Friday, May 19, 2023 0 comments

Sinopsis "Cerpengram - Peng Kheng Sun" Bahasa Indonesia

Cerpengram
By: Peng Kheng Sun

Dalam melakukan kegiatan apa saja, jika ingin berhasil kita perlu mempunyai motif yang kuat. Demikian pula dalam menulis cerpen, kita memerlukan motif yang baik dan jelas. Dan kesenangan merupakan motif yang unik, karena ia mampu bertahan dengan baik menghadapi kendalan dan kesulitan apa pun.

Meski membuat nama tokoh baru untuk cerpen yang sedang kita tulis tampak sepele tapi kenyataannya tidaklah seperti itu. Dari itu buatlah Cerpengram I, berisi daftar nama (pria dan wanita) serta profilnya, diikuti dengan Cerpengram II; berisi hal-hal yang berkaitan dengan penampilan fisik tokoh. Di sini, Cerpengram berguna sebagai alat bantu.

Cerpengram II, yang berisi hal-hal yang berkaitan dengan penampilan fisik tokoh, perlu ditulis sebanyak-banyaknya, seperti model rambut, bentuk dagu, kepala, dan sebagainya, sehingga memudahkan Anda mendeskripsikan penampilan fisik tokoh cerpen.

Cerpengram III, berisi kolom “Pembukaan”, “Narasi”, dan “Penutup”. Kalimat pembuka merupakan hal yang penting karna ini memicu perhatian pembaca untuk merasa tertarik atau tidak. Menulis narasi berarti menghubungan suatu kejadian dengan kejadian lainnya, yang harus ditulis secara wajar dan masuk akal, serta memicu rasa ingin tahu pembaca. Cerpen yang baik tentu memiliki penutup yang baik, yang memuaskan pembaca.

Cerpengram IV, berisi kolom “Dialog” dan “Deskripsi” dari kalimat atau paragraph yang kita kutip. Khusus untuk kolom “Konflik” diisi setelah kita selesai membaca sebuah cerpen dan merumuskan sendiri konfliknya. Jika dialog adalah unsur yang selalu ada dalam kehidupan nyata, maka menghadirkan dialog pun sangat penting dalam sebuah cerpen. Menulis deskripsi berarti menggambarkan suatu objek dengan kata-kata. Memunculkan konflik sangat penting dalam membangun sebuah cerita, karena tanpa konflik tidak mungkin ada cerita.

Cerpengram V, berisi foto-foto dan gambar-gambar yang menarik perhatian dan meransang imajinasi. Cerpengram V juga memudahkan kita mendeskripsikan suatu tempat seperti rumah, jalanan, atau lokasi tertentu.

Setelah selesai membuat kelima macam Cerpengram tersebut, kita sudah bisa mulai menulis sebuah cerita singkat, yakni cerita yang relatif lebih pendek daripada cerita pendek. Cerita singkat tersebut cukup terdiri atas 200 sampai 300 kata atau beberapa alinea, sebagai bentuk awal latihan. Yang penting cobalah menulis sebuah cerita singkat dan menulis revisinya berkali-kali. Saat menulis ulang naskah, ajukanlah pertanyaan berikut; Apakah cerita tersebut sudah mengekspresikan dengan tepat apa yang Anda maksudkan?, Apakah pembaca akan mengerti cerita yang Anda tulis? Dan, Apakah yang bisa diperbaiki dari cerita tersebut? (baik untuk meminta orang lain membaca cerita Anda untuk mendapatkan kritik dan saran).

Setelah berhasil menulis sebuah cerpen, kita perlu memberikan penilaian, melalui beberapa pertanyaan; Apakah cerpen tersebut bisa dimengerti? Apakah cerpen tersebut membangkitkan rasa ingin tahu? Apakah tokoh-tokoh yang dalam cerpen sudah terasa hidup? Apakah logika cerita berjalan baik, ataukah masih ada kejanggalan? Dan, Apakah bagian penutup cerita sudah memuaskan?

Agar bisa menulis cerpen dengan baik, Anda juga perlu membaca karya-karya fiksi terbaik. Dan Reading Record (RR), catatan karya-karya fiksi yang Anda baca, akan memudahkan Anda mendapatkan ide untuk menulis cerita. RR juga bermanfaat sebagai perangsang minat baca, peningkat apresiasi terhadap bacaan, berfungsi sebagai curriculum vitae dan catatan harian, dll.


