Friday, October 25, 2024 0 comments

Sinopsis "Muhammad - Martin Lings" Bahasa Indonesia

 Muhammad
by: Martin Lings (Abu Bakr Siraj al-Din)

Ibrahim tidak memiliki anak dan tak ada harapan lagi untuk memilikinya, sehingga Sarah (76) mengizinkan suaminya (85) menikahi Hajar (budaknya asal Mesir). Menjadi sasaran kecemburuan Sarah, Hajar memohon pertolongan Tuhan dan dikaruniai Isma’il (Tuhan telah mendengar), begitu juga Sarah yang dikaruniai Ishaq di usia 90 tahun. Atas keinginan Sarah, Hajar dan Ismail pun pergi dan tiba di lembah tandus Arab, Bakkah. Dalam keadaan putus asa (antara Shafa dan Marwah), Allah memberikan pertolongan dengan memancarnya mata air (Zamzam) dari gundukan pasir yang disentuh tumit Isma’il. Dengan pertolongan Tuhan, Ibrahim pun mengunjungi Hajar dan Isma’il, dan membangun rumah suci (Ka’bah) diikuti dengan ritus menunaikan ibadah haji, dimana Ibrahim kemudian berdoa di Kanaan.

Baitullah menjadi tempat kemuliaan bagi keturunan Ishaq dan Isma’il hingga panganisme memengaruhi peribadatan keturunan Isma’il yang berkembang pesat dan tak lagi cukup untuk tinggal di Mekkah. Dengan tidak adanya akses ke sumur Zamzam, orang-orang Jurhum mengangkat diri mengurus Mekah dan membuka sumur Zamzam, namun disertai kesewenang-wenangan, sehingga Khuza’ah mengambil alih tanpa akses ke sumur Zamzam, diikuti dengan mengulang kesalahan Jurhum.

Dengan kematian Hulayl, pemimpin Khuza’ah, Qushay, menantunya dari suku Quraisy, menjadi pemimpin Mekkah sekaligus penjaga Ka’bah. Semuanya berjalan harmonis hingga Qushay lebih memilih putra pertamanya, ‘Abd al-Dar, dibandingkan ‘Abd Manaf yang mumpuni, dimana Hasyim (putra ‘Abd Manaf yang terkemuka) menuntut pengalihan pemerintahan. Kesepakatan antara Hasyim dan keturunan ‘Abd al-Dar terjalin, dimana Hasyim yang menikahi Salma dari suku Khazraj, Yatsrib, tidak hidup lama, sehingga Muththalib (saudara Hasyim) melanjutkan tugas Hasyim (mengatur persediaan air bagi jemaah haji serta memungut pajak makan) dan membawa ‘Abd al-Muththalib (putra Hasyim dan Salma) ke Mekah.

‘Abd al-Muththalib sangat suka berada di dekat Ka’bah dan seringkali berbaring di Hijr Isma’il, dimana ia kemudian mendapati sosok bayangan yang berkata: “Galilah Zamzam”--- Galilah ia, maka engkau tak akan pernah menyesal, Karena ia pusaka yang amat kaya, Dari nenek moyangmu yang paling luhur, Ia tidak akan pernah kering, tidak juga berkurang, Dalam memenuhi semua kebutuhan jamaah haji. Setelah memanjatkan doa yang diajarkan, ‘Abd al-Muththalib mengikuti burung-burung menuju tempat penyembelihan Qurban dan melakukan penggalian ditemani Harits meskipun protes dari kaum Quraisy berdatangan hingga harta karun peninggalan Jurhum ditemukan, diikuti undian panah, sehingga Bani Hasyim pun bertanggung jawab atas Zamzam.

Kekhawatiran menimpa ‘Abd al-Muththalib karena hanya memiliki seorang putra, sehingga ia bernazar: bila dikaruniai sepuluh anak laki-laki yang tumbuh hingga dewasa, ia akan mengorbankan satu di antaranya bagi Tuhan di Ka’bah. Doanya dikabulkan dan penunaian nazar pun dilakukan dengan anak panah, dengan nama ‘Abd Allah (si bungsu) yang keluar. Sang ibu, Fatimah, dari Bani Makhzum, dan keluarga dekat, berusaha membujuk ‘Abd al-Muththalib, juga Mughirah yang menyarankan untuk menemukan penggantinya. ‘Abd al-Muththalib berkonsultasi pada seorang wnaita bijak di negeri kelahirannya, Yatsrib, mengarahkannya untuk mengundi ‘Abd Allah beserta 10 ekor unta, hingga mencapai 100 ekor unta, diakhiri dengan tambahan 30 ekor unta.

Sebagaimana ‘Abd al-Muththalib yang tidak menyebh Hubal; selalu menyembah Tuhan---Allah, Ada---dan memang selalu ada---sejumlah orang yang menegakkan agama Ibrahim secara murni. ‘Abd al-Muththalib mengenal empat orang hanif, salah satunya ialah Waraqah, yang memiliki saudara perempuan bernama Qutaylah. Setelah pengorbanan dilaksanakan, ‘Abd al-Muththalib menikahkan ‘Abd Allah dengan Aminah, putri Wahab, pemimpin Bani Zuhrah. Dalam perjalanan ke kediaman bani Zuhrah, Qutaylah yang terpesona akan ‘Abd Allah, menawarkan diri sebagai istri. Pernikahan tersebut berlangsung di tahun 569 M.

Sebagai gubernur Abyssinia, Abrahah membangun katedral megah di Shan’a dengan tujuan menyaingi Mekah. Kabar itu mengundang kemarahan, hingga seseorang dari suku Kinanah meruntuhkan gereja tersebut. Abrahah pun bersumpah untuk menghancurkan Ka’bah, dengan Nufayl (pemimpin kelompok penghalang) sebagai penunjuk jalan. Setibanya di Tha’if, orang-orang Tsaqif memberi penunjuk jalan demi keselamatan kuil mereka, al-Lat, yang meninggal dalam perjalanan (Mughammis). Mewakili suku Quraisy, ‘Abd al-Muththalib memenuhi undangan Abrahah di kemah pasukan Abyssinia untuk meminta kembali dua ratus ekor untanya disertai ungkapan: “Ka’bah ada pemiliknya sendiri yang akan melindungi”, diikuti doa di pintu Ka’bah: “Ya Allah, hamba-hamba-Mu melindungi rumahnya, maka lindungilah rumah-Mu ini!”. Keesokan harinya, Abrahah berangkat memasuki kota hanya untuk mendapati gajah di barisan terdepan beranjak duduk, diikuti dengan kedatangan ribuan burung yang masing-masing membawa tiga batu kecil membara. Di saat yang sama, ‘Abd Allah yang pergi berdagang ke Palestina dan Suriah, jatuh sakit di Yatsrib dan meninggal dunia, dimana putra ‘Abd Allah yang masih dalam kandungan menjadi pelipur lara bagi Aminah.

Sudah kebiasaan seluruh keluarga besar Arab kota untuk mengirimkan anak-anak mereka diasuh suku Badui hingga disapih, dimana tak seorang pun dari Bani Sa’ad ibn Bakr, suku Hawazin, yang bersedia mengasuh putra Aminah hingga Halimah dan Harits (pasangan termiskin dari suku tersebut) memutuskan untuk mengasuhnya saat rombongan hendak kembali. Dalam prosesnya, Halimah mendapati keberkahan menimpa keluarganya; air susu yang berlimpah. Saat melakukan penyapihan, Halimah pun meminta dengan sangat pada Aminah untuk tetap mengasuh Muhammad, dimana beberapa bulan kemudian terjadilah peristiwa pembelahan dada.

Aminah dengan tenang menerima sang putra, Muhammad, setelah mendapati penuturan Halimah. Ketika berusia enam tahun, Aminah mengajak Muhammad mengunjungi seorang kerabat di Yatsrib (keluarga Khazraj), dimana dalam perjalanan pulang Aminah jatuh sakit dan meninggal dunia di Abwa’. Muhammad pun diasuh oleh kakeknya, Abd al-Muththalib, yang begitu membanggakan sang cucu melalui perkataan: “Masa depan cucuku ini sungguh gemilang”. Dua tahun kemudian, sang kakek wafat dan memercayakan Muhammad pada Abu Thalib, saudara kandung sang ayah.

Dengan sedikitnya warisan, Abû Thâlib hidup miskin, sehingga kemenakannya bekerja sebagai pengembala domba dan kambing. Suatu ketika, saat Muhammad berusia 9/12 tahun, ia ikut bersama kafilah saudagar pamannya ke negeri Suriah. Di Boshra, Pendeta Bahîra yang kagum menyaksikan pertanda alam (gumpalan awan dan pohon) yang menimpa kafilah tersebut, mengundang mereka untuk jamuan makan, mengarahkan sang Pendeta yakin atas kerasulan Muhammad dan meminta kafilah tersebut untuk kembali ke Mekkah demi keselamatan Muhammad dari kaum Yahudi.

Tahun-tahun berikutnya, kaum Quraisy tidak terlibat dalam pertempuran kecuali konflik hebat yang terjadi secara sporadis dan sebentar-sebentar (3-4th / 5 hari), dimana dalam prosesnya Muhammad dipuji atas kemampuannya sebagai pemanah. Tanpa sistem hukum, ketidakadilan pun dipertanyakan, hingga peristiwa kecurangan Bani Sahm pada seorang pedagang dari pelabuhan Yemeni mengarahkan diadakannya perjanjian kehormatan di rumah ‘Abd Allah ibn Jud’an.

