Friday, March 22, 2024 0 comments

Sinopsis "Nagra & Aru - Inggrid Sonya & Jenny Thalia" Bahasa Indonesia

 Nagra & Aru
by: Inggrid Sonya & Jenny Thalia

Aru: Hari pertama masuk sekolah kusambut dengan riang gembira, untuk kusapa calon imamku; NAGRAAA! Pertama kali aku bertemu dengannya saat MOS di jam istirahat, dimana kudapati dia tengah bersandar di pilar di sudut kantin sambil memakan es batu.

Nagra: Setibanya di sekolah, aku menawarkan diri untuk mengantarkan Tasya (adik kelas) ke kelasnya, yang awalnya ditolak. Di kelas IPS 3, Alex, teman sebangkuku menyapaku dengan sengit, diikuti dengan sapaan Aru yang membuatku merinding. Aurora Savira telah mengejar-ngejarku sejak kelas 10, dan sekarang ia duduk di depanku, kembali menceritakan kisahnya disertai gombalan-gombalan. Setelah bel istirahat, aku yang bermaksud pergi ke kantin, segera pergi membantu untuk memabantu Igo setelah mendapati informasi dari Alex bahwa guru BK, Pak Darman, tengah melakukan inspeksi.

Aru: Sementara aku dan Papa menyukai bubur ayam tidak diaduk, Mama dan Abang menyukai bubur ayam diaduk, dan sekarang aku berada di kantin bersama Fera, Rini, dan Olli, yang lebih memilih makan mi instan. Setelah makanan habis, kabar perkelahian Nagra dan Igo terdengar, dan aku pun harus berhadapan dengan seminggu kelabu setelah dua minggu kelabu berlalu.

Nagra: Setelah terpaksa melanggar prinsip “bodo amat”, aku kembali masuk sekolah setelah seminggu, dimana Alex dkk menyambut kedatanganku bagaikan seorang Avatar. Kami pun merayakannya dengan mengunjungi siswi kelas 10, dan aku menyapa Aeril, seorang adik kelas yang palign alim dan manis. Kami kemudian bertemu dengan Igo dkk--komplotan dewa sekolah--yang menerima sindiranku dengan baik, diikuti dengan sapaan Aru di kelas, yang mengurungkan niatku masuk ke kelas.

Aru: Seminggu berlalu sejak insiden Nagra-Igo, dan aku pun menyapa Nagra yang menanyakan padaku apakah aku salah bantal (Oh Tuhan..). di jam kosong sebelum jam olahraga, aku memutuskan untuk tetap di kelas karena keasyikan baca webtoon, dimana sempat kudapati sosok Igo tengah mengawasi.

Nagra: Hari ini ada jam Pelajaran olahraga, mata Pelajaran yang paling aku suka, dan kami melakukan loma lari estafet, dimana Aru berhasil meyakinkan Alwi supaya bisa satu tim denganku. Meskipun sudak kuperingatkan, Aru dengan percaya diri mengisi garis keempat melewati perkampungan di belakang sekolah, dan tiba paling akhir dengan celana kotor dan sedikit sobek.

Aru: Di saat anak-anak cowok sholat jum’at, aku sebagai anak cewek mendapatkan giliran untuk piket, dan pergi membuang sampah setelah sempat mager membaca webtoon. Saat melewati gudang, kusadari keberadaan Igo dkk di gudang, dan aku pun melabraknya hanya untuk mendapati Igo menertawakanku.

Nagra: Bersama dengan yang lainnya, aku menerima teguran dari Pak Ustaz karena bermain di masjid. Setibanya di kelas, aku harus menemani Aru piket dan terkejut mengetahui dia berurusan dengan Igo, dimana telpon dari Wulan membuatku segera pergi meninggalkannya.

Aru: Setibanya di rumah, kakakku mengungkapkan bahwa Igo menitipkan salam padaku, mengingatkanku pada Nagra yang menolak pernyataan cintaku di bulan Agustus lalu. Pagi harinya, aku yang awalnya hendak pergi ke sekolah bersama kakakku, mendapati Igo datang menjemput.

Nagra: Setelah kehilangan ayah di kelas 6 SD, aku berkenalan dengan Wulan, yang juga kehilangan ibunya, dan kami pun berhubungan dekat hingga ia pergi tanpa kabar saat kelas 9 disertai sebuah surat. Wulan menceritakan apa yang terjadi setelah makan empek-empek dan pergi ke Ancol. Keesokan paginya, dengan penuh kebahagiaan, aku membonceng Wulan ke sekolah dan mendapati Igo menyapa dengan membonceng Aru.

Aru: Aku berterimakasih pada Igo dan mengajaknya untuk trial and error pedekatean dalam rangka pedekate dengan Nagra, dimana Igo mengantarkanku ke kelas, dan Nagra pun segera mempertanyakan sikap Igo, yang menjawabnya dengan tegas. Aku pun kemudian berkenalan dengan Wulan, yang sempat mematung.

Nagra: Setelah sadar meninggalkan Wulan, aku kembali menemuinya yang tengah berbicara dengan Aru dan mengantarkannya ke kelasnya, yang ternyata sekelas dengan Igo. Anak-anak kelas Igo segera bersorak mendapati kedatanganku bersama Wulan. Dan aku pun tak mampu menahan diri mendengarkan perkataan mereka terhadap Wulan, sehingga aku pun mengajak Igo ke gudang setelah meleparkan kursi ke belakang.

Aru: Mengetahui kedekatanku dengan Igo, Fera segera memberikan teguran, sementara Rini dan Olli tak terlalu ambing pusing. Di jam istirahat, kami pun pergi ke kantin dan mendapati Igo dkk menemani, dimana Igo memastikan traktiranku. Kantin yang awalnya penuh, menjadi senggang dengan kedatangan Igo, dan kami pun makan bubur bersama. Tak lama kemudian, Nagra tiba bersama Wulan dan menyapa dengan tegas, mempertanyakan sikap Igo secara tersirat.

Nagra: Situasi kelas 11 IPS 3 kacau karena jam kosong, dimana aku tertawa sendiri mendapati sikap Aru yang sibuk mencari keberadaan Flash Disk-nya. Malam harinya, aku yang mengantuk menerima telepon dari Wulan, yang mempertanyakan hubunganku dengan Igo, dimana aku kemudian kepikiran Aru saat melihat Flash Disk-nya yang lupa aku kembalikan.

Aru: Aku berangkat sekolah lebih siang karena adanya pestas budaya di sekolah, dan aku pun meminta Bang Gani untuk mengantarkanku, tak lupa kutanyakan apakah dia tahu keberadaan flash disk-ku. Mengikuti keinginan Olli, aku, Fera, dan Rini, pergi kantin sebelum melihat-lihat, dimana aku yang memasuki rumah honai seorang diri bertemu dengan Nagra yang mengembalikan flash disk-ku disertai ungkapan penolakan tegas.

Nagra: Saat hendak menanggapi ledekan teman-temannya perihal hubungannya dengan Wulan dan hubungan Aru dengan Igo, aku menerima telepon dari Mas Elang yang memintaku untuk langsung pulang sepulang sekolah. Tidak mendapati waktu yang tepat untuk mengembalika falsh disk Aru, aku mendengar informasi perihal Wira yang membawa Igo ke KP dan segera pergi ke sana setelah menelpon Alex. Setibanya di rumah, Dimas memukulku karena Ibu drop, dan aku memukulnya balik setelah mengetahui Ibu baik-baik saja di rumahsakit. Setelah mengirim pesan pada Mas Elang, aku pergi ke rumah Igo untuk menginap, dan sekaligus merawatnya, dimana aku pun membalaskan pesan Aru untuknya. Keesokan harinya, di acara budaya, Aku memberikan penegasan pada Aru yang memasuki rumah honai, diikuti dengan pengumuman di depan kelas bahwa aku berpacaran dengan Wulan.

Aru: Di tengah kegalauan yang disadari oleh Mama, aku mendapati Igo berada di rumah saat malam, dimana Mama dengan telaten mengobati luka-lukanya. Menyadari kegalauanku, Igo yang tengah babak beluar menawarkan pundaknya sebagai sandaran.

Nagra: Setelah lelah bermain futsal, aku menghampiri Wulan yang menungguku di salah satu warung kopi, dimana aku berbicara panjang lebar perihal Aru ketika Wulan berbicara tentangnya. Saat penilaian olahraga di kolam renang umum, aku yang mengkhawatirkan Aru, seringkali memperhatikannya, dan segera menolongnya yang hampir tenggelam tanpa mampu meminta tolong terlebih dahulu. Mendapati Aru menggunakan pakaian basah, aku pun memberikan kaus poloku padanya, dimana Igo datang kemudian. Aku mengajak Wulan ke angkringan di pinggiran flyover, dimana di Wulan mempertanyakan apa yang terjadi pada Aru dan memutuskan untuk hanya berteman denganku.

Aru: Setelah diantar Igo semalam, aku bangun kesiangan dan terlambat ke sekolah, dimana kudapati Nagra ikut memanjat dinding bersamaku. Karena merasa kurang enak badan, aku pun pergi ke UKS di jam istirahat, dimana Igo datang menjenguk. Aku terbangun satu jam setelah bel pulang, dimana kudapati Nagra tertidur di kursi guru dan kemudian menyerahkan tasku, dan depan gerbang, Igo telah syiap mengantarkanku pulang.

