Almond
By: Sohn Won-Pyung
Hari
itu, satu orang terluka dan enam orang lainnya meninggal dunia, dan seperti
biasa, aku terdiam melihat kejadiannya tanpa ekspresi apa pun.
Insiden
pertama terjadi ketika usiaku 6 tahun, dimana sepulang dari TK, aku mengumpulkan
air liur untuk meludahi mobil-mobil hilir mudik yang melaju di bawah jembatan
penyeberangan. Mengikuti arahan merpati, aku itba di tempat rumah-rumah tak
berpenghuni dan mendapati seorang anak diserang oleh anak-anak SMP. Aku
kemudian menemukan sebuah toko dan berusaha mengarahkan pemilik toko tersebut
dengan berkata: “mungkin dia sudah mati”.
Si
pemilik toko menelpon polisi dan melanjutkan kegiatannya menonton TV, dimana ia
terkejut mendapati bahwa anak itu merupakan anaknya sendiri dan berkata padaku:
“Andai saja kau bicara sedikit lebih serius, semuanya pasti tidak akan
terlambat.” Rumor menyebar tentangku, dan seorang anak mickey mouse
jatuh dan menangis di hadapanku, sementara aku menunggunya bangun, sang ibu
datang dan memarahiku, dan nenek tiba untuk membelaku,
Sementara
aku tidak memahami maksud nenek dengan kata ‘monster tampan’, Ibu menangis
mengetahui kejadian itu, dimana ibu menulis bahwa aku tidak tertawa bahkan
setelah berusia 100 hari (bahkan 4 tahun), tidak trauma pada teko panas, tidak
takut pada kakek katarak dan anjing galak. Ibu ku pun membawaku ke dokter dan
menangis.
Ibu
sering memberiku almond, tiga kali sehari, dengan harapan almond dalam kepalaku
akan membesar.
Dokter
mendiagnosa bahwa aku terkena penyakit ketidakmampuan dalam mengungkapkan
emosi: alexitimia, dimana mereka menawarkan usulan percobaan medis yang ditolak
dengan tegas oleh ibuku.
Di
usia 8 tahun, ketika teman-temanku sibuk menghafal table perkalian, Aku
menghafal masing-masing norma yang seharusnya bisa didapat secara naluri oleh
manusia pada umumnya.
Beberapa
tahun kemudian, kepalaku semakin besar, namun ‘almond’ di dalamnya tetap tak
berubah, dimana aku pun menjagi bahan tertawaan teman-teman di sekolah.
Ibu
menuliskan kata-kata empati dalam huruf Kanji dan menempelkannya di seluruh
rumah, bahkan membuat permainan kata untuk itu.
Berkat
hal itu, aku sudah bisa beradaptasi saat kelas 4 SD, dimana aku memerlukan
banyak kesabaran apabila diam ketika harus marah.
Berdasarkan
cara ekspresi yang diajarkan nenek, aku rasa aku lebih ‘cocok’ dengan nenek,
dimana ibu dan nenek sama-sama menyukai permen rasa plum dan hhubungan mereka
sempat terputus hampir 7 tahun.
Aku
bertemu nenek untuk pertama kalinya di McDonald, dimana nenek menyebutku
monster setelah mendengarkan penuturan ibu.
Setelah
tinggal dengan nenek, ibu memilih untuk melakukan pekerjaan barunya sebagai
penjual buku bekas, dimana nenek memiliki kecintaan terhadap bahan cetak dan
memberikan ibu nama Jieun (penulis). Ibu merasa nyaman tinggal di sini, begitu
juga aku, yang mulai bermain buku.
Musim
terus beganti, ibu dan nenek masih terus cekcok dalam segala hal, kemudian
tertawa terbahak-bahak. Setiap tahu, kami naik ke atap untuk foto keluarga.
Ketika
ibu mencuci piring atau mengepel, nenek selalu mendendangkan lagu yang
mengungatkannya pada masa mudanya di Stasiun Terminal Bus Ekspres, dimana ia
sangat senang menanti Hari Kelahiran Buddha dan Hari Natal.
Malam
Natal adalah hari ulantahunku, dan kami pergi makan bersama seperti biasanya,
dimana hujan salju mengiringi. Aku ingin makan naengmyeon, mengarahkan kami ke
sebuah restoran ‘Makanan Pyeongyang’. Sementara Ibu dan Nenek keluar restoran
terlebih dahulu, aku menunggu hadiah permen plum, dimana seorang pria memegang
pisau dan palu, mengarahh pada Ibu dan Nenek.