Note:
- dikhususkan bagi yang sudah membaca bukunya [sebagai pengingat].
- bagi yang belum membaca bukunya, amat disarankan untuk membacanya [jika tertarik], sebab setiap penulis memiliki cara penyampaiannya sendiri-sendiri.



Friday, May 5, 2023 0 comments

Sinopsis "Almond - Sohn Won-Pyung" Bahasa Indonesia

 Almond
By: Sohn Won-Pyung

Hari itu, satu orang terluka dan enam orang lainnya meninggal dunia, dan seperti biasa, aku terdiam melihat kejadiannya tanpa ekspresi apa pun.

Insiden pertama terjadi ketika usiaku 6 tahun, dimana sepulang dari TK, aku mengumpulkan air liur untuk meludahi mobil-mobil hilir mudik yang melaju di bawah jembatan penyeberangan. Mengikuti arahan merpati, aku itba di tempat rumah-rumah tak berpenghuni dan mendapati seorang anak diserang oleh anak-anak SMP. Aku kemudian menemukan sebuah toko dan berusaha mengarahkan pemilik toko tersebut dengan berkata: “mungkin dia sudah mati”.

Si pemilik toko menelpon polisi dan melanjutkan kegiatannya menonton TV, dimana ia terkejut mendapati bahwa anak itu merupakan anaknya sendiri dan berkata padaku: “Andai saja kau bicara sedikit lebih serius, semuanya pasti tidak akan terlambat.” Rumor menyebar tentangku, dan seorang anak mickey mouse jatuh dan menangis di hadapanku, sementara aku menunggunya bangun, sang ibu datang dan memarahiku, dan nenek tiba untuk membelaku,

Sementara aku tidak memahami maksud nenek dengan kata ‘monster tampan’, Ibu menangis mengetahui kejadian itu, dimana ibu menulis bahwa aku tidak tertawa bahkan setelah berusia 100 hari (bahkan 4 tahun), tidak trauma pada teko panas, tidak takut pada kakek katarak dan anjing galak. Ibu ku pun membawaku ke dokter dan menangis.

Ibu sering memberiku almond, tiga kali sehari, dengan harapan almond dalam kepalaku akan membesar.

Dokter mendiagnosa bahwa aku terkena penyakit ketidakmampuan dalam mengungkapkan emosi: alexitimia, dimana mereka menawarkan usulan percobaan medis yang ditolak dengan tegas oleh ibuku.

Di usia 8 tahun, ketika teman-temanku sibuk menghafal table perkalian, Aku menghafal masing-masing norma yang seharusnya bisa didapat secara naluri oleh manusia pada umumnya.

Beberapa tahun kemudian, kepalaku semakin besar, namun ‘almond’ di dalamnya tetap tak berubah, dimana aku pun menjagi bahan tertawaan teman-teman di sekolah.

Ibu menuliskan kata-kata empati dalam huruf Kanji dan menempelkannya di seluruh rumah, bahkan membuat permainan kata untuk itu.

Berkat hal itu, aku sudah bisa beradaptasi saat kelas 4 SD, dimana aku memerlukan banyak kesabaran apabila diam ketika harus marah.

Berdasarkan cara ekspresi yang diajarkan nenek, aku rasa aku lebih ‘cocok’ dengan nenek, dimana ibu dan nenek sama-sama menyukai permen rasa plum dan hhubungan mereka sempat terputus hampir 7 tahun.

Aku bertemu nenek untuk pertama kalinya di McDonald, dimana nenek menyebutku monster setelah mendengarkan penuturan ibu.

Setelah tinggal dengan nenek, ibu memilih untuk melakukan pekerjaan barunya sebagai penjual buku bekas, dimana nenek memiliki kecintaan terhadap bahan cetak dan memberikan ibu nama Jieun (penulis). Ibu merasa nyaman tinggal di sini, begitu juga aku, yang mulai bermain buku.

Musim terus beganti, ibu dan nenek masih terus cekcok dalam segala hal, kemudian tertawa terbahak-bahak. Setiap tahu, kami naik ke atap untuk foto keluarga.

Ketika ibu mencuci piring atau mengepel, nenek selalu mendendangkan lagu yang mengungatkannya pada masa mudanya di Stasiun Terminal Bus Ekspres, dimana ia sangat senang menanti Hari Kelahiran Buddha dan Hari Natal.

Malam Natal adalah hari ulantahunku, dan kami pergi makan bersama seperti biasanya, dimana hujan salju mengiringi. Aku ingin makan naengmyeon, mengarahkan kami ke sebuah restoran ‘Makanan Pyeongyang’. Sementara Ibu dan Nenek keluar restoran terlebih dahulu, aku menunggu hadiah permen plum, dimana seorang pria memegang pisau dan palu, mengarahh pada Ibu dan Nenek.

