Melawan Melalui Lelucon
Kumpulan Kolom
Abdurrahman Wahid di TEMPO
BAB I: Agama dan Pesantren
Ucapan
Nabi: “Beramallah bagi duniamu seolah-olah kau benar-benar akan hidup
selamanya; dan beramallah untuk akhiratmu seolah-olah engkau benar-benar akan mati
esok,” membuktikan bahwa Islam memandang urusan duniawi sama pentingnya dengan
urusan ukhrawi. Namun, penafsiran diktum membentuk modernisme parsial yang
menghasillkan moralitas ganda sebagaimana kegairahan membangun ritus agama di
tengah-tengah merajalelanya kemiskinan. Disaat tugas utama agama: mengangkat
derajat manusia dari kemiskinan dan kehinaan, akankah agama mampu menjadi
pendorong bagi pembangunan bangsa?!
Skeptisisme
yang tak terucapkan akan adanya peranan agama dalam pembangunan kita,
mengharapkan para agamawan; mengajak masyarakat merumuskan sendiri kebutuhan
pokok mereka, menyadarkan mereka akan bahaya kesenjangan ekonomi, dan
mengikutsertakan mereka dalam sumber-sumber ekonomi utama (modal, tanah, dan
keterampilan teknis).
Sebagaimana
ludruk dari Jombang, Islam datang ke Jawa; memicu interaksi antara budaya asli
Jawa dan bidaya Islam yang baru datang. Dan untuk pergulatan sosial-budaya,
adakah yang lebih tepat dari bala bantuan perwira berupa kiai sebagai “barisan
opsir agamawan”?
Seorang
peneliti yang merumuskan pemberantasan kemiskinan, diperlakukan sengir oleh
para peserta latihan yang berasal dari berbagai pesantren. Hal ini
mengungkapkan bahwa kerja di atas beraarti kewajiban mengembangkan Bahasa
komunikasi yang dapat dipakai untuk menghubungi para agamawan secara santai
dari hati ke hati. Manusia dapat menentukan jalan hidupnya sebagaimana
dirumuskan dalam firman Allah; “Jangan kau lupakan bagiamu dari (harta) dunia,”
dan sebangsanya.
Kunjungan
ke Australia, membawa saya ke Gereja Wayside Chapel di King’s Cross (jantung
kota metropolitan Sydney) dibawah pimpinan pendeta Ted Noff, yang mengungkapkan
teologia gombal kebingungan Ilahi (Godly confusion). Meski begitu, gereja
tersebut dapat menjadi kekuatan pendorong yang demikian positif bagi pelayanan
kebutuhan local di pusat kehidupan malam. Hal ini menunjukkan bahwa lahirnya
kepastian dari kebingungan teologia gombal hanyalah akibat belaka dari
ketidakjelasan jawaban teologia yang sudah mapan dan penuh kepastian, dari
agama-agama besar.
Gerakan
sempalan di kalangan kaum muslimin muncul dari ketidakmampuan mencernakan
dampak modernisasi yang semakin lama semakin maju, tetapi timpang jalannya. Hal
ini sebagaimana kredo; “Tak ada agama tanpa masyarakat, tak ada masyarakat
tanpa pimmpinan, dan tak ada pimpinan tanpa pemimpin.” Hendaklah Gerakan
sempalan tidak diterapkan pada batang tubuh umat, perlakukanlah ia sebagai
sesuatu yang wajar, dimana sikap wajar yang semakin bertambah akan meminimalkan
kecenderungan bersempal-sempalan.
Istilah
“imam” memiliki arti berlain-lainan dalam perkembangan sejarah Islam.
Perlawanan keagamaan mengambil bentuk tidak hanya politis, seperti pada tradisi
keimanan Syi’ah, melainkan juga kultural: yang dilambangkan dengan munculnya
“imam ilmuwan” seperti al-Ghazali. Dengan sendirinya, lalu, dibutuhkan
kepemimpinan untuk menyelenggarakan pemurnian ajaran agama. Hal ini terjadi
karena kegagalan kepemimpinan umat untuk menyediakan proses pencernaan yang
sehat dan jawaban yang wajar terhadap proses perubahan cepat yang dibawakan
modernisasi yang sedang melanda selurh dunia Islam dewasa ini.
Banyak
kiai memiliki sifat aneh, tetapi yang paling sering didapati adalah sikap
egosentris mereka. Mungkin ini merupakan kompensasi kejiwaan untuk mengimbangi
keharusan berpola hidup serba konformistis dengan sesama kiai. Juga mengimbangi
“larutnya kepribadian” dalam tugas pelayanan mereka yang begitu total kepada
kehidupan masyarakat. Dan dalam forum musyawarah hukum agama antara sesama kiai
terletak “katup pelepas" untuk menunjukkan arti diri mereka dalam rutin
kehidupan serba datar tersebut. Tidak heranlah jika upaya seperti itu pernah
membawa kepada suatu kejadian yang berakibat positif, walaupun menggelikan.
Kasus
“Fatwa Natal” dari MUI ternyata mengehebohkan, hingga Buya Hamka meletakkan
jabatan sebagai ketua umum MUI. MUI memang dibuat hanya sekadar sebagai
penghubung antara pemerintah dan umat pemeluk agama Islam. Karenanya,
mengapakah MUI tidak memulai saja dari masalah-masalah dasar bangsa,
sebagaimana kemiskinan, ketidakadilan, juga kebodohan?!
Alasan
mengapa banyak pemuka Masyarakat Islam marah kalau mendengar sebutan “kaum
fundamentalis” atau tersinggung kalau ada orang membicarakan “isyu negara
Islam”, dikarenakan mereka yang mengidealisasi Islam sebagai alternatif
satu-satunya terhadap segala macam isme, disertai dengan “mental banteng”;
penutupan akan kemungkinan penyusupan gagasan yang akan merusak kemurnian
Islam.
Suara
bising kaset biasanya dihubungkan dengan musik kaum remaja, tanpa adanya unsur
keagamaan. Namun, ada “persembahan” berirama yang menampilkan suara lantang,
apalagi lepas tengah malam di saat orang sedang tidur lelap. Nabi Muhammad
mengatakan bahwa kewajiban (agama) terhapus dari tiga macam manusia: mereka
yang gila (hingga sembuh), mereka yang mabuk (hingga sadar), dan mereka yang
tidur (hingga bangun). Jadi, tidak ada alasan untuk membangunkan orang yang
sedang tidur agar bersembahyang—kecuali ada sebab yang sah menurut agama
(Illat).
Penelitian
dakwah mengungkapkan bahwa umumnya respoden menganggap hidup hanya untuk
bekerja, sedikit sekali yang menjawab bahwa hidup ini untuk beramal dan
mengabdi. Bukti paling nyata dari sikap memisahkan agama dari hidup ialah tidak
bertautnya moralitas kemasyarakatan kita dengan ajaran agama, sebagaimana
kesenjaganan si kaya dan si miskin yang semakin membesar. Ternyata, tujuan
dakwah itu sendiri belum menjadi tujuan hidup bermasyarakat, sehingga
efektivitas dakwah masih harus diteliti?