Nagra: Setelah putus, benar-benar putus dari Wulan, aku berusaha menyibukkan diri dengan bermain, namun tetap susah tidur, sehingga bangun kesiangan. Sialnya, aku melah bertemu Aru saat hendak memanjat tembok, dimana aku kemudian tertawa kecil mendapati tingkah Aru di kelas, mengingatkanku pada ucapan Wulan. Mendapati keadaan Aru yang kurang sehat dan berada di UKS, aku pun pamit di jam pelajara Bahasa Inggris untuk menjenguktnya. Aku baru putus dengan Wulan semalam tapi sibuk memikirkan Aru, aku bahkan menungguinya dan mengikutinya ke luar kelas hingga Igo tiba untuk mengantarkannya pulang.

Aru: Setelah dua hari izin sakit, aku menerima informasi dari Fera bahwa Nagra telah putus dari Wulan, dan aku menanggapinya dengan enggan, dimana beberapa hari ini Nagra menanyakan keadaanku melalui chat. Di jam Pelajaran BK, Nagra ikut tertawa mendapati curhatanku pada teman-teman, yang diikuti dengan sindiran-sindiran. Guru BK, Bu Nina, meminta kami untuk melihat kembali peta kehidupan yang kami buat saat kelas 10 dulu, dan kudapati Nagra berada di sana. Sepulang sekolah, kudapati Igo tengah bersama kakak-kakak kelas berandalan, dan Nagra tiba untuk membawanya padaku.

Nagra: Perasaanku pada Wulan beda dengan perasaanku pada Aru, dan aku barus menyadari perasaan itu saat dia jauh dari jangkauan. Di jam geografi Pak Ruhdin, aku yang mendapati Aru lupa membawa buku cetak, mengajukan diri untuk menerima hukuman, dan kemudian menghubungi Igo setibanya di kantin. Aku tersenyum sendiri mengetahui namaku ada di peta hidup Aru, dimana kudapati Aru melihat Igo bersama rombongan Wira. Selepas maghrib, aku pergi ke rumah Igo dan mendapati kedua orangtuanya pergi dengan mobil masing-masing, dimana kudapati Igo tengah memulai ritual haramnya.

Aru: Pagi hari saat hendak berangkat sekolah, kudapati Nagra datang menjemputku, yang ternyata saran dari Igo. Sementara jam istirahat masih satu jam lagi, aku menemani Rini ke toilet sekaligus mampir ke kantin. Dalam prosesnya, aku bertemu dengan Wulan, diikuti dengan kedatangan gerombolan Wira Fahrezi.

Nagra: Mengetahui Aru tengah bersama komplotan Wira di gudang sekolah, Aku yang tengah bersama satpam sekolah, Bang Nahar, berhasil menemukan ide untuk menghabisi Wira melalui pamannya. Aku mengantarkan Aru yang kaku mempertanyakan tentang Igo, sehingga aku pun mengantarkannya menemui Igo sebelum mengantarkannya pulang. Sebelum pergi, aku meminta Aru untuk menerima jika nanti aku bersikap aneh.

Aru: Pelukan Igo terasa menyakitkan setelah mengetahui bahwa dia pengguna narkoba, dimana aku berusaha membantunya melalui rehabilitasi, dan Igo pun melakukan rehabilitasi di RSKO—di Jakarta Timur.

Nagra: Berkat tekadnya, Igo bisa keluar dari rumah sakit beberapa minggu lagi, dimana dia menanyakan keberadaan kelas Aru yang ternyata berbeda dengannya. Dengan perbedaan kelas, aku tetap mencoba mengawasi Aru yang tetap sering ceroboh, dimana aku yang membawakannya paying saat memfotokopi, mendapati Aru mengajakku menemaninya ke MKG. Dengan kegirangan, aku mempersiapkan diri sebaik mungkin hanya untuk mendapati Aru mengungkapkan bahwa ia meminta bantuanku untuk memilih hadiah untuk Igo. Kudapati Aru berdandan sangat cantik untuk menyambut kedatangan Igo, yang menerima sambutan Aru dengan hangat, sementara aku berusaha untuk baik-baik saja hingga kudapati keduanya hendak berciuman.

Aru: Selama direhabilitasi, Igo tak mau aku menghubunginya, dan aku menerima semua informasi dari Nagra, yang bersikap sungguh berbeda padaku. Dengan penuh kebahagiaan, aku menyambut kedatangan Igo ditemani Nagra, yang menghilang secara tiba-tiba. Besoknya, Igo mengantarkanku ke sekolah, dimana kusapa Nagra yang menjawabku seadanya.

Nagra: Aku yang berusaha menghindari Aru berusaha untuk terlihat biasa dengan sikap Aru, apalagi dengan keadaan Igo yang membaik. Dalam rangka menghindari Aru yang tengah bersama Igo, aku kembali ke kelas dan mendapati Wulan merendahkan sikapku dengan menyerahkan kertas ulangan. Perkataan Wulan membuatku menyadari keadaan Ibu dan menangis di pelukannya. Aku pun membulatkan tekad untuk ikut Akmil, bahkan memberitahukan hal itu pada Aru.

Aru: Setelah hari itu, Nagra tak mengatakan apa pun lagi, dimana aku disibukkan dengan persiapan UN. Igo pun menanyakan jawaban dari pertanyaannya yang belum kujawab.

Nagra: Dalam rangka mengikuti tes Secaba, aku berlatih dibawah arahan Pak Wayan dan hanya memfokuskan diri pada latihan, yang sebenarnya merupakan bentuk dari pelarian. Menanggapi UN pun, aku belajar gila-gilaan, diikuti dengan latihan tanpa henti dan berhasil baik. Aku pun menelpon Aru untuk mengungkapkan keberhasilanku, namun kuurungkan hanya untuk mendengarkan suaranya. Di pesta kelulusan sekolah, aku yang bermaksud mengungkapkan hal itu secara langsung pada Aru, mendapati Igo mengungkapkan bahwa ia telah berpacaran dengan Aru.

Aru: Ujian Nasional tinggal tiga bulan lagi, dan di hari terakhir pameran budaya, kudapati Nagra di depan rumah honai buatan kelasku. Aku pun sering belajar bersama Igo di rumahku, dimana Bang Gani mempertanyakan perihal Igo di RSKO tanpa menyadari Igo telah datang. Saat sedang marathon drakor, aku terkejut mendapati Nagra menelpon. Di peste kelulusan, Igo membawaku berkeliling menuju Gedung B dan mengungkapkan bahwa ia tidak bisa lagi berteman denganku.

Nagra: Aku dinyatakan masuk seleksi Secaba Angkatan 2017 dan akan berangkat ke Rindam VI/Diponegoro, Magelang, dimana Wulan datang berkunjung, begitu juga Igo kemudian. Setelah bercanda lepas, Igo mengungkapkan bahwa ia mengetahui perasaanku pada Aru dan memberikanku satu hari. Meskipun awalnya menolak, aku pun memutuskan untuk pergi setelah melihat video Aru Caca Marica dan hadiah yang belum kuberikan. Pagi-pagi aku sudah berada di depan rumah Aru untuk mengajaknya jalan-jalan naik bus di Terminal Rawamangu menuju Terminal Leuwipanjang dalam rangka menghadapi traumaku. Dengan menyewa Jeep, kami berkeliling Bandung, mengunjungi alun-alun Bandung, Lembang, lalu ke Jalan Braga, dimana di sana aku menyanyikan lagu Dan – Sheila on 7 untuknya. Destinasi terakhir adalah Bukit Bintang, di sana aku mengungkapkan semuanya dengan memberikan hadiah itu. Setibanya di depan rumah Aru, aku pun menyampaikan pesan terakhir.

Aru: 3 tahun telah berlalu sejak kepergian Nagra, dan aku yang tengah menaiki bus menuju universitas terlibat perselisihan dengan Theo di telepon dan berakhir putus, dimana hubunganku dengan Igo berakhir sebelum genap dua tahun. 4 tahun kemudian, aku sudah menjadi guru di sebuah SD swasta, dan Gerombolan Boros sering ngumpul di rumah Fera, yang kali ini mengumumkan hendak menikah dengan Roji, dan Nagra hadir dalam acara tersebut.

Nagra: Aku pulang ke rumah mewah keluarga, semenjak kesuksesan Mas Elang, tanpa Ibu, yang telah meninggal dua tahun lalu. Di kamar kucek surat-surat yang datang, termasuk undangan dari Roji, juga Igo, yang segera kutelpon dan kemudian bertemu di sebuah kafe. Di acara resepsi Roji, aku bertemu kembali dengan teman-teman SMA, namun tak juga menemukan keberadaan Aru hingga suaru itu terdengar kembali.

Aru: Aku tak pernah berpikir bisa bertemu dengannya seperti sekarang, dengan godaan dari teman-teman yang kemudian menyanyikan lagu Jadikanlah Aku Pacarmu, sementara Nagra mengajakku untuk duduk. Igo dan Fanya datang menyapa, dan Nagra pun mengajakku pergi.

Nagra: Diiringi lagu Isyana, aku berkendara bersama Aru, dan menawarinya telur puyuh, dimana akhirnya kuungkapkan kerinduanku padanya setelah ia mengungkapkan bahwa ia suka naik bus. Di rumah Aru, keluarga Aru menyambutku dengan baik dan menggodai Aru. Esok harinya, aku yang mengantarkan Keylen ke sekolah, kembali bertemu dengan Aru, dimana kutanyakan apakah dia bersedia menjadi Ibu Persit?


Note:
- dikhususkan bagi yang sudah membaca bukunya [sebagai pengingat].
- bagi yang belum membaca bukunya, amat disarankan untuk membacanya [jika tertarik], sebab setiap penulis memiliki cara penyampaiannya sendiri-sendiri.


