Friday, May 24, 2024 0 comments

Sinopsis "Ronggeng Dukuh Paruh - Ahmad Tohari" Bahasa Indonesia

 Ronggeng Dukuh Paruh by: Ahmad Tohari 

Pembunuhan terjadi di udara yang lengang, di atas Dukuh Paruk. Kicau beranjangan mendaulat kelengangan langit di atas Dukuh Paruk, yang menciptakan kehidupannya sendiri. Dua puluh tiga rumah berada di pedukuhan itu, dihuni oleh orang-orang seketurunan, dari moyang Ki Secamenggala. Di tepi kampung, tiga orang anak laki-laki (Rasus, Warta, dan Darsun) sedang bersusah-payah mencabut sebatang singkong. Di bawah pohon nangka, mereka melihat Srintil, seorang perawan kecil, sedang asyik bermain seorang diri, membuat sebuah mahkota. Setelah mahkota terpasang, Srintil menyanggupi tantangan Darsun untuk meronggeng karena ia sendiri ingin menjadi seorang ronggeng, dengan Rasus yang menirukan suara gendang, warta menirukan calung, dan Darsun menirukan gong tiup. Mekipun lelah, Rasus dkk bersedia menemani Srintil meronggeng dengan sebuah upah. Dua bulan terakhir tiada lagi padi tersimpan di rumah orang Dukuh Paruk. Mendapati cucunya meronggeng, Sakarya pergi menemui Kartareja, selaku dukun ronggeng, dan kemudian menyerahkan Srintil padanya, dimana telah dua belas tahun berlalu sejak kematian ronggeng Dukuh Paruk terakhir. Senja pun tiba dan Srintil disiapkan sedemikian rupa, dengan Sakum sebagai pemain calung besar. Dalam pertunjukan, Katareja percaya bahwa Srintil telah mendapat indang, dan para perempuan terharu menyaksikan pertunjukan tersebut. Srintil adalah seorang yatim piatu, sisa sebuah malapetaka, yang membuat banyak anak Dukuh Paruk kehilangan ayah-ibu. Ketika masih bayi, segumpal cahaya kemerahan datang dari langit menuju Dukuh Paruk, dan siang harinya orang-orang—anak-anak, remaja, dan orangtuabergelimpangan disebabkan memakan tempa bongkrek buatan Santayib, Ayah Srintil. Mendapati kegaduhan tersebut, diikuti kedatangan ayahnya sendiri, Sakarya, bersama beberapa orang, Santayib memutuskan untuk memakan tempe bongkrek yang tersisa, begitu juga dengan istrinya, dimana Santayib berkeliling desa sambil mengutuki orang-orang sebelum akhirnya ia sendiri meninggal di dalam rumahnya. 

Kala itu, Srintil berusia lima bulan, tutur nenekku yang seringkali menceritakan kisah itu padaku (Rasus). Aku sendiri, kata nenek, selamat secara kebetulan, sementara Ayah langsung meninggal dan Emak tidak kembali setelah dibawa Pak Mantri ke poliklinik.  Srintil sudah menjadi ronggeng di Dukuh Paruk dalam usia sebelas tahun, dimana ia tak lagi bermain di tepi kampung, dan aku merasa kecewa karenanya. Terlepas dari peristiwa pemberian pepaya, aku bermaksud menyerahkan keris peninggalan ayah pada Srintil dengan mengatasnamakan wangsit pada nenek. Menyadari pemberianku, Srintil mendatangiku yang tengah melamun di bawah pohon mangka, memakaikan bajuku dan mengucapkan terimakasih. Sesuai tradisi, Srintil melakukan upacara permandian di depan cungkup makam Ki Secamenggala diiringi lagu Sari Gunung, dimana Ki Secamenggala menghadirkan diri dalam diri Kartareja dan berjoget bersama Srintil, yang kemudian dibuat ketakutan karenanya. 