Semua korban tidak memiliki hubungan apa pun dengan pria itu, yang meninggal wasiat: “Siapa pun yang tertawa hari ini, maka mereka akan pergi bersamaku.” Ibuku berhasil selamat, dalam koma dan kemungkinan rendah untuk sadar. Selama tiga hari pemakaman, aku mendengar banyak desas-desus tentang diriku yang tidak mengalami perubahan depresi. Umurku bertambah satu tahun, tepatnya 8 hari setelah pemakaman selesai, kini umurku menginjak 18 tahun.

Dokter memvonis tidak ada harapan bagi ibu dan menanyakan apakah ia hendak dipindahkan. Aku melaporkan kematian nenekku, dan petugas menanyakan apakah aku bersedia dipindahkan ke panti asuhan.

Dengan rumah yang sepi, aku menginstal aplikasi ‘berbincang dengan ponsel’ dan mencaritahu arti dari ‘hidup yang normal’. Aku kemudian membuka kembali toko buku, dimana seorang Ajumma terkejut mendapati penuturanku perihal kematian nenek.

Aku memenuhi undangan pemilik Toko Roti Shim Jaeyong milik Profesor Shim di lantai dua, dimana ia menawarkan bantuan padaku berupa dana; memberiku gaji sebagai pekerja paruh waktu.

Aku menyetujui tawaran Prof. Shim, kurasa tawarannya tidak akan membahagiakanku. Tidak terasa sekarang bulan Maret, aku pun mendaftar sebagai murid SMA.

Setelah upacara penerimaan siswa baru, proses belajar mengajar dimulai dan aku dipanggil wali kelasku, dimana ia kemudian memberikan tepuk tangan dukungan unttukku dalam pertemuan murid dan wali kelas.

Rumor pun menyebar, dan seorang teman sekelas bertanya padaku: “Hei, bagaimana perasaanmu ketika melihat ibumu mati di depan mata?”

Aku menuai popularitas yang negative, sehingga Prof. Shim datang ke sekolah untuk konsultasi, dan mengajakku ke restoran jajangmyeon kemudian.

Di rumah sakit aku seringakli berpapasan dengan seorang pria yang menatapku, hingga akhirnya ia datang ke toko dan mengajukan sebuah permintaan padaku untuk berpura-pura menjadi anaknya di hadapan sang istri yang tengah sakit.

Di kamar penuh bunga, sang istri menangis meminta maaf dan berterimakasih sambil memegang tanganku dan mengelus pipiku, dimana aku kemudian mengatakan apa yang telah direncakan.

Dulu sang istri merupakan seorang wartawan terkenal, dimana sang anak, Gon, menghilang saat sang istri membawa sang anak ke taman bermain. 13 tahun kemudian, sang ayah, Yoon, menerima telepon bahwa Gon kemungkinan merupakan anaknya, namun tidak memungkinkan untuk bertemu dengan ibunya.

Aku menghadiri upacara pemakaman sang Istri, yang koma di hari aku menemuinya dan meninggal beberapa hari kemudian. Upacara pemakamannya dipenuhi kerabat dengan foto bibi sekitar awal 30-an.

Gon mirip seperti pemeran Joe dalam kartun Ashita no Joe, dimana meludah merupakan caranya memberi salam. Selain bertemu di sekolah, ini kedua kalinya aku bertemu dengannya.

Gon memecah kerumunan dan melakukan apa yang diperintahkan paman Yoon, dan pergi begitu saja. Rumor pun beredar sementara aku makan, dimana Gon kemudian duduk di depanku dan menghabiskan dua mangkuk yukgaejang sambil mengungkapkan kemuakannya padaku.

Gon mulai mengusikku di sekolah ditemani dua anak lainnya, dimana aku tidak pernah menggubrisnya. Sehingga ia memberikan pengumuman di depan kelas, yang tetap tidak kugubris.

Seluruh murid di sekolah mengetahui perselisihanku dengan Gon, dimana mereka mengikutiku selepas makan siang, dengan Gon yang menungguku di tempat pembuangan sampah dan kemudian menghajarku yang tak melawan habis-habisan.

Nama asli Gon adalah Lee Soo, ia tinggal bersama pasangan lanjut usia asal China sebelum dipindahkan ke Yayasan perlindungan anak, dimana ia sempat ditahan di penahanan remaja. Paman Yoon dipanggil ke sekolah dan dipertemukan dengan Prof. Shim, dimana Paman Yoon meminta maaf pada pada semua orang, juga padaku di sebuah restoran pizza bersama Gon, yang dihukum skors seminggu.