Melewati usia 20-an, Muhammad meminta izin pada Abu Thalib untuk menikahkan putrinya, Fakhitah (yang kemudian dikenal sebagai Umm Hani’), namun Abu Thalib memiliki rencana lain. Muhammad memenuhi tawaran Khadijah putri Khuwaylid (salah seorang saudagar terkaya di Mekah) untuk membawa dagangan ke Suriah ditemani oleh Maysarah, dimana Khadijah kemudian tertarik pada Muhammad dan berkonsultasi pada Nufaysah. Pernikahan pun dilangsungkan, dengan mahar dua puluh ekor unta betina.

Muhammad tinggal di kediaman sang istri, Khadijah, yang melahirkan dua putra (Qasim, Abd Allah) dan empat putri (Zaynab, Ruqayyah, Ummu Kulsum, Fathimah). Pada hari pernikahan, Muhammad memerdekakan Barakah dan menerima hadiah seorang budak bernama Zayd dari sang istri. Mengetahui keberadaan Zayd, sang ayah, Haritsah dari suku Kalb, melakukan penebusan, namun Zayd memilih untuk tetap bersama Muhammad, yang kemudian mengangkatnya sebagai anak. Di musim paceklik, Muhammad membantu meringankan beban sang paman, Abu Thalib, dengan mengasuh Ali.

Ketika Muhammad berusia 35 tahun, Quraysi memutuskan membangun kembali Ka’bah dengan menggunakan kapal pedagang Yunani dan bantuan seorang Koptis ahli memahat kayu. Dengan perginya ular besar, Walid bin Mughirah memulai pengangkatan batu yang diikuti orang-orang dengan membiarkan fondasi dua batu bundar kehijauan. Mereka menemukan tulisan di pojok Hajar Aswad dan di dalam maqam Ibrahim, dimana perselisihan peletakan kembali Hajar Aswad terjadi hingga Muhammad dipercaya untuk tugas tersebut.

“Mimpi yang benar” mengarahkan Muhammad melakukan penyendirian spiritual (tahannuts) di sebuah gua di Bukit Hira’. Menjelang akhir Ramadhan, dalam usia keempat puluh, malaikat (Jibril) datang dalam rupa manusia membacakan Q. 96: 1-5. Muhammad yang dilanda kekhawatiran, segera pulang, dimana penegasan Khadijah dan Waraqah diikuti wahyu kedua. Masa bungkam kembali meresahkan Muhammad hingga turun Q. 93: 1-11.

Setelah Khadijah, yang mula-mula memeluk Islam adalah Ali (10th), Zayd, dan sahabat Nabi, Abu Bakar. Di antara pemeluk Islam pertama ialah Abd Amr (Abd al-Rahman) dan Abu Ubaydah, Khalid bin Sa’id, Utsman dan Thalhah, juga Abd Allah ibn Mas’ud. Islam telah dibangun berdasarkan penyucian ritual dan salat, diikuti Q. 59: 21, 74: 1-10, 73: 1-5, dimana para pemeluk Islam pertama memandang perintah yang ditujukan kepada Nabi berlaku bagi diri mereka juga.

Setelah turunnya ayat, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat” (Q. 26: 241), Nabi mengumpulkan Bani ‘Abd al-Muththalib dalam jamuan makan. Tak sempat berbicara karena Abu Lahab, Nabi kembali mengadakan jamuan dan menyampaikan risalahnya. Mendapati penuturan Nabi perihal Umm Ayman, Zayd pun menikahinya.

Setelah pertumpahan darah pertama dalam Islam, tokoh-tokoh Quraisy meminta bantuan Abu Thalib, dimana Nabi menjawab: “Aku bersumpah, demi Tuhan! Sekalipun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan meninggalkan dakwah ini sebelum Allah memenangkannya atau aku terbunuh karenanya.” Mengetahui hal itu, Quraisy menata barisan mengorganisasi penyiksaan terhadap pemeluk Islam yang tidak memiliki pelindung. Tibanya musim haji, mengarahkan kaum Quraisy menjuluki Muhammad sebagai tukang sihir, disertai peringatan pada orang-orang yang datang. Meski begitu, Abu Dzar dari Bani Ghifar menerima Islam, begitu juga Thufayl dari Bani Daws, dan Islam pun menjadi pembicaraan di Jazirah Arab.

Suku ‘Aws dan Khazraj telah bersekutu dengan beberapa suku Yahudi di sekitar Yatsrib. Meski begitu perseteruan sering kali terjadi, dan dalam prosesnya kaum Yahudi berkata, “Kini, waktu diutusnya seorang nabi telah tiba. Dengan kehadirannya, kami akan membantai kalian seperti kaum ‘Ad dan Iram yang terbantai.” Penuturan tersebut, juga kedatangan Ibn al-Hayyaban, membuat bangsa Arab Yatsrib lebih siap menerima kedatangan sang Nabi. Pertumpuhan darah antara ‘Aws dan Khazraj yang semakin memenas, mengarahkan pemimpin ‘Aws mengirimkan delegasi pada Quraisy. Dalam prosesnya, Nabi menemui mereka dan membacakan beberapa ayat al-Qur’an, dimana Iyas bin Mu’adz menunjukkan penerimaan sementara ketua delegasi memberikan penolakan.

Pada suatu hari, ketika Nabi melakukan tawaf tujuh putaran, beberapa pemuka Quraisy di Hijr melakukan cemoohan hingga Nabi memberikan tanggapan tegas di putaran ketiga, dan mereka pun terdiam. ‘Amr, Abu al-Hakam (Abu Jahal), yang tengah menuju Hijr, dengan sangat mencemooh Nabi yang sedang duduk di dekat gerbang Shafa. Hamzah yang mengetahui hal itu dari seorang wanita keluarga Ju’dan, menyatakan ke-Islam-annya di hadapan Abu Jahl disertai tantangan.

Mengetahui kekhawatiran Quraisy atas ke-Islam-an Hamzah, Utbah bin Rabi’ah mengajukan saran dan langsung menemui Nabi yang tengah berada di dalam Ka’bah, dimana ia kembali dengan peringatan kepada Quraisy. Hasil dialog yang tidak membuahkan hasil, mengarahkan kaum Quraisy terus menerus mencemooh Nabi, termasuk kerabatnya sendiri. Dan ke-Islam-an Arqam melalui Salamah dari kabilah Makhzum, membuat kaum mukmin memiliki tempat peribadatan tersembunyi (tenang) di pusat Mekah.

Pengikut Nabi terus bertambah. Namun, bukan dari orang-orang berpengaruh (pemuka Quraisy), mengarahkan Nabi berbicara empat mata dengan Walid, dan turunlah Q. 80: 1-2, 5-10. Tidak seperti Abu Jahl, Abu Sufyan tidak menunjukkan permusuhan keras pada Nabi. Meski begitu, para pemuka Quraisy bersepakat menolak ajarannya, demi kehormatan; sebagaimana leluhur mereka.

Dari dulu sampai sekarang, sikap orang kafir terangkum dalam kalimat, “Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan” (Q.6:29). Terhadap hal ini, wahyu memberikan jawaban: “Maka, apakah kamu mengira Kami menciptakan kamu secara main-main (saja) dan kamu tidak akan dikembalikan kepada kami? (Q.23:115). Para pemuka Quraisy telah menantang Nabi agar menunjukkan tanda-tanda, dan suatu ketika, pada malam bulan purnama, di atas bukit Hira’, Nabi mengabulkan permintaan seorang kafir untuk membelah bulan menjadi dua. Kekaguman dan harapan yang diminta dari orang beriman adalah sikap kembali kepada Allah: Q.1 & Q.112.

Perpecahan keluarga terjadi, seperti Thalib dan Aqil (putra Abu Thalib) yang tidak mengikuti jejak saudara mereka yang lebih muda, Ja’far dan Ali, namun bersikap toleran. Berbeda dengan Abu Lahab, juga istrinya, Umm Jamil yang memaksa anak mereka menceraikan Ruqayyah dan Umm Kultsum. Mengenai kerabat Khadijah, saudara tirinya, Nawfal, menjadi musuh Islam yang paling jahat dan kejam. Hal ini sesuai dengan al-Qur’an: 28: 56.

Masa kerasulan tidak lain hanyalah persiapan menghadapi kiamat. Mengantisipasi kiamat berarti mengantisipasi pengadilan: al-Qur’an menyatakan diri sebagai al-Furqan (pembeda yang benar dan yang batil).

Kaum Quraisy mengutus duan orang Yatsrib berkonsultasi pada rabi-rabi Yahudi, sehingga ditanyakanlah tiga pertanyaan, diikuti Q. 18: 23-24 (Insya Allah) lima belas hari kemudian, juga jawaban dari ketiga pertanyaan; Q. 18: 9-25, Q. 18: 93-99, dan Q. 17: 85. Hal ini membuat perlakuan kaum Quraisy semakin keras pada para pemeluk Islam, sehingga Nabi menyarankan mereka untuk pergi ke negeri Abyssinia.

Para pengungsi itu disambut baik di Abyssinia, sehingga kaum Quraisy mengutus ‘Amr bin Ash dan rekannya untuk menemui Raja Negus. Negus memanggil para sahabat Nabi untuk meminta penjelasan, dan Ja’far pun membacakan Q. 19: 16-21. Namun ‘Amr kembali keesokan harinya dengan mengemukakan bahwa Yesus putra Maryam adalah seorang hamba, dan Ja’far pun menegaskan bahwa ia adalah Hamba Tuhan, Utusan-Nya, Roh-Nya, dan Kalimat-Nya yang Ia tiupkan ke dalam rahim Maryam.