Friday, March 8, 2024 0 comments

Sinopsis "Melawan Melalui Lelucon - Abdurrahman Wahid" Bahasa Indonesia

 Melawan Melalui Lelucon
Kumpulan Kolom Abdurrahman Wahid di TEMPO

BAB I: Agama dan Pesantren

Ucapan Nabi: “Beramallah bagi duniamu seolah-olah kau benar-benar akan hidup selamanya; dan beramallah untuk akhiratmu seolah-olah engkau benar-benar akan mati esok,” membuktikan bahwa Islam memandang urusan duniawi sama pentingnya dengan urusan ukhrawi. Namun, penafsiran diktum membentuk modernisme parsial yang menghasillkan moralitas ganda sebagaimana kegairahan membangun ritus agama di tengah-tengah merajalelanya kemiskinan. Disaat tugas utama agama: mengangkat derajat manusia dari kemiskinan dan kehinaan, akankah agama mampu menjadi pendorong bagi pembangunan bangsa?!

Skeptisisme yang tak terucapkan akan adanya peranan agama dalam pembangunan kita, mengharapkan para agamawan; mengajak masyarakat merumuskan sendiri kebutuhan pokok mereka, menyadarkan mereka akan bahaya kesenjangan ekonomi, dan mengikutsertakan mereka dalam sumber-sumber ekonomi utama (modal, tanah, dan keterampilan teknis).

Sebagaimana ludruk dari Jombang, Islam datang ke Jawa; memicu interaksi antara budaya asli Jawa dan bidaya Islam yang baru datang. Dan untuk pergulatan sosial-budaya, adakah yang lebih tepat dari bala bantuan perwira berupa kiai sebagai “barisan opsir agamawan”?

Seorang peneliti yang merumuskan pemberantasan kemiskinan, diperlakukan sengir oleh para peserta latihan yang berasal dari berbagai pesantren. Hal ini mengungkapkan bahwa kerja di atas beraarti kewajiban mengembangkan Bahasa komunikasi yang dapat dipakai untuk menghubungi para agamawan secara santai dari hati ke hati. Manusia dapat menentukan jalan hidupnya sebagaimana dirumuskan dalam firman Allah; “Jangan kau lupakan bagiamu dari (harta) dunia,” dan sebangsanya.

Kunjungan ke Australia, membawa saya ke Gereja Wayside Chapel di King’s Cross (jantung kota metropolitan Sydney) dibawah pimpinan pendeta Ted Noff, yang mengungkapkan teologia gombal kebingungan Ilahi (Godly confusion). Meski begitu, gereja tersebut dapat menjadi kekuatan pendorong yang demikian positif bagi pelayanan kebutuhan local di pusat kehidupan malam. Hal ini menunjukkan bahwa lahirnya kepastian dari kebingungan teologia gombal hanyalah akibat belaka dari ketidakjelasan jawaban teologia yang sudah mapan dan penuh kepastian, dari agama-agama besar.

Gerakan sempalan di kalangan kaum muslimin muncul dari ketidakmampuan mencernakan dampak modernisasi yang semakin lama semakin maju, tetapi timpang jalannya. Hal ini sebagaimana kredo; “Tak ada agama tanpa masyarakat, tak ada masyarakat tanpa pimmpinan, dan tak ada pimpinan tanpa pemimpin.” Hendaklah Gerakan sempalan tidak diterapkan pada batang tubuh umat, perlakukanlah ia sebagai sesuatu yang wajar, dimana sikap wajar yang semakin bertambah akan meminimalkan kecenderungan bersempal-sempalan.

Istilah “imam” memiliki arti berlain-lainan dalam perkembangan sejarah Islam. Perlawanan keagamaan mengambil bentuk tidak hanya politis, seperti pada tradisi keimanan Syi’ah, melainkan juga kultural: yang dilambangkan dengan munculnya “imam ilmuwan” seperti al-Ghazali. Dengan sendirinya, lalu, dibutuhkan kepemimpinan untuk menyelenggarakan pemurnian ajaran agama. Hal ini terjadi karena kegagalan kepemimpinan umat untuk menyediakan proses pencernaan yang sehat dan jawaban yang wajar terhadap proses perubahan cepat yang dibawakan modernisasi yang sedang melanda selurh dunia Islam dewasa ini.

Banyak kiai memiliki sifat aneh, tetapi yang paling sering didapati adalah sikap egosentris mereka. Mungkin ini merupakan kompensasi kejiwaan untuk mengimbangi keharusan berpola hidup serba konformistis dengan sesama kiai. Juga mengimbangi “larutnya kepribadian” dalam tugas pelayanan mereka yang begitu total kepada kehidupan masyarakat. Dan dalam forum musyawarah hukum agama antara sesama kiai terletak “katup pelepas" untuk menunjukkan arti diri mereka dalam rutin kehidupan serba datar tersebut. Tidak heranlah jika upaya seperti itu pernah membawa kepada suatu kejadian yang berakibat positif, walaupun menggelikan.

Kasus “Fatwa Natal” dari MUI ternyata mengehebohkan, hingga Buya Hamka meletakkan jabatan sebagai ketua umum MUI. MUI memang dibuat hanya sekadar sebagai penghubung antara pemerintah dan umat pemeluk agama Islam. Karenanya, mengapakah MUI tidak memulai saja dari masalah-masalah dasar bangsa, sebagaimana kemiskinan, ketidakadilan, juga kebodohan?!

Alasan mengapa banyak pemuka Masyarakat Islam marah kalau mendengar sebutan “kaum fundamentalis” atau tersinggung kalau ada orang membicarakan “isyu negara Islam”, dikarenakan mereka yang mengidealisasi Islam sebagai alternatif satu-satunya terhadap segala macam isme, disertai dengan “mental banteng”; penutupan akan kemungkinan penyusupan gagasan yang akan merusak kemurnian Islam.

Suara bising kaset biasanya dihubungkan dengan musik kaum remaja, tanpa adanya unsur keagamaan. Namun, ada “persembahan” berirama yang menampilkan suara lantang, apalagi lepas tengah malam di saat orang sedang tidur lelap. Nabi Muhammad mengatakan bahwa kewajiban (agama) terhapus dari tiga macam manusia: mereka yang gila (hingga sembuh), mereka yang mabuk (hingga sadar), dan mereka yang tidur (hingga bangun). Jadi, tidak ada alasan untuk membangunkan orang yang sedang tidur agar bersembahyang—kecuali ada sebab yang sah menurut agama (Illat).

Penelitian dakwah mengungkapkan bahwa umumnya respoden menganggap hidup hanya untuk bekerja, sedikit sekali yang menjawab bahwa hidup ini untuk beramal dan mengabdi. Bukti paling nyata dari sikap memisahkan agama dari hidup ialah tidak bertautnya moralitas kemasyarakatan kita dengan ajaran agama, sebagaimana kesenjaganan si kaya dan si miskin yang semakin membesar. Ternyata, tujuan dakwah itu sendiri belum menjadi tujuan hidup bermasyarakat, sehingga efektivitas dakwah masih harus diteliti?

Sarjana X yang baru menamatkan studi di luar negeri terkejut mendapati ekspresi kemarahan orang-orang muslim atas wawasan ilmiah, mengarahkannya pada seorang guru tarekat yang mengungkapkan: “Allah itu Maha Besar. Ia tidak memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya.” Hal ini menunjukkan bahwa informasi dan ekspresi diri yang dianggap merugikan Islam sebenarnya tidak perlu terlalu “dilayani”, cukup diimbangi dengan informasi dan ekspresi diri yang “positif kontruktif”.

Terjemahan Alquran H.B. Jassin menuai serangan dan keberatan, sehingga diharapkan akan terjadi perdebatan terbuka. Permasalahannya sangat menarik untuk diketahui kejelasannya, seperti; Dapatkah dilakukan terjemahan tidak langsung atas Alquran tanpa penguasaan mendalam atas Bahasa Arab? Adakah pengaruh moralitas dan perilaku pribadi seorang penerjemah terhadap sah atau tidaknya karyanya?

Pondok pesantren terdiri dari dua patah kata: Pondok yang berasal dari kata Arab funduk (tempat warga tarekat menyepi, dan Pesantren yang merujuk pada asal-usul pra-Islam. Pesantren yang sebenarnya lembaga perkotaan mulai menjadi lembaga pedesaan, dari yang serba tarekat menjadi serba fiqih. Masalah pokoknya: dapatkah orientasi serba fiqh dipertahankan untuk jangka panjang?

Implikasi teriakan kondektur bis PPD di hari Minggu yang beralih menjadi “Kwitang! Kwitang!”, menunjukkan bahwa agama bertali-temali dengan sektor-sektor lain dalam kehidupan masyarakat, sebagaimana berkah haji. Dengan demikian, agama yang semula berfungsi sebagai ajaran, lalu berfungsi sebagai institusi atau kelembagaan. Dan bermulalah sebuah proses penduniawian kehidupan beragama: agama sama dengan acara-acara tertentu; sehingga bukan ajaran agamanya yang disucikan, diagungkan, dan disyahdukan, tetapi upacara-upacara yang mendukungnya.

Kumpulan sajak anak-anak di majalah Zaman, dengan kebanayakan berbentuk doa, merupakan bentuk potensi yang dimiliki untuk menatap masa depan dengan sehat dan baik (mampu melihat realitas kehidupan). Hal ini sebagaimana sajak dari Rudiawan Triwidodo dalam sajak Doa di Bibir Sumur.