Gon tetap bersikap keras, sehingga ku melakukan permainan cermin, mengarahkannya memporak-porandakan restoran dan Paman Yoon tiba untuk menghentikannya. Setelah membeli udon di warung kecil, aku menjenguk ibu di rumahsakit, dimana Paman Yoon menelponku saat malam.

Sebagaimana P.J. Nolan yang mengungkapkan bahwa ‘Tidak ada manusia yang tidak bisa diselamatkan. Yang ada hanya orang-orang yang berhenti mencoba untuk menyelamatkan orang lain,’ aku pun membutuhkan Gon untuk lebih memahami dunia.

Aku mengungkapkan ketertarikanku itu pada Prof. Shim, yang segera memberikan penolakan, dimana ia mengungkapkan bahwa ibu sering bercerita padanya.

Gon datang ke toko buku untuk membeli sebuah majalah dewasa, dimana ia mempertanyakan pemikiranku perihal insiden kematian nenek.

Insiden di restoran pizza menjadi bahan gosip di sekolah, sementara Gon lebih banyak berdiam diri, dan perhatian murid-murid pun berpindah.

Gon seringkali datang ke toko, dimana ia mengembalikan majalah yang sebelumnya ia beli dan mengungkapkan ketidakpuasannya, mengarahkanku membawa ke rak buku-buku klasik semacam itu.

Aku tidak setuju dengan pendapat Gon, karena Ibu sama sekali tidak memiliki bakat berjualan. Hal ini terbukti ketika ibu membeli koleksi buku-buku porno klasik dari seorang pria di sebuah stadiun.

Gon terus membeli buku-buku porno klasik tersebut dan mengembalikannya, dengan beberapa lembaran yang kadang sobek, mengarahkanku menunjukkan padanya foto-foto Brooke Shields di internet. Gon mengungkapkan amarahnya, namun kembali dua hari kemudian untuk membicarakan nasib dan waktu.

Di bulan Mei ini, aku tidak sengaja menjatuhkan buku, sehingga jariku terluka, dan Gon tiba untuk merawatku, mengungkapkan betapa bodohnya aku.

Gon datang dengan membawa kupu-kupu dalam plastic, mengungkapkan bahwa ia hendak memberikan pelajaran untuk bersimpati padaku.

Gon tak datang beberapa hari, dan aku menceritakan apa yang terjadi pada Prof. Shim, yang mengarahkanku untuk melakukan latihan dan mengungkapkan tentang keajaiban latihan.

Aku ditemani oleh Bibi yang mengupas apel hingga Gon datang dan terkejut mendapati keberadaanku. Ia menceritakan kekesalannya pada ayahnya, namun tidak mampu untuk mengucapkan kata ibu, dimana ia kemudian menanyakan pendapatku perihal ibunya.

Kami selalu bertemu sepanjang liburan musim panas, dan Gon menceritakan banyak hal padaku.

Kadang-kadang aku teringat akan lagu-lagu yang sering dinyanyikan ibu untukku.

Dora adalah anak yang berdiri di seberang Gon.

Aku memulai semester baru dan merasakan perubahan yang istimewa dalam diriku, dimana aku kemudian menanyakan pendapat Gon tentang kata cinta.

Lee Dora. Aku teringat dengan sosoknya yang sedang berlari.

Dia memakai kacamata bulat dengan bingkai tebal. Dia terlalu tenang, bukan dewasa, cuma berbeda, dan dia seorang atletik.

Toko buku berjalan tanpa transaksi, sehingga aku memutuskan untuk menutupnya, menyumbangkan buku-buku ke perpustakaan sekolah. Di sana, aku mendapati Dora tengah melakukan latihan, dan kami pun terlibat pembicaraan.

Nilau ujian try-out-ku selalu di peringkat tengah, lumayan di matematika dan bermasalah di Bahasa. Aku selalu salah dalam menjawab makna tersembunyi. Dora berkungjung ke toko dan kami pun berbincang-bincang sedikit, dimana ia menanyakan keinginanku saat besar nanti.

Aku berjalan pulang dari sekolah di sing hari yang terik, dan kudapati Dora di kejauhan, dimana kami kemudian berjalan bersama dengan angin yang kencang membuat rambut Dora mengenaiku.