Tekanan dan penyiksaan meningkat, terutama dibawah arahan Abu Jahal dan keponakannya, Umar, yang memutuskan untuk membawa pedangnya ke hadapan Muhammad. Namun ia bertemu dengan Nu’aym, yang mengarahkannya pada saudari dan saudara iparnya, Sa’id dan Fathimah. Mendapati darah di wajah saudarinya yang disertai keimanan, Umar meminta lembaran surat Tha-Ha yang tadi dibaca Fathimah dan kemudian menyatakan diri masuk Islam. Setelah menemui Rasulullah, Umar menemui Abu Jahal keesokan harinya.

Menanggapi sikap Umar yang membawa kaum mukmin ke Rumah Suci, kaum Quraisy dibawah tekanan Abu Jahl melakukan pemboikotan pada Bani Hasyim, begitu juga Bani Muththalib. Dalam prosesnya, beberapa orang musyrik ikut memberikan bantuan, selain batuan dari kaum muslim, terutama Abu Bakr dan Umar. Setelah lebih dari dua tahun, Hisyam pergi menemui Zuhayr, mengarahkannya menemui Muth’im ibn ‘Adi, mengarahkannya menemui Abu al-Bakhtari, mengarahkannya menemui Zam’ah ibn al-Aswad, dan penolakan terhadap pemboikotan pun diumumkan selepas thawaf, dimana mereka dapati dokumen pemboikotan telah dimakan rayap kecuali kalimat: “Dengan nama-Mu, Ya Allah!”. Kabar tersebut mengarahkan beberapa pengungsi di Abyssinia kembali ke Mekkah. Kaum Quraisy sendiri kemudian mengajukan kompromi pada Nabi, sehingga turunlah Q.S. 109: 1-6.

Utsman ibn Mazh’un al-Jumah, meminta Walid mencabut perlindungannya setelah mendapati saudaranya semuslim disika. Beberapa hari kemudian, Utsman menginterupsi syair Labid: ‘Oh, segala sesuatu selain Tuhan akan fana’ (Engkau benar) ‘Dan semua kebahagiaan akan musnah’ (Engkau berdusta. Kebahagiaan surga tidak akan pernah musnah). Kemudian turun Q.28: 88.

Pada 619 Masehi, tidak lama setelah pencabutan pemboikotan, Khadijah meninggal dunia, yang disusul oleh Abu Thalib. Keadaan menjadi sulit bagi orang yang tidak memiliki perlindungan, termasuk Abu Bakar yang memutuskan untuk pergi ke Abyssinia, namun kemudian mendapati perlindungan dari Ibn al-Dughunnah, Kepala sebuah Suku Badui. Abu Lahab menjadi pemimpin Bani Hasyim, sehingga Nabi mencari pertolongan ke suku Tsaqif, penduduk Tha’if, yang ternyata memberikan penolakan keras, dimana Nabi yang beristirahat di sebuah kebun bertemu dengan ‘Addas, budak milik ‘Utbah dan Syaibah (pemilik kebun tersebut). Dalam perjalanan kembali ke Mekkah, Nabi bertemu dengan sekelompok jin di Nakhlah. Dari Gua Hira’, Nabi kembali ke Mekkah setelah menerima perlindungan dari Muth’im, pemimpin Bani Nawfal.

Nabi Sholat Isya’ di kediaman Ummu Hani’, dimana ia kemudian mengunjungi Ka’nahh dan tertidur di Hijr. Jibril membangunkan Nabi dan menaiki Buraq menuju Yerusalem, mengimami para Nabi di Masjid al-Aqsa. Setelah memilih susu daripada anggur, Nabi mikraj dan menerima perintah shalat lima waktu di shidrat al-muntaha, yang diliputi Cahaya Ilahi. Selepas Sholat Shubuh, Nabi menceritakan perjalanannya ke Yerusalem di hadapan orang-orang musryik, juga kabilah-kabilah yang dilihatnya. Dan ketika bersama Abu Bakar dan sahabat lainnya, beliau meceritakan mikrajnya ke langit ke tujuh.

Sesudah Tahun Dukacita, Nabi berdakwah di lembah Mina pada Bulan Haji, dimana ia diterima oleh enam orang dari suku Khazraj, Yatsrib. Di tahun yang sama, Nabi menerima mimpi seorang wanita berkerudung sutra, dua kali, diikuti tawaran Khawlah, istri Utsman ibn Mazh’un, untuk menikahi Aisyah dan Sawdah. Abu Bakar membangun masjid kecil di depan rumahnya, sehingga Ibn al-Dhughunnah mencabut perlindungannya.

Ibadah haji tahun berikutnya (621 M), lima orang sebelumnya dari suku Khazraj ditambah tujuh orang, diantaranya dari suku ‘Aws, berbaiat kepada Nabi, yang dikenal sebagai Baiat ‘Aqabah Pertama. Nabi mengutus bersama mereka Mush’ab bin ‘Abd al-Dar, yang tinggal bersama As’ad ibn Zurarah, mengarahkan Sa’ad dan Usayd menerima Islam, sehingga 73 orang dan dua wanita berbaiat kepada Nabi di tahun selanjutnya, dimana dalam prosesnya Bara’ sholat menghadap Ka’bah.

Rasulullah mendorong para sahabatnya untuk berhijrah ke Yatsrib, dimana Abu Salamah telah terlebih dahulu tiba di sana. Hamper semua sahabat telah berangkat kecuali Anu Bakr dan Ali, dimana dalam prosesnya Hisyam dan Ayyasy dipaksa untuk murtad, dan turunlah Q. 39: 53-54.

Menanggapi hijrah kaum muslimin, kaum Quraisy mengirim setiap pemuda terbaik mereka ke kediaman Nabi mengikuti saran Abu Jahl di majelis. Jibril memberitahukan pada Nabi apa yang harus dilakukan, sehingga Nabi pergi mengunjungi Abu Bakar di sore harinya, memerintahkan Ali menyelimuti diri di tempat tidurnya sementara ia pergi keluar setelah membaca Q. 36: 1-9.

Nabi berangkat hijrah bersama Abu Bakar menuju sebuah gua di Gunug Tsawr, dimana kaum Quraysi menawarkan hadiah 100 ekor unta bagi yang berhasil membawa Muhammad kembali ke Mekkah. Pada hari ketiga, para pencari tiba di gua tersebut dan Rasulullah bersabda kepada Abu Bakar: “Jangan bersedih karena sesungguhnya Allah bersama kita.” (Q. 9: 40). ‘Amir kemudian tiba bersama seorang Badui pemandu jalan, dan mereka pun tiba di Quba’ dua belas hari kemudian.

Nabi tiba di Madinah pada hari Senin, 27 September 622 M, mendirikan masjid di Quba’ sebagai masjid pertama, dan berangkat ke Madinah pada Jum’at pagi. Penduduk Madinah menyambut baik kedatangan Nabi dan mengundangnya, namun Nabi membiarkan untanya, Qashwa’, memilih, mengarahkan Nabi pada tanah milik dua orang yatim piati, Sahl dan Suhayl, yang berada dalam asuhan As’ad, salah satu dari enam orang yang berbaiat pada Aqabah Pertama.

Nabi memerintahkan agar di halamannya dibangun sebuah masjid, dimana Nabi kemudian membuat perjanjian antara pengikutnya dan kaum Yahudi, diikuti dengan pemersaudaraan kaum Anshar dan kaum Muhajirin setelah pembacaan syair Bu’ats. Dalam pemakaman As’ad (orang Madinah pertama yang berbaiat), Salman mendatangi Rasulullah dan menerima Islam. Islam kini mantap di Yatsrib, dan azan pun dikumandangkan untuk pertama kalinya oleh Bilal melalui mimpi Abd Allah ibn Zayd.

Ketika masjid hamper selesai dibangun, Nabi meminta dibuatkan dua bilik kecil untuk Sawdah dan ‘A’isyah, dimana bangunan tersebut selesai dalam tujuh bulan. Nabi dan putri-putrinya tinggal di tempat Sawdah, perkawinan dengan ‘A’isyah dilangsungkan sekitar satu bulan kemudian secara sederhana (‘A’isyah 9 tahun dan Nabi 53 tahun). Selama tiga tahun terakhir, ‘A’isyah banyak bermain dengan teman-temannya, dimana banyak orang Islam yang terkena demam mematikan, termasuk Abu Bakar.

Turunnya Q.22: 39-40, diikuti dengan Q. 8:39, nabi mengambil langkah peperangan, dengan berusaha mencegat kabilah Quraysi. Abd Allah ibn Jahsy bersama delapan orang Muhajirin dikirim oleh Nabi untuk mengecek suatu kafilah, dimana mereka melancarkan serangan, padahal saat itu merupakan bulan Rajab (bulan yang disucikan), sehingga Nabi menolak tindakan mereka dan turunlah Q.2: 217. Pada bulan Sya’ban, diturunkan Q.2: 144 (Masjidil Haram sebagai Kiblat).

Nabi berangkat bersama 350 pasukan untuk menghadang kafilah Abu Sufyan, yang telah meminta bantuan kaum Quraisy setelah mengetahui apa yang terjadi. Bibi Nabi, Atikah, mengungkapkan mimpinya pada kaum Quraisy, diikuti kabar permintaan bantuan dari Abu Sufyan, dimana Quraisy berangkat dengan seribu pasukan. Mengetahui hal itu, Nabi menanyakan pendapat pasukannya, dan memutuskan untuk terus maju. Mengikuti saran Sa’d ibn Mu’adz, Nabi dan pasukannya menjalankan siasat dengan telah tiba terlebih dahulu di Badr (Jum’at, 17 Maret 623 M / 17 Ramadan 2 H), dimana hujan menyambut kedatangan mereka.