Semua
korban tidak memiliki hubungan apa pun dengan pria itu, yang meninggal wasiat:
“Siapa pun yang tertawa hari ini, maka mereka akan pergi bersamaku.”
Ibuku berhasil selamat, dalam koma dan kemungkinan rendah untuk sadar. Selama
tiga hari pemakaman, aku mendengar banyak desas-desus tentang diriku yang tidak
mengalami perubahan depresi. Umurku bertambah satu tahun, tepatnya 8 hari
setelah pemakaman selesai, kini umurku menginjak 18 tahun.
Dokter
memvonis tidak ada harapan bagi ibu dan menanyakan apakah ia hendak
dipindahkan. Aku melaporkan kematian nenekku, dan petugas menanyakan apakah aku
bersedia dipindahkan ke panti asuhan.
Dengan
rumah yang sepi, aku menginstal aplikasi ‘berbincang dengan ponsel’ dan
mencaritahu arti dari ‘hidup yang normal’. Aku kemudian membuka kembali toko
buku, dimana seorang Ajumma terkejut mendapati penuturanku perihal kematian
nenek.
Aku
memenuhi undangan pemilik Toko Roti Shim Jaeyong milik Profesor Shim di lantai
dua, dimana ia menawarkan bantuan padaku berupa dana; memberiku gaji sebagai
pekerja paruh waktu.
Aku
menyetujui tawaran Prof. Shim, kurasa tawarannya tidak akan membahagiakanku.
Tidak terasa sekarang bulan Maret, aku pun mendaftar sebagai murid SMA.
Setelah
upacara penerimaan siswa baru, proses belajar mengajar dimulai dan aku
dipanggil wali kelasku, dimana ia kemudian memberikan tepuk tangan dukungan
unttukku dalam pertemuan murid dan wali kelas.
Rumor
pun menyebar, dan seorang teman sekelas bertanya padaku: “Hei, bagaimana
perasaanmu ketika melihat ibumu mati di depan mata?”
Aku
menuai popularitas yang negative, sehingga Prof. Shim datang ke sekolah untuk
konsultasi, dan mengajakku ke restoran jajangmyeon kemudian.
Di
rumah sakit aku seringakli berpapasan dengan seorang pria yang menatapku,
hingga akhirnya ia datang ke toko dan mengajukan sebuah permintaan padaku untuk
berpura-pura menjadi anaknya di hadapan sang istri yang tengah sakit.
Di
kamar penuh bunga, sang istri menangis meminta maaf dan berterimakasih sambil
memegang tanganku dan mengelus pipiku, dimana aku kemudian mengatakan apa yang
telah direncakan.
Dulu
sang istri merupakan seorang wartawan terkenal, dimana sang anak, Gon,
menghilang saat sang istri membawa sang anak ke taman bermain. 13 tahun
kemudian, sang ayah, Yoon, menerima telepon bahwa Gon kemungkinan merupakan
anaknya, namun tidak memungkinkan untuk bertemu dengan ibunya.
Aku
menghadiri upacara pemakaman sang Istri, yang koma di hari aku menemuinya dan
meninggal beberapa hari kemudian. Upacara pemakamannya dipenuhi kerabat dengan
foto bibi sekitar awal 30-an.
Gon
mirip seperti pemeran Joe dalam kartun Ashita no Joe, dimana meludah merupakan
caranya memberi salam. Selain bertemu di sekolah, ini kedua kalinya aku bertemu
dengannya.
Gon
memecah kerumunan dan melakukan apa yang diperintahkan paman Yoon, dan pergi
begitu saja. Rumor pun beredar sementara aku makan, dimana Gon kemudian duduk
di depanku dan menghabiskan dua mangkuk yukgaejang sambil mengungkapkan
kemuakannya padaku.
Gon
mulai mengusikku di sekolah ditemani dua anak lainnya, dimana aku tidak pernah
menggubrisnya. Sehingga ia memberikan pengumuman di depan kelas, yang tetap
tidak kugubris.
Seluruh
murid di sekolah mengetahui perselisihanku dengan Gon, dimana mereka
mengikutiku selepas makan siang, dengan Gon yang menungguku di tempat
pembuangan sampah dan kemudian menghajarku yang tak melawan habis-habisan.
Nama
asli Gon adalah Lee Soo, ia tinggal bersama pasangan lanjut usia asal China
sebelum dipindahkan ke Yayasan perlindungan anak, dimana ia sempat ditahan di
penahanan remaja. Paman Yoon dipanggil ke sekolah dan dipertemukan dengan Prof.
Shim, dimana Paman Yoon meminta maaf pada pada semua orang, juga padaku di
sebuah restoran pizza bersama Gon, yang dihukum skors seminggu.