Tidak disangka, penggunaan kerudung sebagai simbol menjadi titik sengketa, fokus sebuah konflik sosial. Ini tidak lain adalah pencerminan dari kuatnya tuntutan di kalangan remaja muslim agar ajaran Isalam dilaksanakan secara tuntas dan kosekuen, juga bagian dari meningkarnya kesadaran beragama di kalangan kaum remaja muslim dewasa ini. Tidak kurang pentingnya adalah juga kekecewaan mereka terhadap kegagalan elite kaum muslimun di seluruh dunia yang tidak mampu mengangkat derajat agama mereka di hadapan tantangan “pihak luar” terhadap Islam.

Setelah hampir sepuluh tahun, sejumlah mahasiswa kita yang belajar di Kawasan Timur Tengah datang ke Eropa Barat, dan rutinitas pekerjaan tanpa perubahan mengarahkan mereka mengambil identitas “perjuangan Islam”. Dan mereka segera mekar, melalui perkawinan dan datangnya orang-orang lain, dan didirikanlah Perhimpunan Pemuda Muslim Eropa, dimana mereka akhirnya mampu membuat mushalla (surau alias langgar) di Kota Den Haag.

Munawir Djadzali sebagai Menteri agama Kabinet Pembangunan IV, menulis tesis untuk gelar Master of Art tentang ada-tidaknya konsep kenegaraan dalam Islam, dimana ia menyangkal adanya kerangka kenegaraan dalam Islam. Hal itu mengundang reaksi keras para ulama al-Azhar, dan ia pun dikeluarkan dari peekerjaannya, bahkan bukunya pun disita. Memang, tidak mudah membicarakan ada-tidaknya konsep kenegaraan dalam Islam; belum adanya kesamaan pemahaman atas istilah-istilah yang digunakan, umapama saja “konsep”.

Mengafirkan orang jelas tindakan salah, sebagaimana makian murtad terhadap seorang pejabat tinggi yang menyatakan semua agama sama di negeri ini. Masalahnya, toh, akan terserah kepada Tuhan. Tapi, yang merisaukan adalah mudahnya sumpah serapah keluar dari para pengajur agama. Pertama kita harus mampu membedakan antara berjenis-jenis “kesamaan”, yang di mata agama dan yang di mata negara.

Islam mengalami perubahan-perubahan besar dalam sejarahnya, yang berujung pada ssstem pemerintahan monarki. Dan kebutuhan akan “penyatian” pandangan itu akhirnya menampilkan formalism Islam berbentuk “arabisasi total”. Salahkah kalau Islam “dipribumikan” sebagai manifestasi kehidupan?

Sebagai pemegang jabatan manajer sebuah usaha bisnis patungan dengan penanaman modal “kecil” dari salah satu negara Asia (non-Jepang), ia mengaku bersimpati pasa Masjumi; tetap tekun menjalankan perintah agama, sedapat mungkin tetap yakin bahwa moralitas lebih penting dari sukses material, dan merasa bahwa dengan pola hidup seperti ia tetap mampu merengkuh modernitas dalam arti penuh. Dan “seni”-nya adalah ketika ia menyatakan kepada lawan bicaranya yang NU akan afiliasinya itu: “Maaf, Pak, saya sebenarnya orang Masjumi, tetapi merasa perlu konsultasi dengan Bapak.”

Kata tarbiyah berarti pendidikan, namun di negeri ini dikhususkan untuk pendidikan agama Islam. Penyempitan arti terjadi sebagai kompensasi atas apa yang dirasa kekalahan, yang juga mencerminkan proses kompensatoris (‘penduniaan’ pendidikan). Dari itu, pendidikan agama menjadi ‘titik balik’ untuk merebut wilayah-wilayah yang sudah lepas melalui perguruan tinggi.

Penyataan bahwa negara Indonesia adalah “negara sekuler” (ada pembagian wewenang antara mana yang dibidang negara dan mana yang dibidang lembaga keagamaan), segera mendapatkan kritikan, dimana negara kita mengakui legitimasi peranan agama dalam kehidupan masyarakat. Masalahnya seferhana, tetapi ia menunjukkan masih rapuhnya kehidupan konstitusional kita.

Tiga orang intelektual muslim kita yang memiliki pendirian masing-masing mengalami persamaan nasib di negeri orang, yakni sama-sama menolak mengikuti konferensi yang menerima seorang tokoh separatis. Hal ini menunjukkan menangnya ikatan kebangsaan atas ikatan keagamaan, bahwa kepentingan nasional dapat menciptakan ikatan kebangsaan untuk mengkonkretkan hidup beragama.

Berbeda dengan oom senang, pamor bapak angkat masih cukup tinggi dalam masyarakat kita, terutama dalam masalah adopsi, dimana para ulama dan pemuka Islam memberikan penolakan. Apa Islam tidak mau tahu nasib orang yang menderita karena tak punya anak? Atau tidak kasihan melihat bayi-bayi yang tak akan terangkat nasibnya bila tidak diambil anak oleh orang lain yang bernasib lebih baik? Rigiditas atas kekakuan hukum Islam sering dikeluhkan orang. Sudah waktunya memikirkan sebuah pendekataan yang memperlakukan manusia secara lebih menyeluruh.

Para kiai di Rembang membuat skla prioritas ibadah, perihal ibdah haji tiap tahun seorang pedagang di saat ada yang lebih membutuhkan pembiayaan, pembangunan madrasah. Pedoman (kaidah)-nya ialah: “amal perbuatan yang berlanjut diutamakan atas amal perbuatan yang terhenti” (Asybah WaNaza’ir by as-Sayuti), juga kaidah: tasharruful imam manutun bil maslahah (“Kebijaksanaan si pengambil keputusan mengikuti kepentingan rakyat”).

Suatu hal yang langka selama hampir 50 tahun Indonesia merdeka terjadi: selama tiga tahun berturut-turut terjadi dua Idul Fitri. Yang menggembirakan adalah kenyataan bahwa suasana tidak diracuni oleh perbedaan hari berakhirnya puasa. Kondisi ini dalam kitab kuning, dikenal sebagai keadaan istikmal, dimana Shalat Id tidak wajib hukumnya.

BAB II: Tokoh

Kiai Muchit lebih sebagai wakil dari tipe “intelekulama” daripada “ulama-intelek”, dimana keduanya bergantung kepada keberanian moral untuk mempertahankan pendirian dan keyakinan. Kia Muchit harus ribu dengan kiai-kiai lain yang menentang WPA dan UUPBH, sehingga dipredikat sebagai kiai “nyentrik”, yang kembali harus berhadapan dengan kemarahan umat dalam Kasus Jenggawah.

Bung Hatta bukan  bagian dari perjuangan kita, begitulah kira-kira jalan pikiran berbagai macam Gerakan itu. dimana di akhir hayatnya, ia justru menjadi contoh dari seorang muslim tulen, yang penuh dengan jadwal waktu tetap untuk beribadat kepada Allah. Seminggu kemudian sejumlah mahasiswa muslim berbincang-bincang tentang besarnya impian orang seperti Bung Hatta: Indonesia merdeka—di saat belum ada tanda-tanda kemerdekaan sedikit pun.

Kiai Khasbullah Salim almarhum memang orang luar biasa. Ia harus berkelahi untuk mendirikan ranting NU di Desa Denanyar, dan terlibat perseteruan dengan Gerakan baru Darul Hadith ketika pindah ke Desa Rejosari. Terlepas dari score dua-nol, Kiai Khasbullah mengungkapkan perihal penuturan sang guru (almarhum Kiai Zaid Semelo) bahwa kenakalan pemimpin gerakan baru itu tidak usah digubris, nanti ‘kan hilang sendiri kenakalan itu kalau dia mati. Setidak-tidaknya, toleransi kepada gerakan-gerakan “sempalan” dalam Islam harus diperhitungkan sebagai salah satu jalan terbaik untuk mendewasakan sikap hidup umat secara keseluruhan.

Kiai Sobari sebagai gambaran kiai yang ikhlas tapi kolot, pergaulan luwes tapi pendirian kaku, menyanjung-nyanjung SMP-SMA atas tegaknya disiplin dan peraturan dibandingkan dengan Madrasah Aliyah yang belum sadar pada peraturan. Hal ini menunjukkan bahwa kiai ‘kolot’ ini memiliki logika dan rasionalitas mereka sendiri.

Kiai Adlan Ali, sebagai murid setia Kiai Hasyim Asy’ari, merupakan orang yang senang bergurau harus, banyak menjawab dengan mengelak, dan senantiasa menunjukkan kerendahan hati dalam bersikap dan bertutur kata. Pola sikap hidupnya penuh pembalikan pendirian (kalua dilihat sepintas lalu saja), sebagaimana mengikuti tarekat Kiai Ramli Rejoso sepeninggal sang guru, yang tidak mengizinkannya memasuki tarekat, dan kemudian memimpin tarekat sendiri. Hal ini ternyata merupakan bentuk ketundukan di dalam (inner obedience) yang tampak sebagai pengingkaran di luar (outer disobedience).

Kiai Abdul Razaq Makmun adalah profil tersendiri di antara “barisan” kiai di kalangan kaum Betawi. Tema pembicaraannya hanya berkisar pada pentingnya “menuntut ilmu”, dimana ia kemudian juga mengungkapkan tentang pentingnya transmigrasi.

Kiai Pantai utara Jawa memang terkenal keras sikapnya, kaku pendiriannya, dan ketat dalam perumusan pendirian keagamaannya. Dari itu, Kiai Wahab Sulang dari Rembang sempat membuat heboh disebabkan istrinya yang anggota DPRD mengikuti acara budaya nonsantri di pendopo kebupaten, dimana beliau juga membolehkan donor darah.