Nabi memeriksa pasukannya, dan Sawad mengungkapkan protes. Pasukan Quraysi bergerak maju, dan Nabi memohon pertolongan Allah. 3 penantang dari Quraisy maju dan meminta lawan sesama suku, sehingga Nabi mengirimkan Ubaydah, Hamzah, dan ‘Ali. Perang pun pecah, dimana Umayr min Salimah menyambut komando kesyahidan, ‘Awf maju tanpa baju perang, dan ‘Ukkasyah menerima pedang al-‘Awn. Kehadiran para malaikat dirasakan oleh semua orang (Q. 8: 9), dan sebagian besar tantara Quraisy lari pontang-panting. Dalam masalah tawanan, turun Q. 8: 70, dimana beberapa tawanan dibunuh (Abu Jahl, Umayyah dan ‘Ali). Dalam masalah rampasan perang, turun Q. 8: 1. Nabi memerintahkan agar semua tawanan diperlakukan dengan baik, dimana malam harinya beliau berdiri di dekat kuburan para musuh Allah.

Di antara yang pertama kali sampai di Mekah adalah Abu Sufyan, yang segera berkunjung ke Ka’bah dan bertemu dengan Abu Lahab. Di saat Abu Sufyan menceritakan apa yang terjadi pada Abu Lahab, yang kemudian memukul Abu Rafi habis-habisan, sehingga Umm al-Fadl memukul kepalanya dengan kayu. Sebagai pemimpin kaum Quraisy, Abu Sufyan menolak untuk membayar tebusan, dimana ia mengirimkan delegasi berusaha mengumpulkan kekuatan untuk melakukan pembalasan.

Nabi menegur Sawdah yang melihat sepupunya, Suhayl, sebagai tawanan, dimana tak lama kemudian tebusan datang untuknya. Perihal ‘Abbas, cucu Salma, Nabi memintanya untuk menebus dirinya sendiri. Mendapati tebusan atas menantunya, Abu al-‘Ash (suami Zaynab), nabi meminta kaum Anshar untuk membebaskan sekaligus mengembalikan tebusannya. Setelah ditebus dengan harga tinggi, Walid mengungkapkan ke-Islam-annya dan kembali ke Mekkah untuk mengambil hartanya hanya untuk mendapati dirinya ditahan. Mendapati jaminan saudaranya, Shafwan, ‘Umayr pergi ke Madinah dengan membawa pedangnya, dimana Nabi menerima kedatangannya dengan Islam. Sesuai janji, Abu al-‘Ash mengirim Zaynab ke Madinah bersama putri mereka, Umamah, disertai saudara laki-lakinya, Kinanah, dimana kaum Quraysi berusaha menghalangi.

Mendapati kabar kemenangan kaum muslim di Perang Badr, kaum Yahudi (Qaynuqa’, Nadhir, dan Qurayzhah) menjadi cemas, terutama Ka’ab, anak Asyraf, yang pergi ke Mekah untuk berduka cita. Setelah keangkuhan Bani Qaynuqa’ menanggapi kemenangan Nabi, diikuti dengan penghinaan terhadap seorang wanita muslimah, Nabi melakukan pengepungan terhadap mereka, yang menyerah tanpa syarat setelah dua minggu bertahan tanpa bantuan.

Setibanya di Madinah, Nabi dan Fathimah berziarah ke makam Ruqayyah. Nabi menikahkan Fathimah (20th) dengan, ‘Ali, saudaranya, dimana Nabi sendiri kemudian menikahi Hafshah binti ‘Umar, juga menikahkan Utsman dengan Umm Kultsum. Hampir bersamaan dengan pernikahan itu, ‘Utsman ibn Mazh’un meninggal dunia, dimana Nabi pernah bersabda padanya; “…Bukan termasuk kaumku orang yang menjadikan dirinya dan orang lain fakir.”

Salah satu serambi masjid kini digunakan sebagai tempat singgah para pendatang baru, yang disebut sebagai ahl al-Shuffah. Dalam kemelaratan ahl al-Shuffah, Nabi menolak permintaan bantuan Fathimah dan Ali, namun memberikan sesuatu yang lebih baik.

Dampak penting lain dari Perang Badr adalah bersekutunya Juhaynah dan suku-suku tetangga di Laut Merah dengan Madinah, dan Quraysi pun memperkuat persekutuan dengan suku Sulaym dan Ghathafan. Bulan-bulan berikutnya, Nabi menjalankan rencana penyerangan di daerah pinggiran sebelah timur oasis, dengan sebuah ekspedisi yang berhasil menghadapi suku-suku Gathafan: Tsa’labah dan Muharib (Du’tsur, selaku kepala suku menerima Islam setelah menghunus pedangan ke hadapan Nabi). Sekembalinya Nabi dari Najd, Ka’b ibn al-Asyraf meninggalkan Mekah dan kembali ke Bani Nadhir, untuk mengejek dan menghina Nabi dengan syair-syairnya.

Penduduk Mekah kehilangan rute di jalur laut merah, diikuti dengan bencana Qaadah (serangan Zayd terhadap kafilah Shafwan), sehingga kaum Quraysi membawa 3000 tentara menuju Madinah pada 625 M. Mengetahui apa yang terjadi dari Abbas, Nabi mengirimkan mata-mata, dimana beliau mengungkapkan mimpinya dan bermaksud untuk bertahan di dalam benteng kota. Namun banyak pemuda terbakar semangat, sehingga mayoritas kaum muslimin berkeinginan untuk keluar, dan Nabi pun memutuskan untuk menyerang. Setelah Sholat Jum’at dan berkhutbah, nabi mengenakan pakaian perang selepas sholat maghrib, dan perkataan Sa’d ibn Mu’adz membuat kaum muslimin menyesali keputusan mereka.

Nabi tiba di Syaikhyan (pertengahan Madinah dan Uhud) ketika matahari mulai terbenam, dan Nabi pun memeriksa pasukan, dimana Ibn Ubayy membawa tiga ratus orang kembali ke Madinah. Di Madinah, malam itu pernikahan Hanzhalah dan Jamilah, dimana Jamilah bermimpi melihat suaminya berdiri di pintu depan surga. Dengan tujuh ratus orang, Nabi berhenti di tempat yang tepat, dan Bilal menyerukan azan shubuh. Nabi menempatkan lima puluh pemanah di atas bukit disertai komando, mengenakan matel bajanya, dan berkata; “Siapa yang memenuhi syarat memegang pedang ini?”

Matahari telah naik dan pasukan Quraisy bersiap dengan serratus pasukan berkuda di kedua sayap, dengan Abu Sufyan yang memimpin bagian tengah memproklamasikan kehadirannya, diikuti dengan Hanzhalah, yang juga dijawab dengan ejekan. Selagi tantara Mekah dikomando maju, Hindun memimpin para wanita dengan memukul genderang perang dan benyanyi. ‘Ali maju memenuhi tantangan Thalhah dan menjatuhkannya dengan sekali tebas. Sementara Hindun hampir tertebas pedang Dujanah, Wahsyi memusatkan perhatian pada Hamzah yang Tengah berhadapan dengan pembawa panji terakhir ‘Abd al-Dar. Kaum muslim terus maju menuju kemah musuh, dan empat puluh dari lima puluh pemanah dibawah pimpinan ‘Abd Allah ibn Jubayr memutuskan meninggalkan pos untuk rampasan perang. Mendapati hal itu, Khalid segera mengambil tindakan, diikuti oleh Ikrimah, membuat pasukan muslim untuk mundur. Dalam prosesnya, Wahab min Muzaynah memenuhi panggilan Rasulullah untuk menghadang pasukan musuh. Nabi menahan Abu Bakar yang hendak memenuhi tantangan putranya, ‘Abd al-Ka’bah, diikuti dengan satu pasukan berkuda, dan sebuah lemparan batu keras mengenai mulut Nabi. Kaum muslim dalam keadaan terdesak, dan Ibn Qami’ah mencari keberadaaan Nabi untuk menyerangnya, dimana Thalhah segera menghadang, diikuti dengan pengumuman bahwa Nabi telah mati. Mendapati hal itu, Anas ibn Nadhr tetap maju menuju kancah perang yang paling sengit. Nabi kembali sadar dan mengarahkan sahabatnya memasuki sebuah celah di bukit, dimana Abu ‘Ubaydah dan Malik min Khazraj berusaha mengobati luka beliau. Mendapati keberadaan Nabi, Ka’b ibn Malik segera melakukan pengumuman, sehingga Ubayy datang untuk menantang Nabi dan kembali ke perkemahannya dengan luka yang fatal.

Kaum Quraisy kini sibuk mencari orang-orangnya yang gugur, 22 orang di pihak mereka, dan 55 di pihak musuh, dimana Wahsyi mengambil hati Hamzah dan membawanya kepada Hindun, yang kemudian memotong-motong tubuh Hamzah dan mengajak wanita lainnya untuk melakukan hal yang sama. Setelah membereskan perkemahan, Abu Sufyan mengumandangkan perjanjian untuk perang berikutnya.