Sarjana
X yang baru menamatkan studi di luar negeri terkejut mendapati ekspresi kemarahan
orang-orang muslim atas wawasan ilmiah, mengarahkannya pada seorang guru
tarekat yang mengungkapkan: “Allah itu Maha Besar. Ia tidak memerlukan
pembuktian akan kebesaran-Nya.” Hal ini menunjukkan bahwa informasi dan
ekspresi diri yang dianggap merugikan Islam sebenarnya tidak perlu terlalu “dilayani”,
cukup diimbangi dengan informasi dan ekspresi diri yang “positif kontruktif”.
Terjemahan
Alquran H.B. Jassin menuai serangan dan keberatan, sehingga diharapkan akan
terjadi perdebatan terbuka. Permasalahannya sangat menarik untuk diketahui
kejelasannya, seperti; Dapatkah dilakukan terjemahan tidak langsung atas
Alquran tanpa penguasaan mendalam atas Bahasa Arab? Adakah pengaruh moralitas
dan perilaku pribadi seorang penerjemah terhadap sah atau tidaknya karyanya?
Pondok
pesantren terdiri dari dua patah kata: Pondok yang berasal dari kata Arab
funduk (tempat warga tarekat menyepi, dan Pesantren yang merujuk pada asal-usul
pra-Islam. Pesantren yang sebenarnya lembaga perkotaan mulai menjadi lembaga
pedesaan, dari yang serba tarekat menjadi serba fiqih. Masalah pokoknya:
dapatkah orientasi serba fiqh dipertahankan untuk jangka panjang?
Implikasi
teriakan kondektur bis PPD di hari Minggu yang beralih menjadi “Kwitang!
Kwitang!”, menunjukkan bahwa agama bertali-temali dengan sektor-sektor lain
dalam kehidupan masyarakat, sebagaimana berkah haji. Dengan demikian, agama
yang semula berfungsi sebagai ajaran, lalu berfungsi sebagai institusi atau
kelembagaan. Dan bermulalah sebuah proses penduniawian kehidupan beragama:
agama sama dengan acara-acara tertentu; sehingga bukan ajaran agamanya yang
disucikan, diagungkan, dan disyahdukan, tetapi upacara-upacara yang
mendukungnya.
Kumpulan
sajak anak-anak di majalah Zaman, dengan kebanayakan berbentuk doa, merupakan
bentuk potensi yang dimiliki untuk menatap masa depan dengan sehat dan baik
(mampu melihat realitas kehidupan). Hal ini sebagaimana sajak dari Rudiawan
Triwidodo dalam sajak Doa di Bibir Sumur.
Tidak
disangka, penggunaan kerudung sebagai simbol menjadi titik sengketa, fokus
sebuah konflik sosial. Ini tidak lain adalah pencerminan dari kuatnya tuntutan
di kalangan remaja muslim agar ajaran Isalam dilaksanakan secara tuntas dan
kosekuen, juga bagian dari meningkarnya kesadaran beragama di kalangan kaum
remaja muslim dewasa ini. Tidak kurang pentingnya adalah juga kekecewaan mereka
terhadap kegagalan elite kaum muslimun di seluruh dunia yang tidak mampu
mengangkat derajat agama mereka di hadapan tantangan “pihak luar” terhadap
Islam.
Setelah
hampir sepuluh tahun, sejumlah mahasiswa kita yang belajar di Kawasan Timur
Tengah datang ke Eropa Barat, dan rutinitas pekerjaan tanpa perubahan
mengarahkan mereka mengambil identitas “perjuangan Islam”. Dan mereka segera
mekar, melalui perkawinan dan datangnya orang-orang lain, dan didirikanlah
Perhimpunan Pemuda Muslim Eropa, dimana mereka akhirnya mampu membuat mushalla
(surau alias langgar) di Kota Den Haag.
Munawir
Djadzali sebagai Menteri agama Kabinet Pembangunan IV, menulis tesis untuk
gelar Master of Art tentang ada-tidaknya konsep kenegaraan dalam Islam, dimana
ia menyangkal adanya kerangka kenegaraan dalam Islam. Hal itu mengundang reaksi
keras para ulama al-Azhar, dan ia pun dikeluarkan dari peekerjaannya, bahkan
bukunya pun disita. Memang, tidak mudah membicarakan ada-tidaknya konsep
kenegaraan dalam Islam; belum adanya kesamaan pemahaman atas istilah-istilah
yang digunakan, umapama saja “konsep”.
Mengafirkan
orang jelas tindakan salah, sebagaimana makian murtad terhadap seorang pejabat
tinggi yang menyatakan semua agama sama di negeri ini. Masalahnya, toh, akan
terserah kepada Tuhan. Tapi, yang merisaukan adalah mudahnya sumpah serapah
keluar dari para pengajur agama. Pertama kita harus mampu membedakan antara
berjenis-jenis “kesamaan”, yang di mata agama dan yang di mata negara.
Islam
mengalami perubahan-perubahan besar dalam sejarahnya, yang berujung pada ssstem
pemerintahan monarki. Dan kebutuhan akan “penyatian” pandangan itu akhirnya
menampilkan formalism Islam berbentuk “arabisasi total”. Salahkah kalau Islam
“dipribumikan” sebagai manifestasi kehidupan?
Sebagai
pemegang jabatan manajer sebuah usaha bisnis patungan dengan penanaman modal
“kecil” dari salah satu negara Asia (non-Jepang), ia mengaku bersimpati pasa
Masjumi; tetap tekun menjalankan perintah agama, sedapat mungkin tetap yakin
bahwa moralitas lebih penting dari sukses material, dan merasa bahwa dengan
pola hidup seperti ia tetap mampu merengkuh modernitas dalam arti penuh. Dan
“seni”-nya adalah ketika ia menyatakan kepada lawan bicaranya yang NU akan
afiliasinya itu: “Maaf, Pak, saya sebenarnya orang Masjumi, tetapi merasa perlu
konsultasi dengan Bapak.”
Kata
tarbiyah berarti pendidikan, namun di negeri ini dikhususkan untuk pendidikan
agama Islam. Penyempitan arti terjadi sebagai kompensasi atas apa yang dirasa
kekalahan, yang juga mencerminkan proses kompensatoris (‘penduniaan’
pendidikan). Dari itu, pendidikan agama menjadi ‘titik balik’ untuk merebut
wilayah-wilayah yang sudah lepas melalui perguruan tinggi.
Penyataan
bahwa negara Indonesia adalah “negara sekuler” (ada pembagian wewenang antara
mana yang dibidang negara dan mana yang dibidang lembaga keagamaan), segera
mendapatkan kritikan, dimana negara kita mengakui legitimasi peranan agama
dalam kehidupan masyarakat. Masalahnya seferhana, tetapi ia menunjukkan masih
rapuhnya kehidupan konstitusional kita.
Tiga
orang intelektual muslim kita yang memiliki pendirian masing-masing mengalami
persamaan nasib di negeri orang, yakni sama-sama menolak mengikuti konferensi
yang menerima seorang tokoh separatis. Hal ini menunjukkan menangnya ikatan
kebangsaan atas ikatan keagamaan, bahwa kepentingan nasional dapat menciptakan
ikatan kebangsaan untuk mengkonkretkan hidup beragama.
Berbeda
dengan oom senang, pamor bapak angkat masih cukup tinggi dalam masyarakat kita,
terutama dalam masalah adopsi, dimana para ulama dan pemuka Islam memberikan
penolakan. Apa Islam tidak mau tahu nasib orang yang menderita karena tak punya
anak? Atau tidak kasihan melihat bayi-bayi yang tak akan terangkat nasibnya
bila tidak diambil anak oleh orang lain yang bernasib lebih baik? Rigiditas
atas kekakuan hukum Islam sering dikeluhkan orang. Sudah waktunya memikirkan
sebuah pendekataan yang memperlakukan manusia secara lebih menyeluruh.