Syarat terakhir sebelum Srintil naik pentas adalah Bukak-klambu, dimana Kartareja menyiapkan tempat tidur baru dengan syarat sekeping uang ringgit emas. Aku muak membayangkan bagaimana Srintil tidur bersama seorang laki-laki, sebagaimana menjijikkannya membayangkan Emak melarikan diri bersama mantri itu. Sehari sebelum hari H, Dower tiba di kediaman Kartareja dan menyerahkan dua buah perak sebagai uang panjar. Dalam kekesalan, aku mengikutinya dengan maksud untuk melampiaskan kemarahan, dimana tiga pemuda terlebih dahulu melemparinya dengan lumpur. Esok harinya (Sabtu), aku ternista luar biasa, dan Warta datang untuk menertawakanku. Aku pergi meninggalkan Warta yang telah menyanyikan tembangnya, dan mengikuti Srintil yang pergi mengantarkan persembahan ke makam Ki Secamenggala. Mendapati keberadaanku, Srintil sempat terkejut dan mengajakku untuk duduk-duduk bersama, dimana ia kemudian mencumbuiku dan membuka pakaiannya. Melihat Halimun, aku pun menutup mata dan kemudian mengingatkan Srintil perihal perbuatan sembrono di pekuburan. Malam harinya, Dower tiba dengan membawa seekor kerbau, diikuti dengan kedatangan Sulam, seorang anak lurah yang membawa kebanggaan statusnya ke mana-mana. Perselisihan terjadi antara Sulam dan Dower, sehingga Kartareja mengakalinya dengan dua cangkir dan ciu. Dalam prosesnya, kudapati Srintil keluar dari bilik dan aku menyapanya, dimana Srintil kemudian mengungkapkan ketakutannya dan kemballi memintaku dalam gelap. Dower tiba untuk melakukan Bukak-klambu, lalu beranjak pulang, namun ditahan oleh Nyai Kartareja, yang kemudian mempersilahkan Sulam untuk melakukan hal yang sama. Ketika Dukuh Paruk bergembira-ria atas keresmian ronggeng Srintil, hati yang kosong mengarahkanku pergi dan tiba di pasar Dawuan, dimana di sana aku pun dapat mengetahui tentangnya. Suatu hari, Srintil datang ke pasar Dawuan, ditemani Nyai Kartareja, dimana orang-orang berkerumun dan aku menyembunyikan diri dalam onghokan singkong. Siti (seorang gadis seusia Srintil yang membeli singkong setiap pagi) mengajarkanku bahwa dunia perempuan takkan terwakili oleh srintil seorang; bahwa di luar tanah airku yang kecil berlaku nilai-nilai yang lain. Aku pun belajar menerima gambara Emak sebagai perempuan yang memiliiki ciri khas sebagai perempuan Dukuh Paruk, dimana aku pun bisa ikut menyambut kedatangan Sang Ronggeng (Srintil) di pasar. Tanpa kuduga, Srintil mengungkapkan bahwa ia tidak membutuhkan uangku, ia bahkan membicarakan tentang perkawinan dan bayi padaku. Tahun 1960 wilayah kecamatan Dawuan sering terjadi perampokan, mengarahkan kedatangan segerombolan tenrtara dibawah pimpinan Sersan Slamet, dimana aku menerima tawaran untuk membantu mengangakat barang-barang mereka dan kemudian menerima tawaran sebagai Tobang. Bersama Sersan Slamet dan dua tentara lainnya, aku ikut serta berburu, yang ternyata hanya mendapatkan seekor Ular Sanca. Namun dalam prosesnya, berhasil kelampiaskan dendamku pada mantri yang telah membawa lari emak. 

Perampokan kembali terjadi, bahkan menewaskan seorang tentara, sehingga patroli kemudian dilakukan oleh dua hingga tiga orang. Bersama Kopral Pujo, aku mengawasi Dukuh Paruk, dimana lima orang perampok datang pada malam kesembilan. Sementara Kopral Pujo memanggil bantuan, aku mengikuti para perampok ke rumah Sakarya, yang kemudian pergi rumah Kartareja. Karena tidak sabar menunggu, aku memberanikan diri menghabisi seorang perampok yang ada di belakang rumah, mengambil bedilnya dan menembak perampok lainnya, lalu pergi melarikan diri. Sersan Slamet tiba dan memberikan arahan pada anak buahnya, namun salah satu perampok berhasil melarikan diri. Sersan Slamet membanggakanku terhadap penduduk kampung, dimana aku kemudian bermalam di rumah nenek, yang sudah pikun, ditemani Srintil, yang memintaku untuk tetap tinggal. Namun, aku sudah menemukan diriku sendiri. 


Note: - dikhususkan bagi yang sudah membaca bukunya [sebagai pengingat]. - bagi yang belum membaca bukunya, amat disarankan untuk membacanya [jika tertarik], sebab setiap penulis memiliki cara penyampaiannya sendiri-sendiri.


 
;