Menyaksikan apa yang terjadi pada Hamzah, Rasulullah dilanda amarah, dan turunlah Q. 26: 126. Di antaranya; mereka menemukan mayat Hanzhalah, Usayrim, juga seorang rabi Yahudi Bani Tsa’labah. Nabi mendirikan shalat jenazah untuk semua pejuang yang gugur, satu persatu, 72x shalat jenazah, dimana Nabi juga memimpin setiap penguburan (dua tiga mayat dalam satu liang). Dalam prosesnya, terjadilah kisah unta-Hindun dan doa Rasulullah untuk seorang laki-laki dari Muzaynah, dimana Rasulullah kemudian memanjatkan puji syukur setibanya di batas awal jalur lava.

Nabi tiba di Madinah ketika matahari mulai terbenam, dan keesokan paginya beliau mengumumkan untuk melakukan pengejaran terhadap musuh. Dalam prosesnya, Nabi yang merasa bahagia mendapati keadaan Bani Salimah, berdoa; “Ya Allah, berkatilah Bani Salimah!” pemberhentian Nabi dan pasukannya sekitar 13km dari Madinah, dengan musuh berkemah tak jauh dari mereka, di Rawha. Nabi menyebarkan pasukannya untuk mengumpulkan kayu bakar, dimana Abu Sufyan mendapatkan kesan dari seorang lelaki Khuza’ah dan mengirimkan pesan pada Nabi, yang segera mengucapkan; “Cukuplah Allah sebagai Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.”

Dua bulan kemudian, terdengar kabar penyerangan Bani Asad ibn Khuzauman, dan Nabi mengirim 150 pasukan dibawah komando Abu Salamah ke sana. Pada waktu yang hampir sama, terdengar pula kabar serangan dari Selatan, dan Nabi mengirimkan ‘Abd Allah ibn Unays untuk mengalahkan kepala suku Lihyan, cabang Hudzayl. Beberapa bulan kemudian, enam orang muslim yang sedang berdakwah diserang di Raji’, tiga diantaranya berkelahi hingga meninggal, tiga lainnya ditangkap, dengan salah seorang terbunuh saat hendak melarikan diri. Keduanya ialah; Khubayb min ‘Aws dan Zayd min Khazraj, yang dijual kepada Quraysi, dan digiring keluar Mekah pada bulan Shafar untuk dieksekusi. Setahun setelah kematian suaminya, Nabi melamar Zaynab, anak Khuzaymah dari Badui suku ‘Amir, dimana Nabi kemudian mengutus empat puluh sahabatnya dibawah pimpinan Mundzir ibn ‘Amr untuk berdakwah dibawah jaminan Abu Bara’, kepala suku ‘Amir, di antara mereka adalah ‘Amir ibn Fujayrah (bekas budak Abu Bakr, yang dipilih menemani ia dan Nabi ketika hijrah). Abu Bara’ ternyata sedang mengalami cobaan di dalam sukunya sendiri, dimana keponakannya membunuh salah seorang sahabat utusan, dan kemudian menghasut dua kabilah suku Sulaym.

Bersama beberapa sahabat, Nabi pergi menemui Bani Nadhir dalam rangka pembayaran diat, dimana dalam prosesnya Jibril memberitahukan pada Nabi bahwa kaum Yahudi bermaksud untuk membunuhnya, sehingga Nabi segera pulang ke Madinah dan kemudian mengutus Muhammad ibn Maslamah untuk menyampaikan pesan pada Bani Nadhir. Atas desakan Ibn Ubayy dan kepala suku mereka, Huyay, Bani Nadhir memutuskan untuk bertahan, sehingga Nabi mengerahkan pasukan dan memberikan bendera kepada ‘Ali. Setelah sepuluh hari pengepungan, Nabi memerintahkan penebangan pohon kurma di sekitar benteng, sehingga Bani Nadhir pun memutuskan untuk menyerah.

Tak lama setelah tahun baru 626 M, Fathimah kembali melahirkan seorang putra, dan Nabi menamakannya Husayn (Hasan kecil). Pada saat yang sama, istri beliau, Zaynab (Sang Ibu kaum papa) meninggal dunia, dimana Nabi kemudian menikahi Umm Salamah, empat bulan sepeninggal suaminya. Dikarenakan musim kemarau, Abu Sufyan mengirimkan Nu’aym untuk menggagalkan keberangkatan Nabi memenuhi tantangan Badr kedua, dimana Nabi berkata; “Aku akan tetap berjuang, meskipun aku berangkat sendiri.” Nabi berangkat bersama 1.500 tentara, dan telah delapan hari berada di Badr, sementara kaum Quraisy telah membatalkan tantangannya. Pada awal tahun Hijriah, Juni 626M, Nabi menanggapi kabar penyerangan sekutu Ghathafan dengan membawa empat ratus pasukan ke dataran Najd, dimana dalam prosesnya Nabi menerima wahyu petunjuk pelaksanaan shalat dalam keadaan darurat. Dalam prosesnya, terjadilan peristiwa unta Jabir. Di bulan itu, Salman meminta nasehat pada Nabi, yang membantu kemerdekaannya. Di bulan kedamaian lain di Madinah, Nabi memimpin seribu orang menuju Dumat al-Jandal untuk mengalahkan kawanan perampok. Suatu ketika, Nabi pergi ke rumah Zayd dan mendapati Zaynab menyambutnya dengan riang, dimana beliau kemudian menerima wahyu bahwa Allah telah menikahkannya dengan Zaynab (Q. 33: 40).

Kaum Yahudi Bani Nadhir menjalin Kerjasama dengan kaum Quraysi, dengan mengajak suku nomad di Dataran Najd, dan terkumpullah sepuluh ribu pasukan menuju Madinah, untuk berhadapan dengan kaum muslimin berkekuatan tiga ribu pasukan. Mengikuti saran Salman, kaum Muslimin membuat parit, dimana Nabi ikut bekerja. Dalam prosesnya, kaum Muslimin saling mengingatkan satu sama lain, dan terjadilah kisah Jabir yang tertimbun batu dan mengundang Nabi makan di rumahnya, juga kisah pemecahan batu yang bercahaya dan kurma dari keponakan ‘Abd Allah ibn Rawahah.

Penggalian parit selesai dalam enam hari, dan berkemah bersama tiga ribu pasukan di tempat yang ditentukan, dimana pasukan Quraisy dan pasukan Ghataffan segera melancarkan serangan dibawah pimpinan Abu Sufyan, namun terhenti mendapati adanya parit. Huyay menawarkan diri sebagai duta Yahudi untuk menemui Ka’b ibn Asad, pemimpin Qurayzhah, agar membatalkan perjanjian dengan Nabi. Mengetahui hal itu, Nabi mengirim Zubayr untuk melakukan penyelidikan, diikuti dengan pengutusan Zayd beserta tiga ratus pasukan berkuda untuk berpatroli dan bertakbir sepanjang malam. Ikrimah berhasil melompati parit dengan kudanya, diikuti tiga orang lainnya, dan Ali kemudian memenuhi tantangan Amr untuk berduel. Al-Qur’an melukiskan ketegangan hari-jhari itu: Q. 33: 10-11, 20. Mendapati apa yang terjadi, Nu’aym menerima Islam dan menemui Nabi untuk meminta izin memperdaya musuh. Selama tiga hari, setelah shalat wajib, Nabi memanjatkan doa, dan turunlah Q. 39: 9. Nabi kemudian mengirim Hudzayfah untuk melihat keadaan musuh dan mengizinkan orang-orang kembali ke Madinah setelah kedatangannya.

Selepas shalat dhuhur, Nabi menerima kedatangan Jibril dan memerintahkan kaum muslim agar tidak shalat ashar sebelum tiba di wilayah Qurayzhah. Setelah 25 hari pengepungan, mereka meminta berunding dengan Abu Lubabah, yang kemudian mengikatkan tubuhnya di salah satu pilar masjid karena merasa telah mengkhianati Rasulullah selama 10 atau 15 hari. Bani Qurayzhah akhirnya membuka gerbang dan menyatakan tunduk pada kedaulatan Nabi, yang memberikan keputusan pada Sa’d ibn Mu’adz, yang memutuskan: “bahwa orang-orang itu harus dibunuh, harta benda mereka dibagi-bagi, dan kaum wanita dan anak anak dijadikan tawanan.” Orang yang terakhir mati karena disambar kilat, kemudian seorang lelaki tua, Zabir ibn Batha. Sebagian besar tawanan telah ditebus oleh Bani Nadhir di Khaibar, sementara Nabi memilih Rayhanah, yang kemudian menerima Islam, dan Nabi pun melamarnya.

Di tempat perawatan di masjid, Sa’d menerima kedatangan Nabi yang mendoakannya, dimana ia meninggal 1-2 jam kemudian. Umm Salamah memberitahu Abu Lubabah bahwa Allah telah mengampuninya dan Nabi pun melepaskan ikatannya, dimana Abu Lubabah kemudian menyerahkan 1/3 hartanya sebagai pembebasan. 5 bulan kemudian, Rasulullah mengutus Zayd dan seratus pasukan untuk menghadang kafilah Quraysi dari Suriah, dimana Abu al-Ash (menantu Nabi) berhasil lolos dan pergi menemui Zaynab.

Keberhasilan Zayd membuat Quraysi menghasut Bani Mushthaliq untuk melancarkan serangan ke Madinah, dimana Nabi terlebih dahulu mendatangi mereka. Dalam prosesnya, perseteruan terjadi di antara kaum muslimin, hal ini terutama dikarenakan adanya orang-orang munafik seperti Ibn Ubayy. pemimpin Khazraj. Rasulullah pun segera memerintahkan untuk membongkar kemah, dimana surat al-Munafiqun turun setelah Nabi berbincang-bincang dengan Sa’d ibn ‘Ubadah, dan Abd Allah (putra Ibn Ubayy) pergi menemui Nabi untuk mendapatkan perintah eksekusi atas sang ayah.