Para
kiai di Rembang membuat skla prioritas ibadah, perihal ibdah haji tiap tahun
seorang pedagang di saat ada yang lebih membutuhkan pembiayaan, pembangunan
madrasah. Pedoman (kaidah)-nya ialah: “amal perbuatan yang berlanjut
diutamakan atas amal perbuatan yang terhenti” (Asybah WaNaza’ir by
as-Sayuti), juga kaidah: tasharruful imam manutun bil maslahah (“Kebijaksanaan
si pengambil keputusan mengikuti kepentingan rakyat”).
Suatu
hal yang langka selama hampir 50 tahun Indonesia merdeka terjadi: selama tiga
tahun berturut-turut terjadi dua Idul Fitri. Yang menggembirakan adalah
kenyataan bahwa suasana tidak diracuni oleh perbedaan hari berakhirnya puasa.
Kondisi ini dalam kitab kuning, dikenal sebagai keadaan istikmal, dimana Shalat
Id tidak wajib hukumnya.
BAB II: Tokoh
Kiai
Muchit lebih sebagai wakil dari tipe “intelekulama” daripada “ulama-intelek”,
dimana keduanya bergantung kepada keberanian moral untuk mempertahankan
pendirian dan keyakinan. Kia Muchit harus ribu dengan kiai-kiai lain yang
menentang WPA dan UUPBH, sehingga dipredikat sebagai kiai “nyentrik”, yang
kembali harus berhadapan dengan kemarahan umat dalam Kasus Jenggawah.
Bung
Hatta bukan bagian dari perjuangan kita,
begitulah kira-kira jalan pikiran berbagai macam Gerakan itu. dimana di akhir
hayatnya, ia justru menjadi contoh dari seorang muslim tulen, yang penuh dengan
jadwal waktu tetap untuk beribadat kepada Allah. Seminggu kemudian sejumlah
mahasiswa muslim berbincang-bincang tentang besarnya impian orang seperti Bung
Hatta: Indonesia merdeka—di saat belum ada tanda-tanda kemerdekaan sedikit pun.
Kiai
Khasbullah Salim almarhum memang orang luar biasa. Ia harus berkelahi untuk
mendirikan ranting NU di Desa Denanyar, dan terlibat perseteruan dengan Gerakan
baru Darul Hadith ketika pindah ke Desa Rejosari. Terlepas dari score dua-nol,
Kiai Khasbullah mengungkapkan perihal penuturan sang guru (almarhum Kiai Zaid
Semelo) bahwa kenakalan pemimpin gerakan baru itu tidak usah digubris, nanti
‘kan hilang sendiri kenakalan itu kalau dia mati. Setidak-tidaknya, toleransi
kepada gerakan-gerakan “sempalan” dalam Islam harus diperhitungkan sebagai
salah satu jalan terbaik untuk mendewasakan sikap hidup umat secara
keseluruhan.
Kiai
Sobari sebagai gambaran kiai yang ikhlas tapi kolot, pergaulan luwes tapi
pendirian kaku, menyanjung-nyanjung SMP-SMA atas tegaknya disiplin dan
peraturan dibandingkan dengan Madrasah Aliyah yang belum sadar pada peraturan.
Hal ini menunjukkan bahwa kiai ‘kolot’ ini memiliki logika dan rasionalitas
mereka sendiri.
Kiai
Adlan Ali, sebagai murid setia Kiai Hasyim Asy’ari, merupakan orang yang senang
bergurau harus, banyak menjawab dengan mengelak, dan senantiasa menunjukkan
kerendahan hati dalam bersikap dan bertutur kata. Pola sikap hidupnya penuh
pembalikan pendirian (kalua dilihat sepintas lalu saja), sebagaimana mengikuti
tarekat Kiai Ramli Rejoso sepeninggal sang guru, yang tidak mengizinkannya
memasuki tarekat, dan kemudian memimpin tarekat sendiri. Hal ini ternyata merupakan
bentuk ketundukan di dalam (inner obedience) yang tampak sebagai pengingkaran
di luar (outer disobedience).
Kiai
Abdul Razaq Makmun adalah profil tersendiri di antara “barisan” kiai di
kalangan kaum Betawi. Tema pembicaraannya hanya berkisar pada pentingnya
“menuntut ilmu”, dimana ia kemudian juga mengungkapkan tentang pentingnya
transmigrasi.
Kiai
Pantai utara Jawa memang terkenal keras sikapnya, kaku pendiriannya, dan ketat
dalam perumusan pendirian keagamaannya. Dari itu, Kiai Wahab Sulang dari
Rembang sempat membuat heboh disebabkan istrinya yang anggota DPRD mengikuti
acara budaya nonsantri di pendopo kebupaten, dimana beliau juga membolehkan
donor darah.
Kiai
Iskandar masih muda, walaupun sering dituakan oleh orang-orang sekitarnya. Ia
sudah terkenal dengan kejujuran finansilanya, menjadi clearing house soal
perjodohan, juga wasit dalam sengketa harta, dimana ia menganut pembagian tegas
antara “kita orang santri” dan “mereka yang bukan santri” (mengikuti hubungan
monolitis kaum santri di pedesaan Jawa). Namun, kematian tetangga barunya, Pak
Damin, pada malam jum’at dalam bulan puasa, membuatnya bersikap menyimpang.
Kiai
Fatah dan Kiai Masudki adalah bersama-sama menghidupkan kegiatan keagamaan dan
mengelola pesantren di desa Tambakberas, sebagai amanat dari Kiai Wahab
Chasbullah. Kiai Fatah mengajar di madrasah sebagai “kiai full-timer”,
sedangkan Kiai Masduki mengajar di surau-nya sendiri sebagai “kiai part-timer”
(karena merangkap Bertani), dimana keduanya mengkhususkan pengabdian mereka
pada upaya “menuntut ilmu”. Dapatkah mereka wariskan pola kehidupan saling
berbeda, tetapi sama-sama bersemangat “menuntut ilmu” it?!
Seperti
kecenderungannya yang begitu besar untuk tertawa sepenuh hati, Kiai Ali Krapyak
memiliki pandangan serba optimistis tentang kehidupan dan tentang tempatnya
sendiri dalam kehidupan ini. Walaupun bergaul dekat dengan banyak pejabat,
sering kali ia mengambil sikap melawan dan menyanggah, sebagaimana kasus RUU
perkawinan dan kasus liburan puasa. Disini, kita mendapati pribadi yang
pragmatis, memelihara sekuat tenaga dari warisan masa lampau dan mengambil
kehidupan kontemporer bagi kepentingan penyesuaian dengan kebutuhan.
Pantas
kalau Kiai Syukri mencapati “tingkat nasional” dalam forum sesama ulama, sebagaimana
pencarian titik temu pandangan perihal pembacaan al-Fatihah untuk arwah. Hal
ini merupakan sikap “fihi qaulani” (dalam masalah ini ada dua pendapat), dan
dalam fiqih dinamai “mengutamakan kemaslahatan memang penting, tetapi mencegah
kerusakan jauh lebih penting lagi” (dar’ul mafasid aula minjalbil masalih).
Kiai
Ali yang menjadi anggota DRP, tingkah lakunya merendah, selalu murah senyum.