Gon
tetap bersikap keras, sehingga ku melakukan permainan cermin, mengarahkannya
memporak-porandakan restoran dan Paman Yoon tiba untuk menghentikannya. Setelah
membeli udon di warung kecil, aku menjenguk ibu di rumahsakit, dimana Paman
Yoon menelponku saat malam.
Sebagaimana
P.J. Nolan yang mengungkapkan bahwa ‘Tidak ada manusia yang tidak bisa
diselamatkan. Yang ada hanya orang-orang yang berhenti mencoba untuk
menyelamatkan orang lain,’ aku pun membutuhkan Gon untuk lebih memahami dunia.
Aku
mengungkapkan ketertarikanku itu pada Prof. Shim, yang segera memberikan
penolakan, dimana ia mengungkapkan bahwa ibu sering bercerita padanya.
Gon
datang ke toko buku untuk membeli sebuah majalah dewasa, dimana ia
mempertanyakan pemikiranku perihal insiden kematian nenek.
Insiden
di restoran pizza menjadi bahan gosip di sekolah, sementara Gon lebih banyak
berdiam diri, dan perhatian murid-murid pun berpindah.
Gon
seringkali datang ke toko, dimana ia mengembalikan majalah yang sebelumnya ia
beli dan mengungkapkan ketidakpuasannya, mengarahkanku membawa ke rak buku-buku
klasik semacam itu.
Aku
tidak setuju dengan pendapat Gon, karena Ibu sama sekali tidak memiliki bakat
berjualan. Hal ini terbukti ketika ibu membeli koleksi buku-buku porno klasik
dari seorang pria di sebuah stadiun.
Gon
terus membeli buku-buku porno klasik tersebut dan mengembalikannya, dengan
beberapa lembaran yang kadang sobek, mengarahkanku menunjukkan padanya
foto-foto Brooke Shields di internet. Gon mengungkapkan amarahnya, namun
kembali dua hari kemudian untuk membicarakan nasib dan waktu.
Di
bulan Mei ini, aku tidak sengaja menjatuhkan buku, sehingga jariku terluka, dan
Gon tiba untuk merawatku, mengungkapkan betapa bodohnya aku.
Gon
datang dengan membawa kupu-kupu dalam plastic, mengungkapkan bahwa ia hendak
memberikan pelajaran untuk bersimpati padaku.
Gon
tak datang beberapa hari, dan aku menceritakan apa yang terjadi pada Prof.
Shim, yang mengarahkanku untuk melakukan latihan dan mengungkapkan tentang keajaiban
latihan.
Aku
ditemani oleh Bibi yang mengupas apel hingga Gon datang dan terkejut mendapati
keberadaanku. Ia menceritakan kekesalannya pada ayahnya, namun tidak mampu
untuk mengucapkan kata ibu, dimana ia kemudian menanyakan pendapatku perihal
ibunya.
Kami
selalu bertemu sepanjang liburan musim panas, dan Gon menceritakan banyak hal
padaku.
Kadang-kadang
aku teringat akan lagu-lagu yang sering dinyanyikan ibu untukku.
Dora
adalah anak yang berdiri di seberang Gon.
Aku
memulai semester baru dan merasakan perubahan yang istimewa dalam diriku,
dimana aku kemudian menanyakan pendapat Gon tentang kata cinta.
Lee
Dora. Aku teringat dengan sosoknya yang sedang berlari.
Dia
memakai kacamata bulat dengan bingkai tebal. Dia terlalu tenang, bukan dewasa,
cuma berbeda, dan dia seorang atletik.
Toko
buku berjalan tanpa transaksi, sehingga aku memutuskan untuk menutupnya,
menyumbangkan buku-buku ke perpustakaan sekolah. Di sana, aku mendapati Dora
tengah melakukan latihan, dan kami pun terlibat pembicaraan.
Nilau
ujian try-out-ku selalu di peringkat tengah, lumayan di matematika dan
bermasalah di Bahasa. Aku selalu salah dalam menjawab makna tersembunyi. Dora
berkungjung ke toko dan kami pun berbincang-bincang sedikit, dimana ia
menanyakan keinginanku saat besar nanti.
Aku
berjalan pulang dari sekolah di sing hari yang terik, dan kudapati Dora di
kejauhan, dimana kami kemudian berjalan bersama dengan angin yang kencang
membuat rambut Dora mengenaiku.