Aku mengalami gejala yang ganjil. Aku mendapati sosok seseorang yang bersinar; Dora. Dia menoleh dan aku merasa perih, seolah-olah tertancap duri sepanjang hari. Gon mampir ke toko dan menanyakan keadaanku, dimana aku kemudian menceritakan apa yang kurasakan pada Prof. Shim.

Dora sering mampir ke toko, dimana suatu hari kami membicarakan buku dinosaurus, dan ia meminta izin untuk menemaniku mengunjungi ibu. Dora memperkenalkan diri pada ibu, dan memintaku untuk menceritakan apa yang terjadi pada ibu yang tetap tak sadarkan diri.

Aku tidak menceritakan tentang Dora pada Gon, yang sekarang bergaul dengan Bakapao, dimana ia kembali bertingkah memasuki semester 2.

Musim gugur hamper selesai dan toko buku sudah mulai beres, dimana Dora datang berkunjung dan mendekatkan wajahnya ke wajahku, bibirnya menekan bibirku, dan eluruh tubuhku seperti dipenuhi drum yang sedang digebuk.

Sekolah mengadakan studi tour ke Pulau Jeju, dan aku tidak ikut serta, dimana di hari terakhir tour Gon dituduh mencuri uang iuran.

Beberapa hari kemudian, Gon membuat keributan saat pelajar ke-4 Bahasa, dimana Dora mengungkapkan kesangsiannya setelah Gon mengamuk di hadapanku, yang menyuruhnya untuk berhenti.

Sore harinya, Gon datang ke toko buku, mengungkapkan apa yang diinginkan dan diakhiri dengan salam perpisahan.

Seorang anak mengakui perbuatannya perihal pencurian pada wali kelas. Paman Yoon terlihat lesu, mengungkapkan penyesalannya, mempertanyakan kedekatanku dengan Gon, dan kuungkapkan bahwa Gon merupakan anak yang baik.

Aku menemui Bakpao untuk mengetahui keberadaan Gon, mengarahkanku pada Cheolsa hyung.

Dora mampir sebelum aku pergi mencari Gon, dimana ia mempertanyakan sikapku, dan kukatan bahwa Gon adalah temanku.

Di pasar Pelabuhan, aku kesulitan mencari keberadan toko yang menjual sepatu menari, hingga aku tersesat di gang-gang labirin yang mengarahkanku pada ruangan gelap bawah tanah.

Gon yang terseungkur penuh lebam mengumpati kedatanganku dan menyuruhku pergi.

Cheolsa tiba untuk menghentikanku membawa Gon, memberikan sebuah pisau pada Gon.

Cheolsa adalah senior Gon ketika di Balai Penahanan Remaja, dimana ia disebut Cheolsa karena kebanyakan alat yang ia gunakan dalam kasus kriminal adalah cheolsa (kawat besi).

Mendapati Gon memegang pisau, aku menanyakan apakah dia bersungguh-sungguh, dan Gon kemudian terisak setelah menendangku hingga terpelanting ke jendela. Mendapati hal itu, Cheolsa menanyakan apa yang bisa kuberikan untuk Gon.

Nantinya beberapa orang bertanya padaku mengapa aku tetap diam dan tidak melarikan diri. Dimana kuperhatikan wajah Gon semakin pucar dan basah berlinang air mata, memintaku untuk berhenti.

Ingatan beberapa bulan yang lalu mulai merasuki otakku. Aku mendengar suara aneh dari tubuh Gon. Cheolsa menatap Gon dengan tajam, dan mengambil pisau yang diberikannya sebelumnya.

Pisau itu menusuk dadaku sangat dalam sesaat ketika tubuhku mendorong Gon. Gon memelukku, menggoyangkan tubuhku, dan berkata; “Jangan mati! Aku akan lakukan apa pun untukmu, apa pun…”

Saat kembali sadarkan diri, aku sudah berbaring di rumah sakit. Sementara itu, Gon mendapatkan perawatan psikologi selepas persidangan. Dora menghubungi wali kelas kami, mengarahkan kepolisian menemukan kami, dimana Dora juga sering mengunjungiku yang tak sadarkan diri.

Prof. Shim datang bersama Ibu dalam kursi roda, dan tidak terasa air mata mengalir dari mataku. Aku menangis, kemudian tertawa. Begitu juga dengan ibu.

 

Note:
- dikhususkan bagi yang sudah membaca bukunya [sebagai pengingat].
- bagi yang belum membaca bukunya, amat disarankan untuk membacanya [jika tertarik], sebab setiap penulis memiliki cara penyampaiannya sendiri-sendiri.


 
;