Kiai Iskandar masih muda, walaupun sering dituakan oleh orang-orang sekitarnya. Ia sudah terkenal dengan kejujuran finansilanya, menjadi clearing house soal perjodohan, juga wasit dalam sengketa harta, dimana ia menganut pembagian tegas antara “kita orang santri” dan “mereka yang bukan santri” (mengikuti hubungan monolitis kaum santri di pedesaan Jawa). Namun, kematian tetangga barunya, Pak Damin, pada malam jum’at dalam bulan puasa, membuatnya bersikap menyimpang.

Kiai Fatah dan Kiai Masudki adalah bersama-sama menghidupkan kegiatan keagamaan dan mengelola pesantren di desa Tambakberas, sebagai amanat dari Kiai Wahab Chasbullah. Kiai Fatah mengajar di madrasah sebagai “kiai full-timer”, sedangkan Kiai Masduki mengajar di surau-nya sendiri sebagai “kiai part-timer” (karena merangkap Bertani), dimana keduanya mengkhususkan pengabdian mereka pada upaya “menuntut ilmu”. Dapatkah mereka wariskan pola kehidupan saling berbeda, tetapi sama-sama bersemangat “menuntut ilmu” it?!

Seperti kecenderungannya yang begitu besar untuk tertawa sepenuh hati, Kiai Ali Krapyak memiliki pandangan serba optimistis tentang kehidupan dan tentang tempatnya sendiri dalam kehidupan ini. Walaupun bergaul dekat dengan banyak pejabat, sering kali ia mengambil sikap melawan dan menyanggah, sebagaimana kasus RUU perkawinan dan kasus liburan puasa. Disini, kita mendapati pribadi yang pragmatis, memelihara sekuat tenaga dari warisan masa lampau dan mengambil kehidupan kontemporer bagi kepentingan penyesuaian dengan kebutuhan.

Pantas kalau Kiai Syukri mencapati “tingkat nasional” dalam forum sesama ulama, sebagaimana pencarian titik temu pandangan perihal pembacaan al-Fatihah untuk arwah. Hal ini merupakan sikap “fihi qaulani” (dalam masalah ini ada dua pendapat), dan dalam fiqih dinamai “mengutamakan kemaslahatan memang penting, tetapi mencegah kerusakan jauh lebih penting lagi” (dar’ul mafasid aula minjalbil masalih).

Kiai Ali yang menjadi anggota DRP, tingkah lakunya merendah, selalu murah senyum. Walhasil, tidak memenuhi citra orang dinamis yang penuh inisiatif dan memiliki dorongan untuk berprestasi tinggi. Meski begitu beliau mengungkapkan bahwa menyediakan kebutuhan pokok manusia merupakan jihad. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang tempaknya lemah-lembut, suka mengalah, dan tidak pernah memaksakan pendirian pada orang lain, sebenarnya juga orang yang berpendirian teguh, diamana apa yang ia miliki merupakan pendapat yang dianggap paling benar—hingga sampai kepada keyakinan.

Terlepas dari penampilan eksekutif, Kiai Zainal Abidin Usman berkain sarung polecat yang sudar berumur, baju panjang dengan kancing yang hampir lepas, dan sandal plastic murah. Meski begitu, ia mengikuti “jalur umum ke-kiai-an” perihal perluasan jenis-jenis “wajib zakat”. Dimana kalau kita ingin mengembangkan zakat itu sendiri secara kuantitatif, apakah justru perlu diciptakan wajib zakat baru?!

Kehidupan dua dunianya Ustad Abdur Razak Khaidir dari Tegalparang menggambarkan munculnya seorang guru kite muda, yang ternyata mempersoalkan beberapa masalah yang cukup mendasar, seperti ibadah haji yang dikaitkannya dengan hikayat ahli hadis Abdullah ibnu Mubarak, juga pengungkapan bahwa “Kehidupan akhirat sangat tergantung dari kualitas hidup di dunia.”

Kiai Masyhuri Syahid sebagai murid dari Kiai Idris Tebuireng, dan kemudian dididik di al-Azhar, tidak hanya mengumandangkan masalah-masalah ukhrawi; “amar ma’ruf nahi munkar”, ia senang berdagang dalam berbagai usaha sosial bekerjasama dengan PPN (Pusat Produksi Nasional). Penafsiran “kontemporer”-nya atas ayat Alqur’an “Jika kalian mendapatkan teguran (baik), balaslah dengan teguran yang lebih baik” (wa idza huyyirum bitahiyyatinfa hayyu bi ahsana miha), dimana tahiyyah (teguran), menurut beliau, merupakan semua perbuatan yang menunjukkan penghargaan; sebagaimana orang membeli barang pada kita, maka kita harus membalasnya dengan meningkatkan kualitas barang yang kita tawarkan. Dari itu, kiai Masyhuri disebut sebagai “kiai dolar”.

Catatan harian Ahmad Wahib almarhum, ternyata, menimbulkan heboh juga, bahkan ada yang mencetusnya sebagai murtad. Penulis sendiri tidak setuju kalua buku ini di-“lenyapkan”, sebab semangat merumuskan kembali jawaban-jawaban Islam terhadap tantangan hidup haruslah dipelihara—terlepas dari ekses-ekses yang umumnya bersifat peremehan arti pendekatan tekstual terhadap ajaran agama yang sudah mapan.

Kunjungan V.S. Naipaul ke tempat “bagnsa muslim” Asia di tahun 1979 membawanya kepada sesuatu yang dicarinya sejak semula: Islam yang marah. Inti dari masalah yang dirisaukan Naipaul adalah gagalnya orang Islam untuk menyajikan jawaban yang modern atas tantangan kehidupan masa kini. Tidak mungkinkah lahir kesadaran akan perubahan total dalam pola kehidupan bermasyarakat, justru dari ketaatan terhadap ajaran yang bersifat ritualistis? Bukankah mungkin sekali ideologi yang kreatif dan dinamis dibangun dari penggalian kembali terhadap ajaran sendiri?

Nurcholish Madjid masih tetap bernada tinggi, menolak sikap apologetis, selera bacaan belum bervariasi, juga sudah senang memotret. Namun pandangan ilmiahnya berkembang, ia mengungkapkan bahwa Teolog garis keras (Ibn Taimiyah) masih menganggap perlunya filsafat naturalistis. Siapa tahu eksistensialisme, lawan bebuyutan legal-formalisme dalam berpikir, suatu ketika akan dapat diserap juga oleh pemikiran keagamaan Islam, Cak Nur tetap terbuka dan jujur pada pandangan, tetapi berubah dalam aspek kedalaman dan keluasan. Seperti al-Ghazali sebelum dan setelah menjadi sufi: tetap dalam keagungan ilmiah karena mempertahankan hak memeriksa segala-galanya melalui kemerdekaan berpikir.

Kiai Mas’ud menguasai peralatan hukum fiqh: teori hukum (usul fiqh) dan pendoman hukum (qawa ‘id fiqh), hingga layak disebut “syekh”, setelah Kiai Masduki 60-an tahun lalu. Orangnya sederhana: mengejar buku-buku teks agama yang secara tradisional digunakan di pesantren atau seharunya diajarkan di dalamnya, sebagaimana perburuan-nya atas naskah Kiai Ihsan dari pesantren Jampes (Kediri); Siraj al-Talibin dan Minhaj al-Irndad (yang “belum dicap”).

Kiai Sahal Kajen adalah perokok kelas berat, dimana beliau mengungkapkan untuk melihat dari berbagai sudut pandang dalam permasalahan: kawin lari. Beliau menerima “masukan baru” berupa proyek pengembangan Masyarakat seperti pelestarian lingkungan, memperkenalkan teknologi terapan, dan memulai usaha merintis. Kiai Abdullah Salam, yang begitu dihormati tokoh legendaris Embah Mangli, memberikan persetujuan penuh atas kerja-kerja beliau.

Pak Hasan lemah lembut dalam segala hal, ia terlibat dalam kegiatan “turun ke bawah” sebagaimana “aktivis pedesaan” dengan menyiapkan “lahan kemasyarakatan” seperti bio-mass. Sementara itu, Kiai Madun “menawarkan” pesantren asuhannya sebagai “pusat pengembangan masyarakat” melalui “Usaha Bersama” dan pelatihan keterampilan “yang sudah disempurnakan”. Isha mengungkapkan bahwa Pak Hasan memakai pendekatan umum, sementara Kiai Madun pendekatan khusus.

Kaum muslimin Betawi memang lebih dekat dengan budaya Arab dibanding dengan Kawasan-kawasan lain. Karena itu, tidak mengherankan jika ulama Betawi disebut mualim. Mualim Syafi’i adalah pelopor yang dengan gigih menetang kebijaksanaan mencari dana melalui perjudian, begitu juga penggusuran pekuburan dari Karet ke Tanah Kusir. Meski begitu ia justru bergaul erat dengan Ali Sadikin (sang gubernur). Hal ini mengungkapkan bahwa ia tahu batas peranan yang harus dimainkan, perlunya kesadaran peranan sendiri dalam kehidupan. Bukankah impuls demokratis itu muncul, justru, dari garis batas yang diletakkan agama sendiri, yaitu dalam tugas mengajar selaku mualim?!