Aisyah dan Umm Salamah menemani Nabi dalam ekpedisi, dimana dalam prosesnya terjadi kisah hilangnya kalung Aisyah dan diturunkannya wahyu tayammun (Q. 4: 23). Di tempat perberhentian terakhir sebelum sampai di Madinah, kalung Aisyah kembali hilang, dan ia pun pergi mencarinya hingga ketinggalan rombongan, dimana Shafwan ibn al-Mu’attal mengawalnya kembali, dan skandal pun terjadi di Madinah. Harta rampasan perang dibagikan, dan Juwayriyah binti Harits menerima tawaran Nabi untuk menebus dan menikahinya, dimana sebelum pernikah berlangsung Harits datang untuk menebus putrinya itu.

‘Aisyah jatuh sakit dan fitnah diembuskan orang-orang munafik tentang dirinya dan Shafwan, dan ‘Aisyah meminta izin untuk dirawat di rumah orangtuanya. 20 hari kemudian, kabar tersebut pun sampai pada ‘Aisyah melalui Misthah, dan ‘Aisyah pun banyak menangis. Sementara itu, Nabi bertanya pada orang-orang terdekat ‘Aisyah, dan Usamah memberikan pembelaan tegas, dimana Nabi kemudian memberikan pembelaan di atas mimbar setelah menanyai pembantu ‘Aisyah sesuai nasehat Ali. Menanggapi penuturan Nabi, ‘Aisyah menangis dan membacakan Q. 12: 18, kemudian turunlah Q. 24: 11, 15-17 yang menjawab seluruh pertanyaan. Hal ini diikuti dengan turunnya Q. 24: 22 mengenai seorang yang memfitnah dan telah dihukum setelah mengakui kesalahannya.

Suatu malam Nabi bermimpi: dengan kepala bercukur, beliau memasuki Ka’bah, dan kuncinya berada di genggamannya, dimana beliau menceritakan mimpi tersebut dan mengajak para sahabat untuk umrah. Nabi menolak membawa senjata, dimana di perhentian pertama; beliau menandai hewan kurban dan mengutus seorang lelaki dari Khuza’ah untuk menyelidiki reaksi kaum Quraisy. Beliau mengenakan baju ihram dan mengucapkan; Labbayk Allahumma Labbayk. Setibanya di ‘Usfan, untuk menghindari Khalid dan pasukannya, Nabi melalui jalan lain hingga tiba di Hudaybiyah, dimana Qashwa’ (unta kesayangan beliau) tidak mau beranjak. Nabi pun memerintahkan untuk berkemah di sana, dimana beliau memanggil Najiyah dalam rangka mengatasi kekurangan air melalui mukjizat. Setelah memuaskan dahaga, jamaah menerima berkat dari dua kepala suka Badui, suku Khuza’ah, dan salah satu pemimpin mereka, Budayl ibn Warqa’, pergi menemui Nabi dan menyampaikan pesan beliau pada kaum Quraisy, yang kemudian menerima tawaran ‘Urwah, disertai Ahabisy (Hulays dari Bani Harits), yang ternyata langsung kembali sebelum menemui Nabi setelah melihat hewan-hewan qurban. Sementara ‘Urwah berada di perkemahan, Rasulullah mengutus seorang Ka’b bernama Khirasy sebelum kemudian mengutus ‘Utsman ibn Affan.

Selama ‘Utsman berada di Mekah, Rasulullah memerintahkan agar orang-orang berbaiat, dan Suhayl tiba sebagai utusan Quraysi untuk menandatangani perjanjian dengan Nabi. Mendapati hasil perjanjian, para sahabat hampir tidak dapat menahan diri, diikuti dengan kedatangan Abu Jandal, dan ‘Umar pun mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap Nabi. Setelah kepergian Suhayl, Nabi memerintahkan jamaah untuk menyembelih kurban dan memotong rambut, namun mereka hanya berdiam diri hingga Nabi menyembelih sendiri kurbannya. Dalam perjalanan kembali ke Madinah, turunlah Q. 48: 1, sehingga perjanjian tersebut dikenal sebagai Perjanjian Ridhwan. Adapun mimpi Nabi yang menginspirasi perjalanan tersebut mengacu pada Q. 48: 27.

Peristiwa Abu Basyir tak lama setelah kembalinya Nabi dari Hudaybiyah, membuat banyak tawanan melarikan diri dari Mekah menuju tempat Abu Basyir, yakni di pesisir Laut Merah. Keberadaan tersebut meresahkan kaum Quraisy, yang kemudian meminta Nabi untuk menerima mereka di Madinah. Dalam prosesnya, saudara tiri Utsman, Umm Kultsum, juga melarikan diri dari Mekah, dan Nabi menolak menyerahkannya. Pada bulan berikutnya, Umm Ruman jatuh sakit dan wafat, mengarahkan Abd al-Ka’bah masuk Islam. Empat bulan sepeninggal suaminya, Nabi mengirimkan pesan kepada Negus untuk melamar Umm Habibah, putri Abu Sufyan. Dalam prosesnya, Nabi juga mengirimkan surat pada raja-raja lainnya, termasuk Yaman yang menerima melalui utusan dan Kisra yang menolak dengan tegas. Pada minggu-minggu yang sama, Nabi terkena jampi dan mengajarkan ilmunya pada sang putri karna cemas, dimana beliau kemudian mendapatkan mimpi yang dibenarkan oleh Jibril, diikuti dengan turunkan Q.113 dan Q.114, yang dikenal sebagai “dua yang melindungi”.

Karena Nabi telah yakin pada janji kemenangan yang dekat yang disebut di dalam al-Qur’an—tidak lain menaklukkan Khaybar, tanpa melibatkan orang-orang Badui. Kabar tersebut menggembirakan kaum Quraisy dan musuh-musuh Islam, sementara orang-orang Khaybar tidak memercayai kabar tersebut karena kepercayaan diri mereka, hingga kepastian tiba dan mereka mendapatkan bantuan dari Ghathfan (10.000 + 4.000 melawan 1.600). Dalam perjalanannya, Nabi memberikan jubahnya pada Abu Abs dan memerintahkan Ibn Al-Akwa’ menyanyikan lagu-lagu. Nabi dan pasukannya tiba di depan Benteng Khaybar pada malam hari, dan mengejutkan orang-orang Khaybar di pagi harinya, dimana mereka memutuskan untuk bertahan di dalam benteng. Setelah beberapa hari tanpa kemajuan, Umar berhasil menangkap seorang mata-mata pada malam keenam, mengarahkan kaum muslimin mendapatkan peralatan untuk menaklukkan benteng, dan setibanya di Benteng Na’im, Nabi menyerahkan bendera kepada Ali. Setelah menaklukkan Benteng Zubayr, tersisa Benteng Qamus milik keluarga Kinanah, yang kemudian melakukan kesepakatan setelah empat belas hari bertahan. Hal ini diikuti oleh dua benteng yang tersisa, dimana kemudian kaum Yahudi Khaybar meminta untuk tinggal dengan membayar upeti, dan hal ini diikuti oleh kaum Yahudi Fadak. Dalam peristirahatan, Nabi menerima hadiah daging domba muda (yang diracun) dari janda Sallam ibn Misykam, menewaskan Bisyr bin Barra’, namun Nabi memaafkannya. Adapun Shafiyyah binti Huyay (janda Kinanah), Nabi menikahinya setelah mendengarkan mimpinya. Nabi melintasi jalur barat dan mengepung Yahudi Wadi al-Qura, yang menyerah setelah tiga hari dengan syarat-syarat yang sama. Ibn al-Akwa’ terbunuh di Khaybar, sementara Karkalah (budak hitam Nabi) terbunuh di Wadi al-Qura; dimana Nabi mengungkapkan bahwa ia tengah terbakar di neraka. Beliau bersabda: “Sesungguhnya kalian berada pada suatu zaman yang siapa saja mengabaikan sepersepuluh dari hukum akan dikutuk. Namun, akan datang suatu zaman ketika siapa saja yang memenuhi sepersepuluh dari hukum akan diselamatkan.”

Rasulullah menyambut hangat kedatangan Ja’far dan sahabat-sahabatnya, yang telah 13 tahun di Abyssinia. Mengetahui kecantikan Shaffiyah, ‘Aisyah sempat dilanda cemburu, dimana beberapa tahun kemudian ia menuturkan; “Aku tidak pernah cemburu kepada istri-istri Nabi yang lain sebagaimana aku cemburu kepada Khadijah.” Di antara para istri Nabi yang masih hidup, ‘Aisyahlah yang paling dicintai Nabi, hal ini ditegaskan dengan kisah pemberian hadiah kepada Nabi yang menunggu beliau berada di rumah ‘Aisyah. Beliau juga mencintai cucu-cucunya: “Yang paling kucintai dari keluargaku adalah Hasan dan Husayn.”

Setelah penaklukan Khaybar, terjadi enam kali ekspedisi kecil, salah satunya melawan Bani Murrah, dimana Usamah (17th) ikut serta, dan Rasulullah mempertanyakan perbuatannya (QS. 4: 94). Bulan-bulan relatif berjalan damai, dengan kekayaan dari kebun Hijaz yang menimbulkan persoalan tertentu. Mengetahui apa yang terjadi, Umar pergi menemui sepupunya (istri Nabi), Umm Salamah, yang memberikan jawaban tegas. Muqawqis, Raja Mesir, menolak ajakan Nabi, namun mengirimkan banyak hadiah, termasuk Mariyah dan Sirin, dimana Nabi menikahi Mariyah. Hal ini memicu kecemburuan pada istri-istri Nabi, terutama Hafshah dan Aisyah, sehingga turunlah surah at-Tahrim, dan beliau menyendiri di sebuah beranda beratap. Berita segera menyebar di Madinah bahwa beliau telah menceraikan istri-istrinya, Umar pun segera pergi menemui Hafshah, yang tengah menangis, dan kemudian meminta izin untuk menemui Nabi. Mendapati jawaban Nabi, Umar bertakbir, dimana Nabi kemudian mengungkapkan pada istri-istrinya bahwa beliau akan menemui mereka setelah satu bulan, dengan sebuah pilihan: QS. 33: 28-29.