Walhasil, tidak memenuhi citra orang dinamis yang penuh inisiatif dan memiliki
dorongan untuk berprestasi tinggi. Meski begitu beliau mengungkapkan bahwa
menyediakan kebutuhan pokok manusia merupakan jihad. Hal ini menunjukkan bahwa
orang yang tempaknya lemah-lembut, suka mengalah, dan tidak pernah memaksakan
pendirian pada orang lain, sebenarnya juga orang yang berpendirian teguh,
diamana apa yang ia miliki merupakan pendapat yang dianggap paling benar—hingga
sampai kepada keyakinan.
Terlepas
dari penampilan eksekutif, Kiai Zainal Abidin Usman berkain sarung polecat yang
sudar berumur, baju panjang dengan kancing yang hampir lepas, dan sandal
plastic murah. Meski begitu, ia mengikuti “jalur umum ke-kiai-an” perihal
perluasan jenis-jenis “wajib zakat”. Dimana kalau kita ingin mengembangkan
zakat itu sendiri secara kuantitatif, apakah justru perlu diciptakan wajib
zakat baru?!
Kehidupan
dua dunianya Ustad Abdur Razak Khaidir dari Tegalparang menggambarkan munculnya
seorang guru kite muda, yang ternyata mempersoalkan beberapa masalah yang cukup
mendasar, seperti ibadah haji yang dikaitkannya dengan hikayat ahli hadis
Abdullah ibnu Mubarak, juga pengungkapan bahwa “Kehidupan akhirat sangat
tergantung dari kualitas hidup di dunia.”
Kiai
Masyhuri Syahid sebagai murid dari Kiai Idris Tebuireng, dan kemudian dididik
di al-Azhar, tidak hanya mengumandangkan masalah-masalah ukhrawi; “amar ma’ruf
nahi munkar”, ia senang berdagang dalam berbagai usaha sosial bekerjasama
dengan PPN (Pusat Produksi Nasional). Penafsiran “kontemporer”-nya atas ayat
Alqur’an “Jika kalian mendapatkan teguran (baik), balaslah dengan teguran yang
lebih baik” (wa idza huyyirum bitahiyyatinfa hayyu bi ahsana miha), dimana
tahiyyah (teguran), menurut beliau, merupakan semua perbuatan yang menunjukkan
penghargaan; sebagaimana orang membeli barang pada kita, maka kita harus membalasnya
dengan meningkatkan kualitas barang yang kita tawarkan. Dari itu, kiai Masyhuri
disebut sebagai “kiai dolar”.
Catatan
harian Ahmad Wahib almarhum, ternyata, menimbulkan heboh juga, bahkan ada yang
mencetusnya sebagai murtad. Penulis sendiri tidak setuju kalua buku ini
di-“lenyapkan”, sebab semangat merumuskan kembali jawaban-jawaban Islam
terhadap tantangan hidup haruslah dipelihara—terlepas dari ekses-ekses yang
umumnya bersifat peremehan arti pendekatan tekstual terhadap ajaran agama yang
sudah mapan.
Kunjungan
V.S. Naipaul ke tempat “bagnsa muslim” Asia di tahun 1979 membawanya kepada
sesuatu yang dicarinya sejak semula: Islam yang marah. Inti dari masalah yang
dirisaukan Naipaul adalah gagalnya orang Islam untuk menyajikan jawaban yang
modern atas tantangan kehidupan masa kini. Tidak mungkinkah lahir kesadaran
akan perubahan total dalam pola kehidupan bermasyarakat, justru dari ketaatan
terhadap ajaran yang bersifat ritualistis? Bukankah mungkin sekali ideologi
yang kreatif dan dinamis dibangun dari penggalian kembali terhadap ajaran
sendiri?
Nurcholish
Madjid masih tetap bernada tinggi, menolak sikap apologetis, selera bacaan
belum bervariasi, juga sudah senang memotret. Namun pandangan ilmiahnya
berkembang, ia mengungkapkan bahwa Teolog garis keras (Ibn Taimiyah) masih
menganggap perlunya filsafat naturalistis. Siapa tahu eksistensialisme, lawan
bebuyutan legal-formalisme dalam berpikir, suatu ketika akan dapat diserap juga
oleh pemikiran keagamaan Islam, Cak Nur tetap terbuka dan jujur pada pandangan,
tetapi berubah dalam aspek kedalaman dan keluasan. Seperti al-Ghazali sebelum
dan setelah menjadi sufi: tetap dalam keagungan ilmiah karena mempertahankan
hak memeriksa segala-galanya melalui kemerdekaan berpikir.
Kiai
Mas’ud menguasai peralatan hukum fiqh: teori hukum (usul fiqh) dan pendoman
hukum (qawa ‘id fiqh), hingga layak disebut “syekh”, setelah Kiai Masduki 60-an
tahun lalu. Orangnya sederhana: mengejar buku-buku teks agama yang secara
tradisional digunakan di pesantren atau seharunya diajarkan di dalamnya,
sebagaimana perburuan-nya atas naskah Kiai Ihsan dari pesantren Jampes
(Kediri); Siraj al-Talibin dan Minhaj al-Irndad (yang “belum dicap”).
Kiai
Sahal Kajen adalah perokok kelas berat, dimana beliau mengungkapkan untuk
melihat dari berbagai sudut pandang dalam permasalahan: kawin lari. Beliau
menerima “masukan baru” berupa proyek pengembangan Masyarakat seperti
pelestarian lingkungan, memperkenalkan teknologi terapan, dan memulai usaha
merintis. Kiai Abdullah Salam, yang begitu dihormati tokoh legendaris Embah
Mangli, memberikan persetujuan penuh atas kerja-kerja beliau.
Pak
Hasan lemah lembut dalam segala hal, ia terlibat dalam kegiatan “turun ke
bawah” sebagaimana “aktivis pedesaan” dengan menyiapkan “lahan kemasyarakatan”
seperti bio-mass. Sementara itu, Kiai Madun “menawarkan” pesantren asuhannya
sebagai “pusat pengembangan masyarakat” melalui “Usaha Bersama” dan pelatihan
keterampilan “yang sudah disempurnakan”. Isha mengungkapkan bahwa Pak Hasan
memakai pendekatan umum, sementara Kiai Madun pendekatan khusus.
Kaum
muslimin Betawi memang lebih dekat dengan budaya Arab dibanding dengan
Kawasan-kawasan lain. Karena itu, tidak mengherankan jika ulama Betawi disebut
mualim. Mualim Syafi’i adalah pelopor yang dengan gigih menetang kebijaksanaan
mencari dana melalui perjudian, begitu juga penggusuran pekuburan dari Karet ke
Tanah Kusir. Meski begitu ia justru bergaul erat dengan Ali Sadikin (sang
gubernur). Hal ini mengungkapkan bahwa ia tahu batas peranan yang harus
dimainkan, perlunya kesadaran peranan sendiri dalam kehidupan. Bukankah impuls
demokratis itu muncul, justru, dari garis batas yang diletakkan agama sendiri,
yaitu dalam tugas mengajar selaku mualim?!
Tiga
pendekar dari Chicago; Nurcholish Madjid (“Islam yes, partai poitik no”), Amien
Rais (orientasi “cara hidup Islami”), dan Ahmad Syafi’i Ma’arif (“Islam yes,
partai poitik Islam yes”), sependapat dalam perlunya perubahan mendasar dalam
pandangan hidup kaum muslimin: etos dan disiplin kerja serta etika sosial.