Tiga pendekar dari Chicago; Nurcholish Madjid (“Islam yes, partai poitik no”), Amien Rais (orientasi “cara hidup Islami”), dan Ahmad Syafi’i Ma’arif (“Islam yes, partai poitik Islam yes”), sependapat dalam perlunya perubahan mendasar dalam pandangan hidup kaum muslimin: etos dan disiplin kerja serta etika sosial. Dalam merumuskan kelayakan upaya-upaya itulah terjadi “perbedaan dalam kesatuan” di antara mereka bertiga.

BAB III: Sosial Ekonomi

Sistem tebasan dalam panen padi memunculkan praktek pemborongan, yang lebih menguntungkan daripada system bawonan. Dalam rangka mengatasi pengangguran buruh tani, dibutuhkan pembatasan rotatif yang ketat atas areal sawah yang boleh dipanen dengan sistem tebasan di pinggiran atau perimeter kota dengan perbandian areal 60:40.

Lokakarya Teknologi Tepat Bagi Pedesaan pada Desember 1975 di Yogyakarta cukup unik juga. Terutama tiga peserta (seorang pendeta, seorang insinyur PTUL, dan seorang seniman) dengan ide berupa proyek bantuan 25.000 rumah sederhana bagi penduduk pedesaan. Hal ini mengingatkan kita pada pentingnya menegakkan prioritas produksi yang tidak merusak keseimbangan sumber-sumber alam sebagai bentuk dari teknologi yang tepat.

Baru-baru ini sebuah forum ilmiah mengusulkan agar agrobisnis dikembangkan di Indonesia. Ini merupakan suatu proses pertanian komersial yang janggal, yang membuat menderita rakyat kecil di negara berkembang dan hanya menguntungkan sejumlah importir yang memperoleh pelayanan Istimewa dari pemerintah. Kalau demikian, maka kita hanya bisa meneruskan pengembangan perusahaan-perusahaan perkebunan kita sebelum pada akhirnya dialihkan pada pemiliknya oleh koperasi.

John Kenneth Galbraith mengungkapkan bahwa di negara-begara melarat jumlah orang gemuk banyak didapati. Hal ini menunjukkan ketidaktahuan masyarakat akan kesadaran jumlah kalori yang dibutuhkan. Studi Ingrid Palmer mengungkapkan pentingnya kepemilikan tanah (lahan) sebagai indikator kecukupan dan kemiskinan, dengan minimal batas 0,25 hektar.

Apakah persamaan antara perebutan Piala Dunia sepakbola untuk tahun 1982 dan landreform? Baik perebutan Piala Dunia 1982 maupun perebutan tanah lahan pertanian sepanjang masa selalu dimenangkan oleh “tim negatif”.

Bung Hatta seorang idealis tulen, yang bahkan bersedia mengundurkan diri dari jabatan nomor dua di republik ini. Namun ia memiliki impian idealistis: membangun ekonomi yang bersendikan koperasi di bumi Nusantara. Para ekonom yang mengerti implikasi, semua memicingkan mata dan mengernyitkan dahi. Ternyata, perkembangannya menjadi lain, dimana omzet koperasi sudah terbilang triliunan rupiah. Mampukah koperasi beranjak dari kedudukan utopia belaka?

BAB IV: Sosial Politik

Munculnya golongan fungsional dengan pendekatan bersifat teknis, mudah berafiliasi dengan kelompok politik mana pun tanpa terlalu mempersoalkan ideologi politik. Untuk mengimbangi kecenderungan terpusatnya kekayaan pada keluarga industrialis belaka, diperlukan dialog terbuka dengan Lembaga-lembaga nonpemerintah.

Gambaran orang tentang kaum intelektual tidak selalu sama. Profil intelek pelupa yang dahulu banyak tidak disukai, sebagaimana PSI yang pernah dibubarkan Presiden Soekarno. Kini, mereka turut menangani soal-soal praktis, terutama di tingkat bawah, sebagaimana menteri-menteri intelektual ada juga yang turun ke pedesaan. Sikap dasar kaum intelektual masih tetap sama, namun pendekatan yang mereka lakukanlah yang berubah, dan mereka tetap disebut demikian manakala dilakukan dengan ketulusan.

“Sulit masuknya, mudah keluarnya,” merupakan moto Kiai Wahab sebagai Ra’is ‘Aam menghadapi tuduhan wakilnya, Kiasi Bisri, sekaligus iparnya, dalam permasalahan DPR-GR. Seperti biasa, Kiai Bisri tetap pada pendiriannya, sedangkan Kiai Wahab jalan terus. Tidak heranlah jika lalu terjadi metamorphosis pada waktu Kiai Wahab wafat dan Kiai Bisri menggantikannya sebagai Ra’is ‘Aam.

“Wah, sama-sama tidak benar, sama-sama seperti yang berkaki empat. Cuma yang satu kakinya ke atas yang satu lagi berkaki ke bawah”, kata seorang Tunisia kepada seorang Indonesia tentang demokrasi. Anekdot tersebut kembali terbetik di benak penulis ketika pers kita mulai meributkan sebuah gagasan untuk menciptakan partai tunggal di Indonesia.

Dalam Pemilihan Umum 1982 ini kontestan sama dengan peserta, dimana ketiga kontestan itulah yang harus menjadi tolak ukur sudah demokratis atau belumnya pemilu berlangsung; bukan proses jalannya pemilu itu sendiri, sehingga bisa tercapai harapan Panitia Pemilu Indonesia dan Kopkamtib: aman, tertib, tenang, dan damain (ATTD). Di sinilah Fosko Enam-enam muncul dengan gagasan: bersedia membantu semua kontestan pemilu, dimana langkanya hal itu justru membuat pemilu kita di masa Orde Baru ini (sejauh ini 1971-1981) sesuai dengan asas ATTD. Dari itu, fosko seharusnya juga memberikan bantuan pada “kontestan” keempat, yaitu kelompok Golput (dulu berarti putih, kini berubah menjadi putus harapan): mereka berjuang untuk memenangkan sesuatu dalam pemilu.

Dalam sebuah lokakarya, seorang tokoh terkemuka Gerakan nonpemerintah membuat analogi ornop (organinasi nonpemerintah) dengan budaya keraton di Jawa; untul-untul. Kecurigaan pun tak dapat dihindari, apalagi setelah mereka berpaling wajah, tidak lagi menggunakan istilah ornop, melainkan dipersolak dengan sebutan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).

Secara umum diterima “kebenaran”, Ken Arok merebut Keraton Singasari dari tangan Tunggul Ametung, orang yang mengawini ibunya dan berimplikasi membunuh ayahnya. Kenyataannya, factor keturunan atau tidak, untuk memperoleh kedudukan menjadi pemimpin di luar pemerintah dalam budaya Jawa, masih diperlukan pengesahan dan penerimaan oleh pihak yang berkuasa: zaman sekarang menggunakan SK dan “jasa-jasa baik pemerintah”, dahulu menggunakan lembu peteng. Karenanya, dapat dimengerti betapa risaunya para pejabat Republik yang masih bermental keraton kalua mendengar istilah opisisi. Hal ini menunjukkan pentingnya legitimasi pemerintah dalam segala hal.

BAB V: Luar Negeri

Di AS, berkat ketekunan dan kerja keras, Senator Kennedy berhasil memenangkan jabatan kepresidenan pada 1960 dan Menyusun sendiri kebijaksanaan pemerintahannya, dimana ia terbunuh di tahun 1963. Meski begitu, Jimmy Carter menempuh jalan yang sama dan berhasil memenangkan jabatan kepresidenan pada 1976 dan meneruskan kebijaksanaan tersebtu dengan patokan moral luar negeri: hak-hak asasi manusia. Sangat besar implikasi dari perubahan politih luar negeri AS bagi kita, mengingat mengalirnya arus modal. Karenanya, dari sekarang kita harus belajar melaksanakan hal itu; menghindari semua manifestasi dari etika sosial yang menurut hati nurani kita tidak baik dan tidak benar.

Menlu Andrew Peacock menyatakan—pada akhir lawatannya keliling dunia—bahwa ia menentang berdirinya kantor berita yang tunggal di negara-negara Nonblok. Sebab yang paling utama sebenarnya adalah politis, dimana masing-masing pihak tentu akan mendukung kantor berita yang berorientasi sama dengan filsafat politinya sendiri. Keanekaragaman pendapat akan menjamin arus berita yang beranekaragam pula.

Rusia adalah negeri yang terkenal dengan pembangkangannya kepada para penguasa lalim dan kejam, sebagaimana novel utama Pasternak; Doctor Zhivago, dimana pembangkangan itu dewasa ini juga dilakukan oleh para ilmuwan. “Demokratisasi” yang dibawakan Sadat di Mesir, ternyata, hanyalah pelabi belaka bagi berlakunya ketentuan-ketentuan “keamanan dalam negeri” via referendum. Seperti halnya kemerdekaan, demokrasi dalam artian sebenarnya, tidak akan datang begitu saja dengan sendirinya; ia haruslah dicapai dengan pengorbanan.

Sementara Billy Carter melihat jabatan politis tertinggi sebagai wadah orang yang tidak normal, Kennedy justru menganggapnya sebagai pekerjaan termulia. Pemisahan antara proses pengambilan keputusan di tingkat nasional dari proses penialaian masyarakat justru semakin memantapkan stabilitas politik, dan membuka pintu bagi penilaian secara terbuka akan semakin mendewasakan kehidupan politik dan pemerintahan kita.