Setahun setelah perjanjian Hudaybiyah, Nabi bersama dua ribu jamaah melaksanakan umrah, dimana kaum Quraisy mengosongkan kota. Mengikuti Nabi, para jamaah menyerukan “labbayk”, Nabi kemudian menyilangkan jubahnya di pundak kiri setibanya di masjid, beliau menuju sisi tenggara Ka’bah dan menyentuh Hajar Aswad, mengitari Ka’bah tujuh kali, lalu menuju bukit Shafa dan Marwah, menyembelih seekor unta dan mencukur rambut. Tidak diizinkan memasuki Ka’bah, Nabi memerintahkan Bilal mengumandangkan adzan di atasnya. Selama tiga hari di sana, Nabi menikahi Maymûnah, dan pernikahan dilangsungkan di Sarif. Setelah Hudaybiyah, Khalid menyadari kebenaran Nabi, sehingga ia dilanda kegundahan, dan datangnya mimpi, mengarahkannya pergi menemui Nabi, ditemani oleh Utsman ibn Thalhah, dimana Amr ikut serta setelah pergi ke Negus. Aqil dan Juhayr juga masuk Islam. Tahun ini (8H) putri Nabi, Zaynab, meninggal, dan Mariyah mengandung.

Tiga bulan setelah umrah, Nabi mengirim lima belas pendakwah ke perbatasan Suriah, dimana mereka dihujani dengan panah, juga dibunuhnya seorang pendakwah oleh kepala suku Ghassan. Nabi mengerahkan tiga ribu pasukan dibawah pimpinan Zayd, lalu Ja’far, lalu ‘Abd Allah, yang kemudian harus berhadapan dengan seratus ribu kekuatan (termasuk prajurit kaisar). Mengikuti arahan Zayd, pasukan mundur ke Mut’ah dimana perang berkecamuk, dan Nabi menerima penglihatan atas apa yang terjadi. Kekalahan di Mut’ah memicu orang Arab Utara memperkuat perlawanan terhadap Islam, dan Nabi mengutus Amr mengepalai tiga ratus pasukan. Sementara itu, Heraklius bermimpi menyaksikan kejayaan kerajaan seorang pria yang dikhitan, dimana ia kemudian mempertanyakan perihal diri Nabi pada Abu Sufyan, diikuti dengan kedatangan surat dari Nabi.

Mendapati sikap Quraisy perihal perseteruan Bani Bakr dan Bani Khuza’ah, Nabi memberikan keputusan tegas, dimana Abu Sufyan datang ke Madinah untuk menjaga perjanjian gencatan senjata. Nabi kemudian melakukan kampanye, mengarahkan Hathib mengirimkan pesan ke Mekah (namun digagalkan). Pada bulan Ramadan, bersama dengan sepuluh ribu orang, Nabi keluar dari Madinah dan memerintahkan orang-orang berbuka setibanya di Marr al-Zhahran. Dalam prosesnya, Nabi bertemu dengan Abbas dan Umm al-Fadhl, juga ‘Abd Allah dan Harits. Mendapati adanya sepuluh ribu perapiran, Quraysi kembali mengirim utusan; Abu Sufyan, Hakim, dan Budayl, dimana ketiganya kemudian menyatakan keislaman mereka.

Abu Sufyan kembali ke Mekah dengan melihat kehebatan pasukan Nabi, dan ia pun segera memberikan peringatan. Pasukan berhenti di Dzu Thuwa, dimana Nabi menunjuk Khalid sebagai komandan sayap kanan dan Zubayr di sayap kiri, dengan pasukannya sendiri yang dibagi dua. Pertempuran berlangsung tenang kecuali di tempat Khalid, dimana Nabi memenuhi permintaan Umm Hani’. Beliau berwudhu dan shalat delapan rakaat, beristirahat sekitar satu jam, lalu menyentuh hajar aswad diikuti dengan bertakbir, diikuti dengan thawaf tujuh kali, lalu berkeliling Ka’bah menuju berhala-berhala (360) dengan mengulang-ulang Q. 17: 81. Beliau menyerahkan kunci Ka’bah pada Utsman bin Thalhah, masuk ke dalamnya dan memerintahkan untuk menghapus gambar-gambar. Penduduk Mekah bergabung menyaksikan, dan Nabi membacakan Q. 12: 92.

Khawatir atas nasib kuil al-‘Uzza, Hawazin mengerahkan dua ribu tentara dengan membawa seluruh harta meraka di lembah Awthas dibawah pimpinan Malik, yang mendapati mata-matanya kembali dalam kondisi aneh. Pasukan Khalid yang berada di bagian depan, terkejut dan kalang-kabut mendapati serangan mendadak pasukan Hawazin, dan Nabi berusaha menghimpun kembali pasukan dengan bantuan ‘Abbas, diikuti dengan doa (Q. 9: 25-27) [Perang Hunayn]. Nabi mengangkat Budayl untuk membawa harta rampasan ke Lembah Ji’ranah, dimana salah satu tahanan mengaku sebagai saudara Nabi; Syayma. Setengah bulan berlalu dalam pengepungan Tsaqif tanpa kemajuan berarti, sehingga Napi pun menghentikan pengepungan.

Di Ji’ranah, terdapat enam ribu wanita dan anak-anak, 24.000 unta, dan 40.000 ekor domba dan kambing. Turunnya Q. 9: 60, mengarahkan Rasulullah memberikan harta rampasan pada para muallaf, sebagaimana Abu Sufyan, Shafwan, dan Suhayl. Delegasi Hawazin tiba dan Nabi menyambut mereka dengan hangat, diikuti pesan untuk pemimpin mereka, Malik. Mendapati hal itu, muncul keluhan di kalangan kaum Anshar, sehingga Nabi mengumpulkan mereka dan berpidato; “---Apakah kalian tidak berbahagia, orang lain membawa domba dan unta, sementara kalian membawa Rasulullah ke rumah kalian?!”

Dari Ji’ranah, Nabi melaksanakan umrah dan kembali ke Madinah, dimana beliau menerima ke-Islam-an Urwah, yang kembali ke Tsaqif untuk memperingati kaumnya meskipun telah menerima peringatan dari Nabi (QS. 36). Banyaknya orang masuk Islam, membuat Ka’ab khawatir dan ikut masuk Islam, dimana dia dipakaikan jubah oleh Nabi disebabkan syairnya. Dengan bantuan Salma, anak Mariyah lahir, dan Nabi memberinya nama Ibrahim. Dalam prosesnya, Nabi mengirim pasukan dibawah kepemimpinan Ali untuk menaklukkan suku Thayy, dimana Nabi membebaskan putri Hatim, menerima ke-Islam-an saudaranya, Adi, dan mengukuhkannya sebagai kepala suku Thayy.

Setelah perang Hunayn, Kaisar Heraklius mengembalikan salib suci ke Yerussalem, dimana ia kemudian bermaksud menyerahkan Suriah kepada Nabi sebagai perjanjian damai. Nabi sendiri mengumpulkan seluruh pasukan (30.000) menuju Suriah (Oktober 630M), dengan meninggalkan Ali untuk menjaga keluarganya. Dalam prosesnya, Nabi tidak juga datang untuk shalat shubuh, sehingga jamaah menunjuk Abd Rahman ibn Auf sebagai imam. Setibanya di Tabuk, Nabi mencuci tangan dan mukanya dengan sisa air yang ada di sana, dimana sumber air kemudian memancar tanpa henti. Mereka tinggal di sana selama dua puluh hari, dimana Nabi membuat perjanjian damai dengan kaum Kristen dan Yahudi yang tinggal di Teluk ‘Aqabah dan di sepanjang pesisir timur.

Sekembalinya dari Tabuk, Nabi diliputi kesedihan dengan meninggalnya Umm Kultsum, dimana beliau mengusir tiga orang mukmin yang tidak ikut berperang hingga turun Q. 9:118. Di bulan yang sama (Ramadhan), delegasi Thaif datang untuk menerima Islam dan membuat perjanjian. Dalam kematian Ibn Ubayy, Nabi meshalatinya dan menerima teguran dari Umar, sehingga Nabi membacakan Q. 9: 80. Tibanya waktu haji, Nabi menunjuk Abu Bakar sebagai wakil, yang berangkat dari Madinah bersama tiga ratus orang, dimana Ali kemudian menyusul untuk menyampaikan pesan Nabi. Tahun berikutnya, terdapat utusan dari kaum Kristen Najran, dan turunlah Q. 3: 59-61. Kebahagiaan pada awal bulan tahun berakhir dengan sakitnya Ibrahim, dan Nabi menangisi kematiannya, dimana gerhana matahari terjadi tak lama setelah pemakaman.

Banyak orang masuk Islam, dan turunlah Q. 49: 14 yang mengungkapkan adanya tingkat Iman, dengan empat tingkat pencerahan (Q. 24: 35),  tiga golongan (Q. 59: 21). Nabi pun bersabda; “Allah mengangkat derajatmu bukan melalui banyaknya shalat dan berpuasa, namun berdasarkan kebaikan hatimu,” dimana pengilap hati ialah mengingat Allah.