Dalam merumuskan kelayakan upaya-upaya itulah terjadi “perbedaan dalam
kesatuan” di antara mereka bertiga.
BAB III: Sosial Ekonomi
Sistem
tebasan dalam panen padi memunculkan praktek pemborongan, yang lebih
menguntungkan daripada system bawonan. Dalam rangka mengatasi pengangguran
buruh tani, dibutuhkan pembatasan rotatif yang ketat atas areal sawah yang
boleh dipanen dengan sistem tebasan di pinggiran atau perimeter kota dengan
perbandian areal 60:40.
Lokakarya
Teknologi Tepat Bagi Pedesaan pada Desember 1975 di Yogyakarta cukup unik juga.
Terutama tiga peserta (seorang pendeta, seorang insinyur PTUL, dan seorang seniman)
dengan ide berupa proyek bantuan 25.000 rumah sederhana bagi penduduk pedesaan.
Hal ini mengingatkan kita pada pentingnya
menegakkan prioritas produksi yang tidak merusak keseimbangan sumber-sumber
alam sebagai bentuk dari teknologi yang tepat.
Baru-baru
ini sebuah forum ilmiah mengusulkan agar agrobisnis dikembangkan di Indonesia.
Ini merupakan suatu proses pertanian komersial yang janggal, yang membuat
menderita rakyat kecil di negara berkembang dan hanya menguntungkan sejumlah
importir yang memperoleh pelayanan Istimewa dari pemerintah. Kalau demikian,
maka kita hanya bisa meneruskan pengembangan perusahaan-perusahaan perkebunan
kita sebelum pada akhirnya dialihkan pada pemiliknya oleh koperasi.
John
Kenneth Galbraith mengungkapkan bahwa di negara-begara melarat jumlah orang
gemuk banyak didapati. Hal ini menunjukkan ketidaktahuan masyarakat akan
kesadaran jumlah kalori yang dibutuhkan. Studi Ingrid Palmer mengungkapkan
pentingnya kepemilikan tanah (lahan) sebagai indikator kecukupan dan
kemiskinan, dengan minimal batas 0,25 hektar.
Apakah
persamaan antara perebutan Piala Dunia sepakbola untuk tahun 1982 dan
landreform? Baik perebutan Piala Dunia 1982 maupun perebutan tanah lahan
pertanian sepanjang masa selalu dimenangkan oleh “tim negatif”.
Bung
Hatta seorang idealis tulen, yang bahkan bersedia mengundurkan diri dari
jabatan nomor dua di republik ini. Namun ia memiliki impian idealistis:
membangun ekonomi yang bersendikan koperasi di bumi Nusantara. Para ekonom yang
mengerti implikasi, semua memicingkan mata dan mengernyitkan dahi. Ternyata,
perkembangannya menjadi lain, dimana omzet koperasi sudah terbilang triliunan
rupiah. Mampukah koperasi beranjak dari kedudukan utopia belaka?
BAB IV: Sosial Politik
Munculnya
golongan fungsional dengan pendekatan bersifat teknis, mudah berafiliasi dengan
kelompok politik mana pun tanpa terlalu mempersoalkan ideologi politik. Untuk
mengimbangi kecenderungan terpusatnya kekayaan pada keluarga industrialis
belaka, diperlukan dialog terbuka dengan Lembaga-lembaga nonpemerintah.
Gambaran
orang tentang kaum intelektual tidak selalu sama. Profil intelek pelupa yang
dahulu banyak tidak disukai, sebagaimana PSI yang pernah dibubarkan Presiden
Soekarno. Kini, mereka turut menangani soal-soal praktis, terutama di tingkat
bawah, sebagaimana menteri-menteri intelektual ada juga yang turun ke pedesaan.
Sikap dasar kaum intelektual masih tetap sama, namun pendekatan yang mereka
lakukanlah yang berubah, dan mereka tetap disebut demikian manakala dilakukan
dengan ketulusan.
“Sulit
masuknya, mudah keluarnya,” merupakan moto Kiai Wahab sebagai Ra’is ‘Aam
menghadapi tuduhan wakilnya, Kiasi Bisri, sekaligus iparnya, dalam permasalahan
DPR-GR. Seperti biasa, Kiai Bisri tetap pada pendiriannya, sedangkan Kiai Wahab
jalan terus. Tidak heranlah jika lalu terjadi metamorphosis pada waktu Kiai
Wahab wafat dan Kiai Bisri menggantikannya sebagai Ra’is ‘Aam.
“Wah,
sama-sama tidak benar, sama-sama seperti yang berkaki empat. Cuma yang satu
kakinya ke atas yang satu lagi berkaki ke bawah”, kata seorang Tunisia kepada
seorang Indonesia tentang demokrasi. Anekdot tersebut kembali terbetik di benak
penulis ketika pers kita mulai meributkan sebuah gagasan untuk menciptakan
partai tunggal di Indonesia.
Dalam
Pemilihan Umum 1982 ini kontestan sama dengan peserta, dimana ketiga kontestan
itulah yang harus menjadi tolak ukur sudah demokratis atau belumnya pemilu
berlangsung; bukan proses jalannya pemilu itu sendiri, sehingga bisa tercapai
harapan Panitia Pemilu Indonesia dan Kopkamtib: aman, tertib, tenang, dan
damain (ATTD). Di sinilah Fosko Enam-enam muncul dengan gagasan: bersedia
membantu semua kontestan pemilu, dimana langkanya hal itu justru membuat pemilu
kita di masa Orde Baru ini (sejauh ini 1971-1981) sesuai dengan asas ATTD. Dari
itu, fosko seharusnya juga memberikan bantuan pada “kontestan” keempat, yaitu
kelompok Golput (dulu berarti putih, kini berubah menjadi putus harapan):
mereka berjuang untuk memenangkan sesuatu dalam pemilu.
Dalam
sebuah lokakarya, seorang tokoh terkemuka Gerakan nonpemerintah membuat analogi
ornop (organinasi nonpemerintah) dengan budaya keraton di Jawa; untul-untul. Kecurigaan
pun tak dapat dihindari, apalagi setelah mereka berpaling wajah, tidak lagi
menggunakan istilah ornop, melainkan dipersolak dengan sebutan LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat).
Secara
umum diterima “kebenaran”, Ken Arok merebut Keraton Singasari dari tangan
Tunggul Ametung, orang yang mengawini ibunya dan berimplikasi membunuh ayahnya.
Kenyataannya, factor keturunan atau tidak, untuk memperoleh kedudukan menjadi
pemimpin di luar pemerintah dalam budaya Jawa, masih diperlukan pengesahan dan
penerimaan oleh pihak yang berkuasa: zaman sekarang menggunakan SK dan
“jasa-jasa baik pemerintah”, dahulu menggunakan lembu peteng. Karenanya,
dapat dimengerti betapa risaunya para pejabat Republik yang masih bermental
keraton kalua mendengar istilah opisisi. Hal ini menunjukkan pentingnya
legitimasi pemerintah dalam segala hal.
