mengukuhkannya sebagai kepala suku Thayy.
Setelah perang Hunayn, Kaisar
Heraklius mengembalikan salib suci ke Yerussalem, dimana ia kemudian bermaksud
menyerahkan Suriah kepada Nabi sebagai perjanjian damai. Nabi sendiri
mengumpulkan seluruh pasukan (30.000) menuju Suriah (Oktober 630M), dengan meninggalkan
Ali untuk menjaga keluarganya. Dalam prosesnya, Nabi tidak juga datang untuk
shalat shubuh, sehingga jamaah menunjuk Abd Rahman ibn Auf sebagai imam.
Setibanya di Tabuk, Nabi mencuci tangan dan mukanya dengan sisa air yang ada di
sana, dimana sumber air kemudian memancar tanpa henti. Mereka tinggal di sana
selama dua puluh hari, dimana Nabi membuat perjanjian damai dengan kaum Kristen
dan Yahudi yang tinggal di Teluk ‘Aqabah dan di sepanjang pesisir timur.
Sekembalinya dari Tabuk, Nabi
diliputi kesedihan dengan meninggalnya Umm Kultsum, dimana beliau mengusir tiga
orang mukmin yang tidak ikut berperang hingga turun Q. 9:118. Di bulan yang
sama (Ramadhan), delegasi Thaif datang untuk menerima Islam dan membuat
perjanjian. Dalam kematian Ibn Ubayy, Nabi meshalatinya dan menerima teguran
dari Umar, sehingga Nabi membacakan Q. 9: 80. Tibanya waktu haji, Nabi menunjuk
Abu Bakar sebagai wakil, yang berangkat dari Madinah bersama tiga ratus orang,
dimana Ali kemudian menyusul untuk menyampaikan pesan Nabi. Tahun berikutnya,
terdapat utusan dari kaum Kristen Najran, dan turunlah Q. 3: 59-61. Kebahagiaan
pada awal bulan tahun berakhir dengan sakitnya Ibrahim, dan Nabi menangisi
kematiannya, dimana gerhana matahari terjadi tak lama setelah pemakaman.
Banyak orang masuk Islam, dan
turunlah Q. 49: 14 yang mengungkapkan adanya tingkat Iman, dengan empat tingkat
pencerahan (Q. 24: 35), tiga golongan
(Q. 59: 21). Nabi pun bersabda; “Allah mengangkat derajatmu bukan melalui
banyaknya shalat dan berpuasa, namun berdasarkan kebaikan hatimu,” dimana
pengilap hati ialah mengingat Allah.
Nabi mengungkapkan bahwa
generasinyamerupakan umat yang terbaik, lalu setelahnya, lalu setelahnya.
Mendapati beberapa orang mukmin menjual peralatan perang mereka, Nabi
mengungkapkan bahwa umatnya akan terus berjuang demi kebenaran hingga munculnya
Dajjal. Nabi juga meramalkan munculnya al-Mahdi, Dajjal, dan Isa putra Maryam,
juga dibangunnya gedung-gedung pencakar langit sebagai tanda-tanda kiamat.
Di Bulan Ramadhan ini Nabi
mengungkapkan pada Fathimah bahwa ia membacakan al-Qur’an dua kali di hadapan
Jibril, dimana beliau kemudian melaksanakan Ibadah Haji bersama 30.000 jamaah.
Dalam prosesnya, istri Abu Bakar; Asma’, melahirkan seorang anak yang diberi
nama Muhammad. Sepuluh hari kemudian, beliau memasuki Makkah dan berdoa (hingga
tali untanya jatuh) di dekat Ka’bah. Setelah bermalam di Mina, beliau menuju
Arafah dan berpidato di sana, mengungkapkan umatnya untuk berpegang teguh pada
al-Qur’an dan Sunnah, diikuti dengan pembacaan Q.5: 3. Keesokan paginya, beliau
bersegera menuju Muzdalifah untuk bermalam dan melempar jumrah, lalu bermalam
di Mina. Ali kemudian tiba bersama tiga ratus pasukan berkuda untuk ikut
melaksanakan haji. Tak lama sekembalinya ke Madinah, Nabi menerima surat
Musaylimah dari Yamamah, diikuti dua pengakuan lainnya, dimana Nabi kemudian
mengangkat Usamah ibn Zayd untuk memimpin tiga ribu pasukan menuju Suriah.
Mendekati kematian, Nabi (63th)
seringkali berbicara tentang surga, dimana hanya ada sedikit uban di rambut
hitamnya. Suatu malam, Nabi mengajak Abu Muwayhibah menemaninya menuju
pekuburan di Baqi’, dimana di sana beliau menerima tawaran. Keesokan paginya,
Nabi yang menderita sakit tetap mengimami shalat, mengungkapkan keutamaan Abu
Bakar dan kekhawatirannya perihal perlombaan kaumnya dalam meraih kejayaan
duniawi. Beliau bermalam di rumah Maymunah, yang menjadi gilirannya, lalu
kemudian bermalam di rumah Aisyah dikala penyakit semakin parah. Mengetahui
kritikan perihal kepemimpinan Usamah, Nabi meminta air dari tujuh sumur yang
berbeda dan kemudian memberikan nasehat. Tak lagi mampu mengimami shalat, Nabi
dengan tegas memerintahkan Aisyah memberitahu Abu Bakar untuk menjadi imam.
Esok paginya, Senin 12 Rabiulawal 8H (8 Juni 632M), demam Nabi menurun dan
beliau pergi shalat di masjid, kemudian kembali ke pangkuan ‘Aisyah dan
bergumam Q. 4: 69 sebelum meninggal dunia.
Kabar kematian Nabi segera menyebar,
dan Umar bersikeras berpidato bahwa Nabi tidaklah meninggal hingga Abu Bakar
tiba dan berpidato (Q. 3: 144). Di balai pertemuan, Sa’d ibn ‘Ubaydah merasa
layak menjadi pemegang kekuasaan hingga Abu Bakar dan Umar tiba memberikan
sanggahan, dimana Umar kemudian berbaiat mendukung Abu Bakar. Dalam proses
pemakaman, orang-orang tertidur dan mendengar suara; “Basuhlah Nabi dengan
pakaian yang dimilikinya”, dimana Abu Bakar kemudian mengungkapkan bahwa para
Nabi dimakamkan di tempat mereka meninggal.
Terimakasih atas Pembelian Buku Original-nya!!
Note:
- dikhususkan bagi yang sudah membaca bukunya [sebagai pengingat].
- bagi yang belum membaca bukunya, amat sangat disarankan untuk membacanya [jika tertarik], sebab penulis memiliki cara penyampaiannya seorang penyair.