Nabi mengungkapkan bahwa generasinyamerupakan umat yang terbaik, lalu setelahnya, lalu setelahnya. Mendapati beberapa orang mukmin menjual peralatan perang mereka, Nabi mengungkapkan bahwa umatnya akan terus berjuang demi kebenaran hingga munculnya Dajjal. Nabi juga meramalkan munculnya al-Mahdi, Dajjal, dan Isa putra Maryam, juga dibangunnya gedung-gedung pencakar langit sebagai tanda-tanda kiamat.

Di Bulan Ramadhan ini Nabi mengungkapkan pada Fathimah bahwa ia membacakan al-Qur’an dua kali di hadapan Jibril, dimana beliau kemudian melaksanakan Ibadah Haji bersama 30.000 jamaah. Dalam prosesnya, istri Abu Bakar; Asma’, melahirkan seorang anak yang diberi nama Muhammad. Sepuluh hari kemudian, beliau memasuki Makkah dan berdoa (hingga tali untanya jatuh) di dekat Ka’bah. Setelah bermalam di Mina, beliau menuju Arafah dan berpidato di sana, mengungkapkan umatnya untuk berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah, diikuti dengan pembacaan Q.5: 3. Keesokan paginya, beliau bersegera menuju Muzdalifah untuk bermalam dan melempar jumrah, lalu bermalam di Mina. Ali kemudian tiba bersama tiga ratus pasukan berkuda untuk ikut melaksanakan haji. Tak lama sekembalinya ke Madinah, Nabi menerima surat Musaylimah dari Yamamah, diikuti dua pengakuan lainnya, dimana Nabi kemudian mengangkat Usamah ibn Zayd untuk memimpin tiga ribu pasukan menuju Suriah.

Mendekati kematian, Nabi (63th) seringkali berbicara tentang surga, dimana hanya ada sedikit uban di rambut hitamnya. Suatu malam, Nabi mengajak Abu Muwayhibah menemaninya menuju pekuburan di Baqi’, dimana di sana beliau menerima tawaran. Keesokan paginya, Nabi yang menderita sakit tetap mengimami shalat, mengungkapkan keutamaan Abu Bakar dan kekhawatirannya perihal perlombaan kaumnya dalam meraih kejayaan duniawi. Beliau bermalam di rumah Maymunah, yang menjadi gilirannya, lalu kemudian bermalam di rumah Aisyah dikala penyakit semakin parah. Mengetahui kritikan perihal kepemimpinan Usamah, Nabi meminta air dari tujuh sumur yang berbeda dan kemudian memberikan nasehat. Tak lagi mampu mengimami shalat, Nabi dengan tegas memerintahkan Aisyah memberitahu Abu Bakar untuk menjadi imam. Esok paginya, Senin 12 Rabiulawal 8H (8 Juni 632M), demam Nabi menurun dan beliau pergi shalat di masjid, kemudian kembali ke pangkuan ‘Aisyah dan bergumam Q. 4: 69 sebelum meninggal dunia.

Kabar kematian Nabi segera menyebar, dan Umar bersikeras berpidato bahwa Nabi tidaklah meninggal hingga Abu Bakar tiba dan berpidato (Q. 3: 144). Di balai pertemuan, Sa’d ibn ‘Ubaydah merasa layak menjadi pemegang kekuasaan hingga Abu Bakar dan Umar tiba memberikan sanggahan, dimana Umar kemudian berbaiat mendukung Abu Bakar. Dalam proses pemakaman, orang-orang tertidur dan mendengar suara; “Basuhlah Nabi dengan pakaian yang dimilikinya”, dimana Abu Bakar kemudian mengungkapkan bahwa para Nabi dimakamkan di tempat mereka meninggal.

Terimakasih atas Pembelian Buku Original-nya!!

Note:
- dikhususkan bagi yang sudah membaca bukunya [sebagai pengingat].
- bagi yang belum membaca bukunya, amat sangat disarankan untuk membacanya [jika tertarik], sebab penulis memiliki cara penyampaiannya seorang penyair.


Friday, October 18, 2024 0 comments

Sinopsis "Berubah atau Punah - FX Afat Adinata & Kevin Wu" Bahasa Indonesia

 Berubah atau Punah
by: FX Afat Adinata & Kevin Wu

Penuturan Andy Mochan; “It was fry or jump, so I jumped”, mengungkapkan bahwa kita selalu mengambil keputusan, bahkan saat kita memutuskan untuk tidak mengambil keputusan. Burning platform mengungkapkan bahwa perubahan terjadi setiap saat, kapan saja, dan di mana saja. Dalam menanggapi hal itu terdapat tiga golongan; change maker (Steve Jobs), change adapter (Ludwig Van Beethoven), dan change quitter (Eastman Kodak Corporation). Burning platform adalah landasan yang bisa disamakan dengan pola pikir; landasan yang terus “membakar” agar kita tidak diam membeku, mendorong perubahan menuju arah yang lebih baik.

Hanya perubahan yang “tak pernah berubah”, dan yang berhasil bertahan ialah yang paling responsif terhadap perubahan. Revolusi Ilmiah pada abad ke-17, diikuti Revolusi Industri pada pertengahan abad ke-18, membuat kerusakan lingkungan meningkat drastis. Adapun teknologi-teknologi yang mengubah dunia: roda (3.100SM), lampu pijar (1879), mesin cetak (1440), telepon (1876), penisilin (1928), televisi (1926), barcode (1952), komputer (1856), dan internet.

Burning platform adalah pola pikir individu atau organisasi yang selalu membara dalam menghadapi berbagai tantangan yang muncul dari perubahan dalam rangka mencapai tujuan yang dicita-citakan. Burning platform dibagi menjadi empat kuadran; warm (comfort zone), on fire (archiever zone), frozen (absolete zone), dan burnout (cracked zone).

Comfort Zone (zona nyaman) adalah zona yang paling disukai oleh semua orang, dan kisah Ayam dan Elang menegaskan hal itu. Pertanyaannya; Bagaimana kinerja (prestasi) Anda (organisasi Anda) saat ini? dan Bagaimana tingkat semangat dan daya pacu Anda (organisasi Anda) saat ini?

Obsolete Zone adalah zona ketika kinerja/prestasi mengarah ke bawah, diistilahkan sebagai frozen (membeku), dan kisah Domba dan Gembala menegaskan hal itu. Pertanyaannya; Bagaimana kinerja (prestasi) Anda (organisasi Anda) saat ini? dan Bagaimana tingkat semangat dan daya pacu Anda (organisasi Anda) saat ini? “Melakukan sesuatu yang luar biasa” bisa menjadi kunci lompatan dari keterpurukan.

Cracked Zone (Burnout) adalah zona yang penuh perjuangan, dengan burning platform tinggi dan hasil yang rendah, dimana kisah Abraham Lincoln menegaskan hal itu. Pertanyaannya; Bagaimana kinerja (prestasi) Anda (organisasi Anda) saat ini? dan Bagaimana tingkat semangat dan daya pacu Anda (organisasi Anda) saat ini? Hukum Yerkes-Dodson mengungkapkan bahwa stres pada tingkat tertentu akan memicu kinerja, dimana kegagalan yang sesungguhnya terjadi saat kita berhenti berusaha.

Achiever Zone adalah zona dimana individu atau organisasi berhasil mencapai cita-cita dan target yang diharapkan, seiring dengan usaha dan upaya yang dilakukan. Perjalanan sukses Walt Disney merupakan contoh Achiever Zone, dimana ia memiliki burning platform yang On Fire (membara). Pertanyaannya; Bagaimana kinerja (prestasi) Anda (organisasi Anda) saat ini? dan Bagaimana tingkat semangat dan daya pacu Anda (organisasi Anda) saat ini? Kondisi ketika seseorang mencapai kinerja yang optimal pada tingkat stres tertentu yang justru menjadi daya dorong disebut Eustress (stres yang baik).

Kesuksesan bukanlah tujuan akhir, melainkan proses yang harus terus diupayakan. Dari itu, konsep berpindah ke Achiever Zone diistilahkan sebagai Dua Sisi Mata Uang (yin-yang): soft skill dan hard skill. Agar tetap berada di Achiever Zone, tanamkan pertanyaan ini dalam benak; “Apa yang akan terjadi bila saya tidak melakukan perubahan?” Soft skill terdiri dari: what is your desire (apa yang benar-benar Anda inginkan dalam hidup yang singkat ini?), decision (saya membuat keputusan untuk berubah saat ini juga!), giving a meaning (memberikan makna yang positif dan bermanfaat pada setiap kejadian), paint and pleasant (kepedihan dan kesenangan memberikan pengaruh bagi kehidupan kita), belief system (“perasaan pasti” dalam diri Anda terhadap sesuatu). Hard skill terdiri dari: goal setting (menentukan tujuan yang jelas), strategy development (menentukan strategi yang sistematis dan logis untuk mencapai tujuan), discipline action (menjalankan strategi dengan tekun), check and evaluate (menganalisis tindakan), corrective action (memperbaiki tindakan).

Terimakasih atas Pembelian Buku Original-nya!!

Note:
- dikhususkan bagi yang sudah membaca bukunya [sebagai pengingat].
- bagi yang belum membaca bukunya, amat disarankan untuk membacanya [jika tertarik], sebab setiap penulis memiliki cara penyampaiannya sendiri-sendiri.

 

 
;