BAB V: Luar Negeri
Di
AS, berkat ketekunan dan kerja keras, Senator Kennedy berhasil memenangkan
jabatan kepresidenan pada 1960 dan Menyusun sendiri kebijaksanaan
pemerintahannya, dimana ia terbunuh di tahun 1963. Meski begitu, Jimmy Carter
menempuh jalan yang sama dan berhasil memenangkan jabatan kepresidenan pada
1976 dan meneruskan kebijaksanaan tersebtu dengan patokan moral luar negeri:
hak-hak asasi manusia. Sangat besar implikasi dari perubahan politih luar
negeri AS bagi kita, mengingat mengalirnya arus modal. Karenanya, dari sekarang
kita harus belajar melaksanakan hal itu; menghindari semua manifestasi dari
etika sosial yang menurut hati nurani kita tidak baik dan tidak benar.
Menlu
Andrew Peacock menyatakan—pada akhir lawatannya keliling dunia—bahwa ia
menentang berdirinya kantor berita yang tunggal di negara-negara Nonblok. Sebab
yang paling utama sebenarnya adalah politis, dimana masing-masing pihak tentu
akan mendukung kantor berita yang berorientasi sama dengan filsafat politinya
sendiri. Keanekaragaman pendapat akan menjamin arus berita yang beranekaragam
pula.
Rusia
adalah negeri yang terkenal dengan pembangkangannya kepada para penguasa lalim
dan kejam, sebagaimana novel utama Pasternak; Doctor Zhivago, dimana
pembangkangan itu dewasa ini juga dilakukan oleh para ilmuwan. “Demokratisasi”
yang dibawakan Sadat di Mesir, ternyata, hanyalah pelabi belaka bagi berlakunya
ketentuan-ketentuan “keamanan dalam negeri” via referendum. Seperti halnya
kemerdekaan, demokrasi dalam artian sebenarnya, tidak akan datang begitu saja
dengan sendirinya; ia haruslah dicapai dengan pengorbanan.
Sementara
Billy Carter melihat jabatan politis tertinggi sebagai wadah orang yang tidak
normal, Kennedy justru menganggapnya sebagai pekerjaan termulia. Pemisahan
antara proses pengambilan keputusan di tingkat nasional dari proses penialaian masyarakat
justru semakin memantapkan stabilitas politik, dan membuka pintu bagi penilaian
secara terbuka akan semakin mendewasakan kehidupan politik dan pemerintahan
kita.
Mitos
yang menyatakan bahwa diperlukan waktu sangat panjang untuk memperkenalkan
kesadaran mengatur diri sendiri di kalangan warga masyarakat terbawah
terpatahkan melalui social engineering sebagaimana bus kota. Dan mitos tidak
berdayanya kelompok “teknokrat” untuk “memegang setir” dalam suatu koalisi
pemerintahan dengan pihak militer, tidak sepenuhnya terbukti di Irak yang
kemudian dimpimpin oleh Saddam Hussein dari Partai Ba’ath. Hal ini menunjukan
bawa penggunaan dana0dana yang ada untuk penyediaan kebutuhan dasar Masyarakat
tidak akan berlangsung kalua tidak ada orientasi populis yang uckup kuat di
kalangan pemerintah.
Presiden
Sadat memutuskan untuk membenahi ekonomi sebagai hal yang paling pokok, sebab
Mesir tidak kuat tidak berperang tanpa membenahi pembangunan. Hal ini
dikarenakan membengkaknya sebuah sistem kepegawaian menjadi gurita birokratis
yang menelan segala-galanya. Diawali dengan Impian “era baru” dimana tidak
bolehnya orang menjadi kaya, diikuti dengan rumitnya birokrasi sebagaimana
harunya memperoleh 57 tanda tangan.
Ayatollah
Ruhollah Khomeini merupakan perwujudan kebebasan dan kemerdekaan bagi
bangsanya, penegak sebuah “Kerajaan Tuhan yang mengambil inspirasinya dari
Republik Plato. Berbeda dari “tokoh-tokoh polos” dalam sejarah, seperti George
Washington dan Gandhi, kebesaran Khomeini dan Mao justru terletak pada
kesimpangsiuran persepsi yang mereka timbulkan dalam benak umat manusia. Bukankah
terlalu pagi bagi kita untuk mengukur Islam sebagai agama yang mengatur
kehidupan hanya dari perkembangan yang ditimbulkan oleh Khomeini?
Kesederhanaan
bagunan segi delapan Kapel Rothko, ditambah fungsi jangka panjangnya yang vital
dalam pemikiran kontemplatif di bidang keagamaan, memunculkan keharuan dan
kesyahduan yang diperlukan manusia modern dalam pergumulannya dengan kehidupan.
Orang
punya perkiraan masing-masing tentang perkembangan di Iran. Setelah jatuhnya
Shah Reza Pahlevi, kaum mullah, Khomeini, dan bani Sadr, dimana Khomeini
dipisahkan dari kaum mullah. Dan sepeninggal Ayatollah Behesti, bisakah Bani
Sadr memberikan perlawanan terhadap PRI?
Tiga
belas tahun pemerintahan Partai Sosialis Arab Ba’ath (Kebangunan) ternyata
membawa perubahan sangat besar dalam kehidupan bangsa Irak, dimana Saddam tanpa
menyatakan bahwa Lenin, penemu ideologi komunis, sebagai tokoh yang paling
dikaguminya. Tolok ukur menilai keberhasilan tersebut dapat dilihat melalui
orientasi politik-ekonomis berwatak populistis, yang tetap menyediakan peluang
kepada inisiatif perorangan para wiraswastawan.
Di
Noorgsingel terletak kantor Lembaga bantuan hukum model Rotterdam di Belanda;
Advocaten Kollektief Rotterdam. Di lembaga ini sebelas sarjana hukum dan
pengacara berjuang dengan cara mereka sendiri, mereka mulai dari diri sendiri,
membatasi diri pada kerja sendiri sambil tetap mempertahankan “warna struktural”
kerja tersebut.
Setelah
20 tahun berada dalam tahanan, bekas Presiden Aljazair Ahmad Benbella “kembali”
kepada ajaran Islam dan menerima wawancara dari Almajallah di London. Meski begitu, ia menyatakan diri tetap
sebagai seorang sosialis, dengan pengalaman di depan Ka’bah di Mekah sebagai
“pengalaman terdahsyat” dalam hidupnya. Hal ini menyajikan dimensi keagamaan
yang tidak tercabut dari kenyataan hidup.
Presiden
Mesir Muhammad Anwar Sadat memiliki latar belakang
keagamaan yang kuat, walaupun akhirnya ia memilih karir militer, berpangkat
mayor sewaktu turut menggulingkan monarki di tahun 1952. Sepeninggal Nasser,
Sadat memberikan ruang gerak kepada kelompok-kelompok muslim militan di Mesir
dan kemudian mengizinkan berdirinya Jama’ah Islamiyah. Di saat yang sama,
parlemen menerima penerapan ketentuan hukum pidana Islam sebagai bagian dari
sistem hukum nasional, sehingga memicu perdebatan sengit, yang mengarahkan
Sadat untuk bersikap keras. Hal ini dikarenakan Sadat belum menemukan cara
untuk membuat hubungan permanen atas dasar saling menghormati—bukan saling
mempergunakan—dengan kelompo-kelompok Islam.
Ada
beberapa persamaan antara perkembangan keadaan di Mesir dan negeri kita dewasa
ini, sama-sama menganut kebijaksanaan “pintu terbuka” bagi modal asing disertai
alotnya birokrasi. Yang terpenting adalah keharusan menghentikan pemekaran
kekuasaan birokrasi pemerintahan, karena ia akan membawa kepada penghancuran
kreativitas sektor nonpemerintah.