Aku
mengalami gejala yang ganjil. Aku mendapati sosok seseorang yang bersinar;
Dora. Dia menoleh dan aku merasa perih, seolah-olah tertancap duri sepanjang
hari. Gon mampir ke toko dan menanyakan keadaanku, dimana aku kemudian
menceritakan apa yang kurasakan pada Prof. Shim.
Dora
sering mampir ke toko, dimana suatu hari kami membicarakan buku dinosaurus, dan
ia meminta izin untuk menemaniku mengunjungi ibu. Dora memperkenalkan diri pada
ibu, dan memintaku untuk menceritakan apa yang terjadi pada ibu yang tetap tak
sadarkan diri.
Aku
tidak menceritakan tentang Dora pada Gon, yang sekarang bergaul dengan Bakapao,
dimana ia kembali bertingkah memasuki semester 2.
Musim
gugur hamper selesai dan toko buku sudah mulai beres, dimana Dora datang
berkunjung dan mendekatkan wajahnya ke wajahku, bibirnya menekan bibirku, dan eluruh
tubuhku seperti dipenuhi drum yang sedang digebuk.
Sekolah
mengadakan studi tour ke Pulau Jeju, dan aku tidak ikut serta, dimana di hari
terakhir tour Gon dituduh mencuri uang iuran.
Beberapa
hari kemudian, Gon membuat keributan saat pelajar ke-4 Bahasa, dimana Dora
mengungkapkan kesangsiannya setelah Gon mengamuk di hadapanku, yang menyuruhnya
untuk berhenti.
Sore
harinya, Gon datang ke toko buku, mengungkapkan apa yang diinginkan dan
diakhiri dengan salam perpisahan.
Seorang
anak mengakui perbuatannya perihal pencurian pada wali kelas. Paman Yoon
terlihat lesu, mengungkapkan penyesalannya, mempertanyakan kedekatanku dengan
Gon, dan kuungkapkan bahwa Gon merupakan anak yang baik.
Aku
menemui Bakpao untuk mengetahui keberadaan Gon, mengarahkanku pada Cheolsa
hyung.
Dora
mampir sebelum aku pergi mencari Gon, dimana ia mempertanyakan sikapku, dan
kukatan bahwa Gon adalah temanku.
Di
pasar Pelabuhan, aku kesulitan mencari keberadan toko yang menjual sepatu
menari, hingga aku tersesat di gang-gang labirin yang mengarahkanku pada
ruangan gelap bawah tanah.
Gon
yang terseungkur penuh lebam mengumpati kedatanganku dan menyuruhku pergi.
Cheolsa
tiba untuk menghentikanku membawa Gon, memberikan sebuah pisau pada Gon.
Cheolsa
adalah senior Gon ketika di Balai Penahanan Remaja, dimana ia disebut Cheolsa
karena kebanyakan alat yang ia gunakan dalam kasus kriminal adalah cheolsa
(kawat besi).
Mendapati
Gon memegang pisau, aku menanyakan apakah dia bersungguh-sungguh, dan Gon
kemudian terisak setelah menendangku hingga terpelanting ke jendela. Mendapati
hal itu, Cheolsa menanyakan apa yang bisa kuberikan untuk Gon.
Nantinya
beberapa orang bertanya padaku mengapa aku tetap diam dan tidak melarikan diri.
Dimana kuperhatikan wajah Gon semakin pucar dan basah berlinang air mata,
memintaku untuk berhenti.
Ingatan
beberapa bulan yang lalu mulai merasuki otakku. Aku mendengar suara aneh dari
tubuh Gon. Cheolsa menatap Gon dengan tajam, dan mengambil pisau yang
diberikannya sebelumnya.
Pisau
itu menusuk dadaku sangat dalam sesaat ketika tubuhku mendorong Gon. Gon
memelukku, menggoyangkan tubuhku, dan berkata; “Jangan mati! Aku akan lakukan
apa pun untukmu, apa pun…”
Saat
kembali sadarkan diri, aku sudah berbaring di rumah sakit. Sementara itu, Gon
mendapatkan perawatan psikologi selepas persidangan. Dora menghubungi wali
kelas kami, mengarahkan kepolisian menemukan kami, dimana Dora juga sering
mengunjungiku yang tak sadarkan diri.
Prof.
Shim datang bersama Ibu dalam kursi roda, dan tidak terasa air mata mengalir
dari mataku. Aku menangis, kemudian tertawa. Begitu juga dengan ibu.
Note:
- dikhususkan bagi yang sudah membaca bukunya [sebagai pengingat].
- bagi yang belum membaca bukunya, amat disarankan untuk membacanya [jika tertarik], sebab setiap penulis memiliki cara penyampaiannya sendiri-sendiri.