Mitos yang menyatakan bahwa diperlukan waktu sangat panjang untuk memperkenalkan kesadaran mengatur diri sendiri di kalangan warga masyarakat terbawah terpatahkan melalui social engineering sebagaimana bus kota. Dan mitos tidak berdayanya kelompok “teknokrat” untuk “memegang setir” dalam suatu koalisi pemerintahan dengan pihak militer, tidak sepenuhnya terbukti di Irak yang kemudian dimpimpin oleh Saddam Hussein dari Partai Ba’ath. Hal ini menunjukan bawa penggunaan dana0dana yang ada untuk penyediaan kebutuhan dasar Masyarakat tidak akan berlangsung kalua tidak ada orientasi populis yang uckup kuat di kalangan pemerintah.

Presiden Sadat memutuskan untuk membenahi ekonomi sebagai hal yang paling pokok, sebab Mesir tidak kuat tidak berperang tanpa membenahi pembangunan. Hal ini dikarenakan membengkaknya sebuah sistem kepegawaian menjadi gurita birokratis yang menelan segala-galanya. Diawali dengan Impian “era baru” dimana tidak bolehnya orang menjadi kaya, diikuti dengan rumitnya birokrasi sebagaimana harunya memperoleh 57 tanda tangan.

Ayatollah Ruhollah Khomeini merupakan perwujudan kebebasan dan kemerdekaan bagi bangsanya, penegak sebuah “Kerajaan Tuhan yang mengambil inspirasinya dari Republik Plato. Berbeda dari “tokoh-tokoh polos” dalam sejarah, seperti George Washington dan Gandhi, kebesaran Khomeini dan Mao justru terletak pada kesimpangsiuran persepsi yang mereka timbulkan dalam benak umat manusia. Bukankah terlalu pagi bagi kita untuk mengukur Islam sebagai agama yang mengatur kehidupan hanya dari perkembangan yang ditimbulkan oleh Khomeini?

Kesederhanaan bagunan segi delapan Kapel Rothko, ditambah fungsi jangka panjangnya yang vital dalam pemikiran kontemplatif di bidang keagamaan, memunculkan keharuan dan kesyahduan yang diperlukan manusia modern dalam pergumulannya dengan kehidupan.

Orang punya perkiraan masing-masing tentang perkembangan di Iran. Setelah jatuhnya Shah Reza Pahlevi, kaum mullah, Khomeini, dan bani Sadr, dimana Khomeini dipisahkan dari kaum mullah. Dan sepeninggal Ayatollah Behesti, bisakah Bani Sadr memberikan perlawanan terhadap PRI?

Tiga belas tahun pemerintahan Partai Sosialis Arab Ba’ath (Kebangunan) ternyata membawa perubahan sangat besar dalam kehidupan bangsa Irak, dimana Saddam tanpa menyatakan bahwa Lenin, penemu ideologi komunis, sebagai tokoh yang paling dikaguminya. Tolok ukur menilai keberhasilan tersebut dapat dilihat melalui orientasi politik-ekonomis berwatak populistis, yang tetap menyediakan peluang kepada inisiatif perorangan para wiraswastawan.

Di Noorgsingel terletak kantor Lembaga bantuan hukum model Rotterdam di Belanda; Advocaten Kollektief Rotterdam. Di lembaga ini sebelas sarjana hukum dan pengacara berjuang dengan cara mereka sendiri, mereka mulai dari diri sendiri, membatasi diri pada kerja sendiri sambil tetap mempertahankan “warna struktural” kerja tersebut.

Setelah 20 tahun berada dalam tahanan, bekas Presiden Aljazair Ahmad Benbella “kembali” kepada ajaran Islam dan menerima wawancara dari Almajallah di London.  Meski begitu, ia menyatakan diri tetap sebagai seorang sosialis, dengan pengalaman di depan Ka’bah di Mekah sebagai “pengalaman terdahsyat” dalam hidupnya. Hal ini menyajikan dimensi keagamaan yang tidak tercabut dari kenyataan hidup.

Presiden Mesir Muhammad Anwar Sadat memiliki latar belakang keagamaan yang kuat, walaupun akhirnya ia memilih karir militer, berpangkat mayor sewaktu turut menggulingkan monarki di tahun 1952. Sepeninggal Nasser, Sadat memberikan ruang gerak kepada kelompok-kelompok muslim militan di Mesir dan kemudian mengizinkan berdirinya Jama’ah Islamiyah. Di saat yang sama, parlemen menerima penerapan ketentuan hukum pidana Islam sebagai bagian dari sistem hukum nasional, sehingga memicu perdebatan sengit, yang mengarahkan Sadat untuk bersikap keras. Hal ini dikarenakan Sadat belum menemukan cara untuk membuat hubungan permanen atas dasar saling menghormati—bukan saling mempergunakan—dengan kelompo-kelompok Islam.

Ada beberapa persamaan antara perkembangan keadaan di Mesir dan negeri kita dewasa ini, sama-sama menganut kebijaksanaan “pintu terbuka” bagi modal asing disertai alotnya birokrasi. Yang terpenting adalah keharusan menghentikan pemekaran kekuasaan birokrasi pemerintahan, karena ia akan membawa kepada penghancuran kreativitas sektor nonpemerintah.

Presiden Sadat dikenal karena kenegarawanannya, terlihat dalam Keputusan berperang dengan Israel di tahun 1973 dan ketika memutuskan prakarsa perdamaian. Ia sangat pendiam dan sangat sabar, sebagaimana sikapnya terhadap mendiang Presiden Nasser, mahir memanipulasi rasa kesejarahan (sense of destiny) para pemimpin lain, juga mahir merencanakan dan melaksanakan tindakan politik yang sangat kompleks.

Dunia politik Amerika Serikat mempunyai kisah unik yang sering diulang-ulang; seorang pemuda potentisal yang berhasil menjadi anggota kongres atau senator bagian, lalu senator nasional, lalu guberbur negara bagian, hingga akhirnya berpotensi menjadi presiden, dimana kedudukan wakil presiden berarti kecil. Berbeda dengan Husni Mubarak, yang telah tujuh tahun “magang” dalam jabatan kedua. Begitu halusnya perbedaan pembuat sejarah dan yang menjadi catatan sejarah saja, sebagaimana Bung Tomo yang telah puas dengan peran kesejarahannya di 1945.

Tujuh buah kata ternyata menjadi seluruh kandungan sebuah tesis untuk mendapati gelar M.A: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sebagai anak kalimat yang menjelaskan dasar negara “Ketuhanan”. ‘Terpaksalah’ Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 perihal kaitan Piagam Jakarta atas UUD 1945, diikuti dengan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) sebagai kriteria.

Front Nasional Progresif di Mesir sebenarnya tulang punggung perlawanan kaum kiri terhadap pemerintahan yang tiap hari tampak semakin teknokratis. Masih sulit diperkirakan bagaimana kelanjutan perlawanan front yang dipimpin Khalid Muhyiddin, dimana mereka sama-sama mengagumi perjuangan ideologis mendiang Nasser sebagai sosialisme Arab yang merupakan manifestasi dari sosialisme Islam.

Nasionalisme, sebagai ideologi, semula hanya berbentuk kesatuan semangat sebuah bangsa, dan sering tergusur oleh semangat kesukuan. Di Mesir, muncul nasionalisme ketiga, dimana Nasionalisme loka Mesir ala Sadat sedikit banyak harus mengalah kepada aspirasi Pan-Arabis yang dibalut oleh aspirasi PanIslamistis. Hal ini mengarahkan terbentuknya Dewan Kerja Sama Negara-negara Teluk (Gulf Cooperation Council), yang tidak hanya bersangkut-paut dengan bangsa Arab, tapi juga kawasan lain, termasuk ASEAN.

Massoud Rajavi dan Aboulhasan Bani Sadr dicemooh orang banyak karna gertak sambal mereka ternyata tidak terbukti adanya revolusi melainkan terorisme. Keadaannya sekarang berlainan sam sekali, yang menang, ternyata justru pemberontakan massal tanpa senjata dari kaum mullah, sedikit banyak dalam kolaborasi dengan Mujahedin.

Sebagai pemimpin kursus musik, melukis, dan Bahasa, ia mempertanyakan perihal kasidah sebagai “perwakilah musik Islam” di layar TV, dimana menurutnya musik yang sepatutnya mewakili Islam haruslah yang universal, diakui di mana-mana, seperti lagu pop dan musik klasik, asal jelas diisi pesan keagamaan, dan bermutu tinggi, dihargai orang di mana-mana. Tetapi, benarkah universalitas yang dituntut dari medium music yang “mewakili Islam” itu harus lepas dari warna lokal tempat lahir Islam sendiri, tanah Arabia?

Lebanon saat ini adalah bangsa, bukan hanya negara, yang terpecah belah dalam pegelompokan kecil-kecil selepas perang saudara, bagai remukan kaca yang tidak beraturan dari sebuah cermin yang dahulunya indah. Hilanglah kepeloporang yang didambakan dari Lebanon oleh bangsa Arab keseluruhan, fungsinya sebagai pusat jaringan finansial Arab kini bergeser ke Timur, bermukim di negara-negara Teluk Persia.

Orang Palestina umumnya perantau di luar tanah kelahiran dan mulai melakukan serangan sporadic hingga jadi operasi militer yang melakukan serangan dadakan ke pemukiman-pemukiman Yahudi, dan hadirlah militer PLO, yang berujung pada gempuran Israel atas Lebanon dan Beirut. Sebuah kisah tragedy klasik tentang kelompok benar, tapi kecil dan lemah di hadapan kekuatan lalim yang dahsyat, seperti juga nasib petani dan buruh kecil negara-negara berkembang.