Presiden
Sadat dikenal karena kenegarawanannya, terlihat dalam Keputusan berperang
dengan Israel di tahun 1973 dan ketika memutuskan prakarsa perdamaian. Ia
sangat pendiam dan sangat sabar, sebagaimana sikapnya terhadap mendiang
Presiden Nasser, mahir memanipulasi rasa kesejarahan (sense of destiny) para
pemimpin lain, juga mahir merencanakan dan melaksanakan tindakan politik yang
sangat kompleks.
Dunia
politik Amerika Serikat mempunyai kisah unik yang sering diulang-ulang; seorang
pemuda potentisal yang berhasil menjadi anggota kongres atau senator bagian,
lalu senator nasional, lalu guberbur negara bagian, hingga akhirnya berpotensi
menjadi presiden, dimana kedudukan wakil presiden berarti kecil. Berbeda dengan
Husni Mubarak, yang telah tujuh tahun “magang” dalam jabatan kedua. Begitu
halusnya perbedaan pembuat sejarah dan yang menjadi catatan sejarah saja,
sebagaimana Bung Tomo yang telah puas dengan peran kesejarahannya di 1945.
Tujuh
buah kata ternyata menjadi seluruh kandungan sebuah tesis untuk mendapati gelar
M.A: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
sebagai anak kalimat yang menjelaskan dasar negara “Ketuhanan”. ‘Terpaksalah’
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 perihal kaitan Piagam Jakarta
atas UUD 1945, diikuti dengan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan)
sebagai kriteria.
Front
Nasional Progresif di Mesir sebenarnya tulang punggung perlawanan kaum kiri
terhadap pemerintahan yang tiap hari tampak semakin teknokratis. Masih sulit
diperkirakan bagaimana kelanjutan perlawanan front yang dipimpin Khalid
Muhyiddin, dimana mereka sama-sama mengagumi perjuangan ideologis mendiang
Nasser sebagai sosialisme Arab yang merupakan manifestasi dari sosialisme
Islam.
Nasionalisme,
sebagai ideologi, semula hanya berbentuk kesatuan semangat sebuah bangsa, dan
sering tergusur oleh semangat kesukuan. Di Mesir, muncul nasionalisme ketiga,
dimana Nasionalisme loka Mesir ala Sadat sedikit banyak harus mengalah kepada
aspirasi Pan-Arabis yang dibalut oleh aspirasi PanIslamistis. Hal ini
mengarahkan terbentuknya Dewan Kerja Sama Negara-negara Teluk (Gulf Cooperation
Council), yang tidak hanya bersangkut-paut dengan bangsa Arab, tapi juga kawasan
lain, termasuk ASEAN.
Massoud
Rajavi dan Aboulhasan Bani Sadr dicemooh orang banyak karna gertak sambal
mereka ternyata tidak terbukti adanya revolusi melainkan terorisme. Keadaannya
sekarang berlainan sam sekali, yang menang, ternyata justru pemberontakan
massal tanpa senjata dari kaum mullah, sedikit banyak dalam kolaborasi dengan
Mujahedin.
Sebagai
pemimpin kursus musik, melukis, dan Bahasa, ia mempertanyakan perihal kasidah
sebagai “perwakilah musik Islam” di layar TV, dimana menurutnya musik yang
sepatutnya mewakili Islam haruslah yang universal, diakui di mana-mana, seperti
lagu pop dan musik klasik, asal jelas diisi pesan keagamaan, dan bermutu
tinggi, dihargai orang di mana-mana. Tetapi, benarkah universalitas yang
dituntut dari medium music yang “mewakili Islam” itu harus lepas dari warna
lokal tempat lahir Islam sendiri, tanah Arabia?
Lebanon
saat ini adalah bangsa, bukan hanya negara, yang terpecah belah dalam
pegelompokan kecil-kecil selepas perang saudara, bagai remukan kaca yang tidak
beraturan dari sebuah cermin yang dahulunya indah. Hilanglah kepeloporang yang
didambakan dari Lebanon oleh bangsa Arab keseluruhan, fungsinya sebagai pusat
jaringan finansial Arab kini bergeser ke Timur, bermukim di negara-negara Teluk
Persia.
Orang
Palestina umumnya perantau di luar tanah kelahiran dan mulai melakukan serangan
sporadic hingga jadi operasi militer yang melakukan serangan dadakan ke
pemukiman-pemukiman Yahudi, dan hadirlah militer PLO, yang berujung pada
gempuran Israel atas Lebanon dan Beirut. Sebuah kisah tragedy klasik tentang
kelompok benar, tapi kecil dan lemah di hadapan kekuatan lalim yang dahsyat,
seperti juga nasib petani dan buruh kecil negara-negara berkembang.
Minggu
ketiga September 1982, seorang arsitek revolusi dimakan ciptaannya sendiri:
Sadek Ghotbzadeh. Yang menarik adalah “teman seperjuangan”-nya; Ayatullah Kazem
Shariat-madari, yang menyadari bahwa kekuasaan tidak dapat ditaklukkan oleh
antikekuasaan, dan hanya sikap morallah yang dapat menaklukkan kecenderungan
buruk manusia. Perlu ditangisi kematian perlawanan moral di tangan
Shariat-madari, yang bisa menjadi titik tolak kebangkitan baru di Iran?!
Komisi
Kahan dibentuk pemerintah Israel untuk menyelidiki pembantaian para pengungsi
Palestina di Beirut Barat sebagai bentuk tonggak baru: kekuasaan hukum harus
diletakkan di atas kekuasaan politik. Mereka mengungkapkan bahwa para pemimpin
yang dinyatakan bersalah itu telah bersalah “secara tidak langsung”. Seperti
dikatakan pendidik terkemuka Israel, Zvi Kesse, dalam wawancaranya dengan
Neqlseek; masa depan Israel ditentukan oleh kemampuannya mencari penyelesaian
yang adil terhadap tuntutan bangsa Palestina.
Memang
ironis kalua symbol lebih dikenal daripada kenyataan. Hal ini terjadi di Tokyo
April 1983, dimana film Gandhi diputar dan Uskup Agung Helder Camara menerima
Hadiah Niwano untuk Perdamaian. Bersandar pada asas kasih sayang: petani
didorong berani berinisiatif menuju prakooperatif, kaum buruh didorong berani
menuntu hak, generasi muda diimbau memperjuangkan hak-hak politik, dan kalangan
intelektual diminta memelopori Pendidikan yang relevan dengan kebutuhan
golongna miskin.
“Kita
masih dalam perang, perang ekonomi melawan Amerika dan Israel. Karena itu,
rakyat harus mendukung Presiden dalam kebijaksanaan ekonominya.” Kata Hujjatul
Islam Ahmad Khomeini dalam peringatan sang ayah. Sementara itu, Ayatullah
Zanjani mengungkapkan bahwa setelah 10 tahun mengutamakan pemenuhan kebutuhan
pokok rakyat, Iran beralih ke Pembangunan ekonomi melalui peningkatan produksi
secara masif.
BAB VI: Budaya
“Penghitaman”
sekian halaman majalah TEMPO menunjukkan bahwa ia mendapatkan status “diterima”
oleh Masyarakat. Sebagaimana spanduknya, TEMPO mencerminkan: jujur, jelas,
jernih, … dan jenaka pun bisa.
Seorang
pejabat tinggi bercerita tentang banyakan ornag Indonesia memeriksakan gigi ke
Singapura karea di Indonesia orang tidak boleh membuka mulut. Protes dengan
lelucon memang tidak efektif, kalua dilihat dari sudut pandang politik, tapi ia
menyatukan bahasa rakyat banyak dan mengindentifikasi masalah-masalah yang
dikeluhkan. Lelucon juga bisa berfungsi sebagai kritik terhadap keadaan tidak
menyenangkan di tempat sendiri, bahkan sebagai pelepas kejengkelan orang banyak
kepada penguasa. Dari itu, ia harus diberi tempat dalam tradisi perlawanan
kultural suatu bangsa, untuk menjaga keseimbangan menghadapi kenyataan pahit
dalam lingkup sangat luas.
Di saat “perubahan struktural”
seolah-olah monopoli kaum marxis, pemerintah menyelenggarakan seminar perihal
hal tersebut dengan dibawakan seorang agamawan. Marx mengungkapkan bahwa
perilaku warga masyarakat sangat ditentukan oleh struktur masyarakat itu
sendiri (determinisme-ekonomis), dan hal itu membutuhkan penggulingan kekuasaan.
Namun, menurut kaum sosial democrat: perubahan dapat dilakukan melalui cara
damai, dan setiap struktur memiliki kelengkapan untuk melakukan perubahan. –apa
yang mematangkan pandangan kita tentang apa yang harus dilakukan di tempat
masing-masing itu struktural.
“Bayangkan, Pak, sering tidak bisa
bawa uang lebih seribu perak ke rumah, padahal sudah bekerja dari pagi sampai
puku sepuluh malam,” tutur seorang sopir taksi mengatasnamakan nasib orang Karo
(tingkat bawah). Hal ini menunjukkan tidak bersambungnya beberapa bagian dari
apa yang secara umum dapat dinamai “proses modernisasi”. Modernisasi
menumbuhkan sikap menghargai kerja professional, namun berakibat negative bagi
sebagian Masyarakat. Dari itu, kesenjangan antara modernitas “semula” dan
kenyataan keras setelahnya menuntut modernitas “susulan”.
Pada 1981, seorang ibu dari
Semarang membawa pulang nasi tumpeng buatan Istana Merdeka dan menjemurnya
hingga kering. Nasi tumpeng memang punya fungsi bermacam-macam, ada yang
memperlakukannya sebagai sesajen, turun menjadi “misteri”, menjadi eksotika dari
“kekayaan tersembunyi”, diikuti pergeseran historis “melestarikan kebudayaan
asli”. Di tempat lain, seorang mubalig melabrak nasi tumpeng, mengharamkan, dan
memerintahkan untuk dijauhi. Hal ini menunjukkan adanya pembenturan budaya
antara proses islamisasi dan proses penemuan identitas diri sebagai bangsa.
Soeprapto memiliki visi unik di
antara deretan gubernur dan walikota ibukota: berpegang pada fungsi
pemerintahan sebagai pemerintah daerah. Pendirian “mempersempit jangkauan DKI”
itu tercermin juga dalam sikapnya mengelola kehidupan seni di lingkungan Taman
Ismail Marzuki, mengarahkan penulis pada sebuah ide Akademi Betawi.
“Gatotkaca Anti-Israel”, sebuah
slogan yang tertulis pada jalan aspal menunjukkan bahwa remaja kita telah
kehilangan tokoh-tokoh anutan yang actual. Hal ini bisa memudahkan para remaja
melakukan tindak kekejaman (sebagaimana tokoh Bonny dan Clyde), dan semakin
derasnya arus eksklusivisme etnis dan agama, sebagai implikasi dari hilangnya
kredibilitas kepemimpinan yang dibiarkan berlarut-larut.
Tengah malam disertai cuaca
gerimis, Toyota Corolla memutuskan untuk berhenti saat lampu merah untuk
penyeberangan menyala, dan perselisihan pun terjadi. Aturan hukum akan dipenuhi
jika dapat menjamin tercapainya tujuan; minimal yang paling dasar, seperti
mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari bagi “orang kecil”. Fungsi hukum adalah
menciptakan rasa takur, dan hukum zaman ini lebih berfungsi simbolis. Tidak
mengherankan kalau kemudian muncul “tindakan sectoral”; penembakan misterius.
Dari itu, marilah menjaga supaya aruran yang “normal” tidak jebol sama sekali;
anggap saja menunggu setan lewat.
Salah satu kreasi unik bangsa kita
adalah restoran Padang, dimana ia merupakan qua konsep; tradisi memasak orang
Minang sekaligus perwujudan dari kepraktisan. Hal ini merupakan bentuk dari
kemampuan menjadikan diri pilihan kedua, sebagaimana ia diramu oleh orang
Jawa, Sunda, dan seterusnya. Rahasia sukses restoran padang: semangat kerja
yang memiliki kemampuan antisipasi, menyerap, dan mempergunakan aspek-aspek
usaha yang berorientasi pasar. Mungkinkah dialihkan pada sesuatu yang lebih
berlingkup nasional?
Prototipe dokter masa lampau
adalah seorang idealis (pekerja sosial yang mengabdi kepada kemanusiaan); tidak
hanya menyembuhkan orang sakit tetapi juga memimpin masyarakat. Kini keadaan
sudah berubah; banyak dokter yang lebih memikirkan mencari kekayaan secepat
mungkin melalui praktek medis dan melalaikan aspek kemanusiaan. Para dokter
muda idealis justru sering harus menjumpai kepahitan setelah kembali ke “dunia
normal”, dengan “kelengkapan” situasi birokratisnya, sebagaimana kisah seorang
dokter muda yang harus berhadapan dengan seorang kiai yang mendapati anaknya
harus menjalani operasi transplantasi kulit bibir.
Di tahun-tahun lima puluhan,
beredar terjemahan novelet Damon Runyon – Hantu dan Daniel Webster, sebuah
kisah penggadaian jiwa kepada setan. Kisah tersebut menunjukkan bahwa manusia
barat berwatak ingin menentukan nasibnya sendiri, bebas dari campur tangan
siapa juga. Namun, ada pula film berjudul Oh, God, You Devil! yang menunjukkan
bahwa kemewahan tidak sebanding nilainya dengan kebebasan diri sebagai insan.
Sudah lebih dari 50 tahun polemic
kebudayaan belangsung antara tradisi dan kebudayaan modern, tanpa satu orang
pun yang mencoba melakukan proyeksi substansi yang mereka pertikaian pada
kenyataan lapangan sama sekali. Pesantrean sendiri bukan sekadar menjadi pendidikan
agama dalam artian tradisional, melainkan menjadi pangkalan untuk mendirikan
dan melestarikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Bagaimana memacu kreativitas
dalam kelesuan suasana, itulah masalah utama kita saat ini.
Piala Eropa tahun ini diwarnai
dengan banyak hal, dimana dari kukuhnya pertahanan sebenarnya muncul
serangan-serangan bermutu yang pada gilirannya akan melahirkan gol-gol indah
lebih banyak di masa depan. Efektivitas pola permainan, itulah kata kunci kejuaraan
Piala Eropa 1992.
Note:
- dikhususkan bagi yang sudah membaca bukunya [sebagai pengingat].
- bagi yang belum membaca bukunya, amat disarankan untuk membacanya [jika tertarik], sebab setiap penulis memiliki cara penyampaiannya sendiri-sendiri.