Minggu ketiga September 1982, seorang arsitek revolusi dimakan ciptaannya sendiri: Sadek Ghotbzadeh. Yang menarik adalah “teman seperjuangan”-nya; Ayatullah Kazem Shariat-madari, yang menyadari bahwa kekuasaan tidak dapat ditaklukkan oleh antikekuasaan, dan hanya sikap morallah yang dapat menaklukkan kecenderungan buruk manusia. Perlu ditangisi kematian perlawanan moral di tangan Shariat-madari, yang bisa menjadi titik tolak kebangkitan baru di Iran?!

Komisi Kahan dibentuk pemerintah Israel untuk menyelidiki pembantaian para pengungsi Palestina di Beirut Barat sebagai bentuk tonggak baru: kekuasaan hukum harus diletakkan di atas kekuasaan politik. Mereka mengungkapkan bahwa para pemimpin yang dinyatakan bersalah itu telah bersalah “secara tidak langsung”. Seperti dikatakan pendidik terkemuka Israel, Zvi Kesse, dalam wawancaranya dengan Neqlseek; masa depan Israel ditentukan oleh kemampuannya mencari penyelesaian yang adil terhadap tuntutan bangsa Palestina.

Memang ironis kalua symbol lebih dikenal daripada kenyataan. Hal ini terjadi di Tokyo April 1983, dimana film Gandhi diputar dan Uskup Agung Helder Camara menerima Hadiah Niwano untuk Perdamaian. Bersandar pada asas kasih sayang: petani didorong berani berinisiatif menuju prakooperatif, kaum buruh didorong berani menuntu hak, generasi muda diimbau memperjuangkan hak-hak politik, dan kalangan intelektual diminta memelopori Pendidikan yang relevan dengan kebutuhan golongna miskin.

“Kita masih dalam perang, perang ekonomi melawan Amerika dan Israel. Karena itu, rakyat harus mendukung Presiden dalam kebijaksanaan ekonominya.” Kata Hujjatul Islam Ahmad Khomeini dalam peringatan sang ayah. Sementara itu, Ayatullah Zanjani mengungkapkan bahwa setelah 10 tahun mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, Iran beralih ke Pembangunan ekonomi melalui peningkatan produksi secara masif.

BAB VI: Budaya

“Penghitaman” sekian halaman majalah TEMPO menunjukkan bahwa ia mendapatkan status “diterima” oleh Masyarakat. Sebagaimana spanduknya, TEMPO mencerminkan: jujur, jelas, jernih, … dan jenaka pun bisa.

Seorang pejabat tinggi bercerita tentang banyakan ornag Indonesia memeriksakan gigi ke Singapura karea di Indonesia orang tidak boleh membuka mulut. Protes dengan lelucon memang tidak efektif, kalua dilihat dari sudut pandang politik, tapi ia menyatukan bahasa rakyat banyak dan mengindentifikasi masalah-masalah yang dikeluhkan. Lelucon juga bisa berfungsi sebagai kritik terhadap keadaan tidak menyenangkan di tempat sendiri, bahkan sebagai pelepas kejengkelan orang banyak kepada penguasa. Dari itu, ia harus diberi tempat dalam tradisi perlawanan kultural suatu bangsa, untuk menjaga keseimbangan menghadapi kenyataan pahit dalam lingkup sangat luas.

Di saat “perubahan struktural” seolah-olah monopoli kaum marxis, pemerintah menyelenggarakan seminar perihal hal tersebut dengan dibawakan seorang agamawan. Marx mengungkapkan bahwa perilaku warga masyarakat sangat ditentukan oleh struktur masyarakat itu sendiri (determinisme-ekonomis), dan hal itu membutuhkan penggulingan kekuasaan. Namun, menurut kaum sosial democrat: perubahan dapat dilakukan melalui cara damai, dan setiap struktur memiliki kelengkapan untuk melakukan perubahan. –apa yang mematangkan pandangan kita tentang apa yang harus dilakukan di tempat masing-masing itu struktural.

“Bayangkan, Pak, sering tidak bisa bawa uang lebih seribu perak ke rumah, padahal sudah bekerja dari pagi sampai puku sepuluh malam,” tutur seorang sopir taksi mengatasnamakan nasib orang Karo (tingkat bawah). Hal ini menunjukkan tidak bersambungnya beberapa bagian dari apa yang secara umum dapat dinamai “proses modernisasi”. Modernisasi menumbuhkan sikap menghargai kerja professional, namun berakibat negative bagi sebagian Masyarakat. Dari itu, kesenjangan antara modernitas “semula” dan kenyataan keras setelahnya menuntut modernitas “susulan”.

Pada 1981, seorang ibu dari Semarang membawa pulang nasi tumpeng buatan Istana Merdeka dan menjemurnya hingga kering. Nasi tumpeng memang punya fungsi bermacam-macam, ada yang memperlakukannya sebagai sesajen, turun menjadi “misteri”, menjadi eksotika dari “kekayaan tersembunyi”, diikuti pergeseran historis “melestarikan kebudayaan asli”. Di tempat lain, seorang mubalig melabrak nasi tumpeng, mengharamkan, dan memerintahkan untuk dijauhi. Hal ini menunjukkan adanya pembenturan budaya antara proses islamisasi dan proses penemuan identitas diri sebagai bangsa.

Soeprapto memiliki visi unik di antara deretan gubernur dan walikota ibukota: berpegang pada fungsi pemerintahan sebagai pemerintah daerah. Pendirian “mempersempit jangkauan DKI” itu tercermin juga dalam sikapnya mengelola kehidupan seni di lingkungan Taman Ismail Marzuki, mengarahkan penulis pada sebuah ide Akademi Betawi.

“Gatotkaca Anti-Israel”, sebuah slogan yang tertulis pada jalan aspal menunjukkan bahwa remaja kita telah kehilangan tokoh-tokoh anutan yang actual. Hal ini bisa memudahkan para remaja melakukan tindak kekejaman (sebagaimana tokoh Bonny dan Clyde), dan semakin derasnya arus eksklusivisme etnis dan agama, sebagai implikasi dari hilangnya kredibilitas kepemimpinan yang dibiarkan berlarut-larut.

Tengah malam disertai cuaca gerimis, Toyota Corolla memutuskan untuk berhenti saat lampu merah untuk penyeberangan menyala, dan perselisihan pun terjadi. Aturan hukum akan dipenuhi jika dapat menjamin tercapainya tujuan; minimal yang paling dasar, seperti mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari bagi “orang kecil”. Fungsi hukum adalah menciptakan rasa takur, dan hukum zaman ini lebih berfungsi simbolis. Tidak mengherankan kalau kemudian muncul “tindakan sectoral”; penembakan misterius. Dari itu, marilah menjaga supaya aruran yang “normal” tidak jebol sama sekali; anggap saja menunggu setan lewat.

Salah satu kreasi unik bangsa kita adalah restoran Padang, dimana ia merupakan qua konsep; tradisi memasak orang Minang sekaligus perwujudan dari kepraktisan. Hal ini merupakan bentuk dari kemampuan menjadikan diri pilihan kedua, sebagaimana ia diramu oleh orang Jawa, Sunda, dan seterusnya. Rahasia sukses restoran padang: semangat kerja yang memiliki kemampuan antisipasi, menyerap, dan mempergunakan aspek-aspek usaha yang berorientasi pasar. Mungkinkah dialihkan pada sesuatu yang lebih berlingkup nasional?

Prototipe dokter masa lampau adalah seorang idealis (pekerja sosial yang mengabdi kepada kemanusiaan); tidak hanya menyembuhkan orang sakit tetapi juga memimpin masyarakat. Kini keadaan sudah berubah; banyak dokter yang lebih memikirkan mencari kekayaan secepat mungkin melalui praktek medis dan melalaikan aspek kemanusiaan. Para dokter muda idealis justru sering harus menjumpai kepahitan setelah kembali ke “dunia normal”, dengan “kelengkapan” situasi birokratisnya, sebagaimana kisah seorang dokter muda yang harus berhadapan dengan seorang kiai yang mendapati anaknya harus menjalani operasi transplantasi kulit bibir.

Di tahun-tahun lima puluhan, beredar terjemahan novelet Damon Runyon – Hantu dan Daniel Webster, sebuah kisah penggadaian jiwa kepada setan. Kisah tersebut menunjukkan bahwa manusia barat berwatak ingin menentukan nasibnya sendiri, bebas dari campur tangan siapa juga. Namun, ada pula film berjudul Oh, God, You Devil! yang menunjukkan bahwa kemewahan tidak sebanding nilainya dengan kebebasan diri sebagai insan.

Sudah lebih dari 50 tahun polemic kebudayaan belangsung antara tradisi dan kebudayaan modern, tanpa satu orang pun yang mencoba melakukan proyeksi substansi yang mereka pertikaian pada kenyataan lapangan sama sekali. Pesantrean sendiri bukan sekadar menjadi pendidikan agama dalam artian tradisional, melainkan menjadi pangkalan untuk mendirikan dan melestarikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Bagaimana memacu kreativitas dalam kelesuan suasana, itulah masalah utama kita saat ini.

Piala Eropa tahun ini diwarnai dengan banyak hal, dimana dari kukuhnya pertahanan sebenarnya muncul serangan-serangan bermutu yang pada gilirannya akan melahirkan gol-gol indah lebih banyak di masa depan. Efektivitas pola permainan, itulah kata kunci kejuaraan Piala Eropa 1992.


Note:
- dikhususkan bagi yang sudah membaca bukunya [sebagai pengingat].
- bagi yang belum membaca bukunya, amat disarankan untuk membacanya [jika tertarik], sebab setiap penulis memiliki cara penyampaiannya sendiri-sendiri.


 
;